DIOLUHTAN-suluhtani. Produktivits ternak pada dasarnya dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu genetik dan lingkungan. Genetik yang unggul saja belum cukup untuk bisa menapilKan produktiviats ternak optimal jika faktor lingkungan yang nyaman. Demikian pula sebaliknya lingkungan peternakan atau kandang yang nyaman tidak akan banyak berarti jika ternak yang dipelihara tidak mempunyai mutu genetik yang tinggi.
Faktor lingkungan dapat dikatagorikan menjadi dua yaitu lingkungan biotik (makanan, air, perkembangan mikroba dan hubungan sosial ternak). Lingkungan abiotik merupakan kondisi fisikotermal lokasi peternakan yang menyangkut keadaan unsur-unsur iklim (iklim mikro). Faktor makanan yang berpengaruh terhadap produktivitas ternak meliputi kuantitas dan kualitas makanan yang diberikan pada ternak. Dalam kontek kualitas yang perlu mendapat perhatian adalah imbangan energi protein ransum.
Interaksi
antara individu ternak dalam satu kelompok atau kandang (hubungan sosial)
mempengaruhi status sosial (hirarki), tingkah laku (behavior) serta tabiat
makan ternak. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap hubungan sosial ternak
antara lain: kepadatan ternak dalam kandang, kontruksi kandang, ventilasi
kandang (pergerakan udara) serta kemampuan lingkungan kandang dapat meredam
radiasi matahari. Faktor fisiko termal yang mempengaruhi adalah unsur-unsur
cuaca seperti suhu dan kelembaban udara, kecepatan angin dan curah hujan
(presipitasi). Unsur-unsur cuaca ini saling berinteraksi yang menghasilkan panas
lingkungan.
Diantara
unsur cuaca yang lain, suhu udara merupakan unsut cuaca yang paling dominan
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ternak. Chantalakhana (2001) menyatakan bahwa
suhu udara optimal untuk pertumbuhan ternak berkisar 13 – 18oC. Sedangkan
Oldeman dan Frere (1987) menyatakan bahawa suhu rata-rata di daerah tropis
berkisar 27,5oC. Berdasarkan data suhu di atas maka persoalan peternakan di Indonesia
mayoritas beradapan dengan persoalan cekaman panas.
Pergeseran
suhu lingkungan dari kebutuhan optimal baik peningkatan ataupun penurunan akan berakibat
pada masalah cekaman pada ternak. Cekaman pada ternak dapat terjadi apabila
sistem homeostatis ternak tidak mampu lagi mengatasi perubahan faktor lingkungan.
Dalam hal ini terjadi ketidak seimbangan antara panas yang diproduksi dengan
panas yang dilepaskan ke lingkungan. Indikator yang dapat dilihat pada ternak
yang sedanga mengalami cekaman adalah (1) denyut jantung, (2) Respirasi, (3)
Tekanan darah, (4) Suhu tubuh ternak.
Ternak
dalam kondisi cekaman panas akan mempercepat denyut jantung dengan tujuan agar
peredaran darah meningkat sehingga panas tubuh cepat sampai ke permukaan tubuh
ternak, kemudian di lepaskan ke lingkungan. Keadaan sebaliknya akan terjadi
pada ternak yang mengalami cekaman dingin. Dalam keadaan cekaman dingin ternak
cendrung mempertahankan panas tubuhnya. Respiasi juga akan kelihatan meningkat
pada saat ternak mengalami cekaman panas. Melalui respirasi ternak akan
melepaskan panas tubuh dengan cara penguapan air dari saluran pernafasan.
Tekanan darah meningkat pada saat cekaman panas dengan tujuan yang sama yaitu
mempercepat peredaran darah. Suhu tubuh akan senantiasa dipertahankan tetap
normal walaupun kondisi lingkungan berubah. karena ternak tergolong homeoterm.
Jika cekaman panas terus berlanjut maka suhu tubuh ternak juga akan mengalami
sedikit penngkatan. Demikian juga hal yang sama terjadi bila cekaman dingin
terus berlanjut. Bagi peternak, usaha yang dapat dilakukan untuk meminimalkan
cekaman adalah dengan melakukan modifikasi lingkungan.
Kandang
Ternak
Keberadaan
kandang bagi ternak sangat tergantung pada kebutuhan “fisiko termal” ternak.
Ternak ruminansia besar seperti sapi dan kerbau, keberadaan kandang ternak
tidak mutlak. Berbeda halnya dengan ternak non ruminansia seperti ayam, kandang
menjadi lebih penting keberadaannya. Suhu udara dalam kandang merupakan unsur
iklim paling penting diperhatikan agar ternak merasa lebih nyaman.
Dalam
hal suhu udara dalam kandang, lintang tempat mempengaruhi suhu udara yang
nyaman. Kandang di daerah tropis diupayakan agar suhu udara dalam kandang sama
atau mendekati suhu udara lingkungan. Dalam hal ini tentu harus ada upaya agar
panas pada atap kandang tidak banyak menambah beban panas pada ruangan kandang.
Pada daerah sub tropis diupayakan agar suhu udara dalam kandang lebih tinggi 20
– 30oF dari suhu udara lingkungan kandang.
Konsep
Kandang Tropis
Peternakan
di daerah tropis, masalah cekaman panas lebih mendominasi daripada cekaman
dingin. Tingkat kenyamanan kandang di daerah tropis dapat ditingkatkan dengan
memperhatikan beberapa aspek diantaranya :
1. Minimalkan
beban panas dari radiasi matahari
2. Maksimalkan
pelepasan panas dari tubuh ternak ke lingkungan.
Radiasi
matahari yang sampai ke atap kandang dan permukaan bumi akan dirubah menjadi
gelombang panjang (panas) kemudian dipancar ke segala arah. Limpahan radiasi
matahari dapat diminimalkan dengan pemilihan bahan kandang pada bagian yang
berhadapan dengan radiasi matahari berwarna cerah. Warna cerah memiliki
refleksivitas terhadap radiasi matahari yang tinggi sehingga jumlah radiasi matahari
yang diabsorbsi lebih rendah. Pantulan radiasi gelombang pendek dan gelombang
panjang dari permukaan bumi juga dapat dikurangi beban panasnya dengan
pemilihan dinding kandang cerah atau putih. Beban panas radiasi matahari yang
sampai dipermukaan bumi juga dapat dikurangi dengan menanam pohon peneduh disekitar
areal peternakan. Pohon peneduh akan berfungsi untuk mengurangi jumlah radiasi
matahari yang dapat ditransmisikan ke permukaan tanah.
Beban
panas pada ruanagan kandang di daerah tropis dapat pula dilakukan dengan cara
memaksimalkan pelepasan panas dengan cara: (1) konduksi, (2) konveksi, (3) radiasi
dan (4) evaporasi. Pemilihan material kandang pada bagian dinding atau tiang dengan
konduktivitas tinggi akan mempercepat pembuangan panas ke lantai atau tanah.
Penyediaan ventilasi memadai atau dengan menggunakan kipas angin sebagai penggerak
udara merupakan salah satu usaha untuk mempercepat pelepasan panas dengan cara
konveksi. Radiasi berupa emisi gelombang panjang (panas) dari bagian bawah atap
kandang merupakan faktor paling dominan mempengaruhi suhu udara dalam kandang.
Cekaman panas dalam ruangan kandang tentu dapat dikurangi dengan memilih bahan
atap kandang dengan emisivitas rendah. Evaporasi merupakan proses pelepasan
panas dengan menggunakan panas laten. Perubahan wujud air yang cair menjadi
wujud gas (uap) memerlukan energi berupa panas laten.
Adanya
sumber air disekitar areal peternakan membantu mengabsorbsi radiasi matahari
yang sampai dipareal peternakan,. Setelah merupa uap air dan masuk ke dalam
kandang dengan bantuan pergerakan udara, ua air ini akan mengabsorbsi panas ruangan
kandang secara difusi kemudian panas dilepaskan ke lingkungan luar kandang.
Orientasi
Kandang (arah memanjang kandang)
Orientasi
kandang yang sesuai atau dapat memberikan tingkat kenyamanan lebih tinggi
tergantung pada topografi (ketinggian tempat dari permukaan laut).
Berdasarkan
ketinggian tempat dari permukaan laut suatu daerah dapt digolongkan menjadi
tiga yaitu :
1. Daerah dataran
rendah adalah daerah yang mempunyai ketinggian tempat 0 – 250m dpl (dari
permukaan laut)
2. Daerah dataran
sedang adalah daerah yang mempunyai ketinggian tempat 250 – 750m dpl.
3. Daerah dataran
tinggi adalah daerah yang mempunyai ketinggian tempat Di atas 750m dpl.
Pada
daerah dataran rendah, dengan suhu rata-rata harian lebih tinggi daripada dataran
sedang dan tinggi akan lebih menguntungkan jika memilih orientasi kandang timur
– barat. Orientasi kandang seperti ini dapat mengurangi limpahan total radiasi matahari
yang diterima oleh bahan atap kandang. Dari pagi sampai sore hari, hanya sisi
kandang sebelah timur menerima limpahan radiasi sedangkan sisi sebelah barat tidak.
Makin kecil luasan area atap kandang yang mendapat radiasi matahari tentu intensitas
radiasi matahari yang diterima makin kecil pula. Pada sore hari, hanya sisi atap
kandang sebelah barat menerima limpahan radiasi matahari sedangkan sisi sebelah
timur tidak. Masalah yang perlu mendapat perhatian pada sistem orientasi kandang
seperti ini adalah kelembaban kandang dan sistem ventilasi kandang.
Orientasi
kandang timur – barat mempunyai konsekuensi sinar matahari pagi yang sangat
berguina untuk membunuh mikroorganisme patogen hanya sebagian kecil masuk ke
dalam kandang. Kandang dengan ventilasi minimum atau jelek jika ditambah dengan
permasalahan kelembabab kandang yang tinggi maka sangat baik bagi pertumbuhan
dan perkembangan mikroorganiosme patogen.
Orientasi
kandang utara-selatan lebih baik dipakai pada kandang di daerah dataran sedang
dan tinggi. Pertimbangan pemilihan ini karena di daerah dataran sedang dan
tinggi suhu udara kandang sudah mendekati kisaran suhu nyaman bagi pertumbuhan
ternak. Kandang dengan orientasi utara-selatan memungkinkan limpahan radiasi
matahari secara maksimal dapat diterima oleh bahan atap kandang.
Radiasi
matahari pagi dapat masuk pada semua sisi kandang sebelah timur (menghadap
matahari). Sinar matahari ini sangat berguna untuk mengendalikan perkembangan
mikroorganisme patogen pada ternak. Pagi sampai siang hari, permukaan atap pada
sisi timur secara keseluruhan dapat menerima radiasi matahari sehingga atap
kandang mendapat panas secara maksimal. Pada siang sampai sore hari, sisi
kandang sebelah barat mendapat radiasi matahari secara total. Pada kandang dengan
sistem orientasi utara – selatan, ventilasi kandang harus diperhatikan untuk mengatasi
cekaman panas pada siang hari (pukul 14.00 wita) dimana intensitas radiasi
matahari sangat tinggi.
Secara
perinsip pemilihan orientasi kandang seharusnya mempertimbangkan faktor
topografi lokasi peternakan (dataran rendah, sedang dan tinggi). Tofografi menjadi
penting diperhatikan karena pada topografi berbeda, iklim mikro di daerah tersebut
berbeda pula. Ventilasi kandang menentukan tingkat pergerakan udara di dalam
kandang. Kandang dengan ventilasi yang kurang (jelek) menyebabkan udara didalam
kandang tersekap sehingga proses pelepasan panas dari dalam kandang ke lingkungan
menjadi terganggu.
Yusran A. Yahya NS (Sumber: Diktat
Kuliah, Ilmu Lingkungan Ternak, Fapet Universitas Udayana, 2017)