DIOLUHTAN-suluhtani. Pertanian organik memiliki istilah (terminologi) yang beragam. Menurut Sulistyowati (1999), sedikitnya terdapat tiga istilah pertanian organik. Pertama, di Jepang, pertanian organik dikenal dengan istilah pertanian alami, yang oleh Manasobu Fukuoka disebut sebagai bertani tanpa kerja, dengan prinsip dasar: (1) tanpa olah tanah sehingga aktivitas tanah yang bersifat produktif tidak terganggu oleh intervensi manusia melalui, misalnya: cangkul dan bajak; (2) tanpa pupuk kimia atau kompos buatan; (3) tanpa menyiangi gulma; dan (4) tidak bergantung pada bahan-bahan kimia. Kedua, pertanian organik juga dikenal dengan istilah pertanian ekologis, seperti yang banyak dikenal dalam masyarakat tradisional.
Pertanian ini dikelola dengan prinsip-prinsip keseimbangan lingkungan melalui pemeliharaan dan pengayaan keanekaragaman hayati serta pelestarian sumberdaya dan teknologi lokal. Ketiga, pertanian biologis dan permaculture. Tetapi esensi dari semuanya adalah sama, yaitu pola pertanian yang selaras dengan kaidahkaidah (hukum) alam. Filosofinya adalah alam memiliki kemampuan dan caranya sendiri untuk memenuhi kebutuhan makanan (pangan) bagi manusia. Peran manusia hanyalah mengusahakan suatu keseimbangan yang memungkinkan berlangsungnya proses-proses alamiah dalam suatu lingkungan pertanian sehingga alam akan mampu berproduksi secara optimal dan berkelanjutan.
Internasional Federation of Organic Agricultural Movement (IFOAM) dalam Avivi (2001), mendefinisikan pertanian organik sebagai suatu proses produksi makanan dan serat yang dilakukan dengan cara-cara yang dapat diterima secara sosial, menguntungkan secara ekonomi, dan berkelanjutan secara agroekosistem. Menurut Andoko (2002), ciri pertanian organik adalah penggunaan bahan organik baik dalam pemupukkan maupun dalam pengendalian hama dan penyakit. Kardinan (1999) menegaskan, pupuk dan pestisida organik merupakan input yang berpijak pada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi dengan memperhatikan kemampuan alami dari tanah, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas yang baik bagi hasil pertanian dan lingkungan.
Sudaryanta
(1999), memaparkan bahwa pertanian organik (bisa juga disebut pertanian lestari
atau pertanian selaras alam) merupakan pertanian yang benar. Menurutnya,
filosofi pertanian organik didasarkan pada tiga prinsip utama.
Pertama, prinsip bahwa semua mahluk yang ada di alam semuanya baik adanya dan berguna. Maka, pengertian dalam pertanian modern (konvensional) bahwa "hama, penyakit, dan gulma" merupakan sesuatu yang merugikan sehingga harus dimusnahkan, sebetulnya merupakan pengertian yang keliru. Dalam suatu ekosistem pertanian yang telah seimbang, mahluk yang sering kita sebut "hama, penyakit, dan gulma" itu, sebetulnya juga bermanfaat. Pengertian yang keliru atas ketiganya, merupakan contoh kekeliruan cara pandang manusia terhadap alam.
Kedua,
segala sesuatu yang tumbuh dan berkembang di alam ini, mengikuti hukum alam.
Salah satunya bahwa pertumbuhan mahluk bersifat siklis yakni mempunyai siklus
kehidupan yang berbeda-beda antara satu mahluk dengan yang lainnya mengikuti
proses yang sesuai dengan sifat genetis dan lingkungan alam setempat; dan
Ketiga, segala mahluk yang berada di alam, akan tumbuh dan berkembang dengan
baik jika ada keseimbangan dalam alam itu sendiri. Harmoni tercipta dari
hubungan yang saling menunjang diantara setiap unsur yang ada di alam. Dengan
kata lain, hubungan antar setiap mahluk (termasuk manusia) di alam adalah
hubungan sebagai mitra. Setiap mahluk mempunyai perannya masing-masing.
Berkembangnya beraneka ragam mahluk itu diperlukan untuk menciptakan
keseimbangan di alam itu sendiri.
Menurut
Sudaryanta (1999), secara teknis pertanian organik mengikuti beberapa metode
dasar, seperti:
1. Peniadaan
Penggunaan Input Kimiawi Eksternal. Penggunaan input eksternal seperti pupuk
buatan (urea, TSP, dan KCL), pestisida dan bahan kimia sintetik lain (misalnya,
hormon pengatur tumbuh) dihindarkan. Hal tersebut disebabkan karena penggunaan
bahan-bahan kimia tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan
manusia.
2. Pengolahan
Tanah Secara Minimal (Minimum Tillage}. Artinya, tanah sedapat mungkin
diolah sedikit mungkin. Pengertian "sedikit mungkin" mempunyai kriteria
tertentu, yang metodenya tergantung pada luas lahan budidaya yang ada. Selain
itu, pengolahan tanah harus disesuaikan dengan kondisi tanah dan sifat tanaman
itu sendiri. Misalnya, pengolahan tanah untuk tanaman wortel akan sedikitt
berbeda dengan pengolahan tanah untuk tanaman kacang-kacangan.
3. Pergiliran atau
Rotasi Tanaman. Pergiliran tanaman adalah pengaturan sistem penanaman tanaman
budidaya secara bergantian pada suatu areal dalam waktu yang berlainan dan
berurutan. Pergiliran tanaman dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan
input-output berbagai unsur hara di dalam tanah dan untuk memutus siklus hidup
hama-penyakit. Dengan adanya pergiliran, kualitas keseimbangan ekosistem pada
suatu areal pertanian dapat ditingkatkan.
4. Penerapan
Sistem Poli/Multikultur (Tumpang Gilir dan Tumpang Sari).
Sistem polikultur
secara sederhana dapat diartikan sebagai penanaman beberapa jenis tanaman yang
mempunyai keterkaitan (baik secara fisik, biologi, dan kimia) pada suatu areal
lahan dengan tujuan untuk mengendalikan hama penyakit. Sebagai misal, dalam
suatu petakan lahan jenis tanaman bisa antara 10 hingga 20 jenis sesuai dengan
kondisi tanah dan iklim setempat. Pada tiap bedengan dapat ditanam 3-5 jenis
tanaman yang berbeda-beda. Dengan sistem polikultur, kualitas keseimbangan
ekosistem akan meningkat, karena tanaman yang ditanam jenisnya beraneka ragam.
Perbedaan antara pertanian organik dengan pertanian modern (konvensional) dapat dilihat dari delapan sudut pandang (Lihat Tabel). Pada Tabel dibawah ini, terlihat bahwa pertanian organik lebih ekologis dan sangat sosiologis. Pendekatan-pendekatan yang ditempuh dalam pertanian organik dilakukan melalui pengelolaan lingkungan pertanian yang berkelanjutan, yang mencakup: peningkatan keanekaragaman hayati, penciptaan keseimbangan ekosistem dan siklus energi dan mengusahakan konservasi tanah dan air.
Pada konteks
sekarang ini, pertanian organik tidak hanya memperhatikan aspek ekologis dan
sosiologis, tetapi juga aspek lainnya. Menurut Salikin (2003), pengelolaan sistem
pertanian organik yang berkelanjutan harus memenuhi prasyarat sebagai berikut:
bernilai ekonomis, kesadaran lingkungan, dan berwatak sosial atau
kemasyarakatan. Simbolon (2003) mengemukakan bahwa pertanian organik memiliki
prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) menghasilkan pangan dengan kualitas gizi
yang tinggi dan dalam jumlah yang mencukupi; 2) menerapkan sistem alami dan
tanpa mendominasi alam; 3) mengaktifkan dan meningkatkan daur biologis didalam
sistem pertanian, melibatkan mikroorganisme, tumbuh-tumbuhan dan hewan; 4)
meningkatkan dan memelihara kesuburan tanah; 5) menggunakan sumber-sumber yang
dapat diperbaharui dalam sistem pertanian yang terorganisir secara lokal; 6)
mengembangkan suatu sistem tertutup dengan memperhatikan elemen-elemen organik
dan bahan nutrisi; 7) memperlakukan ternak secara alami; 8) mengurangi dan
mencegah semua bentuk polusi yang mungkin dihasilkan dari pertanian; 9)
memelihara keragaman genetik di dalam dan di sekeliling sistem pertanian,
termasuk perlindungan tanaman dan habitat air; 10) memberikan pendapatan yang
memadai dan memuaskan petani; dan 11) mempertimbangkan pengaruh sosial dan
ekologis yang lebih luas dari sistem pertanian.
Demikianlah
uraian singkat mengenai pertanian organik, semoga bermanfaat.
Referensi: (1). Andoko, A .2002. Budidaya Padi Secara Organik. Penebar Swadaya, Jakarta.; (2) Avivi, S .2001. Sistem Pertanian Organik: Berdasarkan Standar CODEX dan Prosedur Sertifikasinya. Jurnal Agribisnis, Volume V, No 2. Jakarta.; (3) Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati. Penebar Swadaya, Jakarta; (4) Salikin, K. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius, Yogyakarta; (5) Simbolon, HB. 2003. Peranan Pertanian Organik dalam Pertanian Berkelanjutan dan Peluang Penerapannya di Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Bogor; dan (6) Sudaryanta. 1999. Pertanian Organik Demi Keselamatan dan Kesehatan Bumi Seisinya. Wacana, edisi 17 Mei-Juni 1999, Jakarta.