DIOLUHTAN-suluhtani. Kelapa sawit merupakan tanaman yang mampu memberikan keuntungan finansial yang cukup besar sehingga mendorong masyarakat untuk menanamnya secara besar-besaran. Namun demikian, praktek budidaya kelapa sawit di tingkat masyarakat selama ini masih terjadi kesenjangan hasil produksi atau yield gap.
Produktivitas pada tingkat petani hanya sekitar 35% dari potensi hasil dengan asumsi hasil pada keadaan iklim tertentu tanpa mengalami keterbatasan ketersediaan hara dan serangan hama/penyakit yang signifikan. Berbagai penyebab rendahnya produktivitas kelapa sawit dapat disebabkan oleh penggunaan bibit yang berkualitas rendah, pemupukan yang tidak cukup dan tidak berimbang, frekuensi panen yang belum ideal dan pengurasan kandungan bahan organik tanah akibat penggunaannya yang intensif tanpa usaha pengembalian ataupun penambahan bahan organik ke dalam tanah.
Isu lain berkaitan dengan
kelapa sawit adalah bahwa perkebunan sawit dianggap sebagai salah satu penyebab
utama emisi gas rumah kaca pada pertanian. Hal ini tidak lepas dari historis
pengembangan perkebunan kelapa sawit yang sebagian besar menggunakan lahan
hutan dan lahan gambut yang tinggi cadangan karbonnya. Dampak dari konversi
lahan gambut ini adalah terjadinya peningkatan emisi gas rumah kaca yang cukup
nyata.
Terkait dengan yield gap
yang terjadi, Badan Litbang Pertanian melalui Balai Penelitian Tanah
(Balittanah) mengadakan riset bekerjasama dengan beberapa universitas
(University of Nebraska-Lincoln, Wageningen University, Universitas Indonesia),
dan beberapa lembaga penelitian dan lembaga swadaya masyarakat. Kegiatan riset
yang diberi nama Global Yield Gap Atlas
(GYGA) Oil Palm ini merupakan riset jangka panjang yang dimulai tahun 2019
dan akan berakhir pada tahun 2023.
Prof. Dr. Fahmuddin Agus,
peneliti utama Balitbangtan menjelaskan bahwa peran Balittanah dalam riset ini
adalah untuk mempelajari perubahan cadangan (stock) karbon organik di dalam tanah, baik dalam fungsinya untuk
meningkatkan produktivitas kelapa sawit maupun untuk mengurangi konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer. Balittanah juga ditugaskan untuk menganalisis skenario
perubahan penggunaan lahan ke depan dan seberapa besar arti peningkatan hasil
tandan buah segar kelapa sawit terhadap penghematan lahan (land saving) dan
penurunan emisi gas rumah kaca.
Pengelolaan bahan organik
merupakan praktek yang rutin pada perkebunan kelapa sawit melalui daur ulang
pelepah sawit. Seperti diketahui bahwa bahan organik memiliki fungsi dalam
memperbaiki struktur tanah (berat isi, agregasi, kapasitas tanah memegang air,
aerasi dan drainase tanah). Tanah dengan sifat fisik yang baik akan meningkatkan
penetrasi akar, aerasi tanah, dan ketersediaan air bagi tanaman. Bahan organik
juga berfungsi untuk memperbaiki sifat kimia tanah melalui peningkatan
kapasitas tukar kation yang akan menjamin ketersediaan hara bagi tanaman.
Kesehatan tanah yang dicirikan oleh melimpahnya organisme di dalam tanah juga
ditentukan oleh kandungan bahan organik tanah.
Selanjutnya dalam
kegiatan penelitian ini, salah satu faktor yang menjadi fokus penelitian
terkait bahan organik yaitu mengenai bagaimana pelepah sawit ditata dari sistem
konvensional dengan menumpuk pelepah diubah menjadi menyebar pelepah sehingga
diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan perakaran dan meningkatkan kadar air
tanah.
Melalui penyimpanan atau
pengembalian bahan organik ke dalam tanah maka konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer dapat dikurangi. Luasnya perkebunan kelapa sawit rakyat di Indonesia
menjadikan potensi penyimpanan karbon oleh perkebunan ini juga semakin besar.
Semakin banyak karbon tersimpan di dalam tanah, semakin berkurang
konsentrasinya di dalam atmosfer. Pengelolaan kebun kelapa sawit yang benar
juga berpengaruh besar dalam menekan emisi gas rumah kaca yang terjadi sehingga
perkebunan ini menjadi ramah lingkungan.
Penelitian ini
dilaksanakan di di enam provinsi di Indonesia, yaitu Provinsi Jambi, Riau,
Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Salah
satu lokasi penelitian adalah perkebunan kelapa sawit di Desa Harapan Jaya,
Kecamatan Segah, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Hasil pengamatan
sementara menunjukkan bahwa senjang hasil panen kelapa sawit salah satunya
disebabkan oleh pengelolaan kebun yang belum menerapkan “best management practices” terutama dalam hal mempertahankan dan
menambah kandungan bahan organik di dalam tanah dan hampir tidak adanya
pemupukan di kalangan petani. Salah seorang petani di Desa Harapan Jaya,
Kalimantan Timur menyatakan ketidaktahuan mereka bahwa dengan pemupukan dapat
meningkatkan hasil lebih dari dua kali lipat. Ini menunjukkan bahwa teknologi
dan aplikasi nyata penerapan teknologi di tingkat lapang sangat diperlukan.
Sebagai informasi
diketahui bahwa lokasi Harapan Jaya didominasi oleh ordo Ultisol dan Inseptisol
yang relatif rendah cadangan karbonnya. Ini menggambarkan besarnya peluang
untuk menyimpan karbon lebih banyak pada tanah Ultisol dan Inceptisol. Penataan
jarak tanam, jalur bersih, jalur kotor, pemupukan, pengapuran, pemangkasan
pelepah, dan pengembalian sisa biomassa ke dalam lahan menjadi peluang untuk
meningkatkan produktivitas kelapa sawit sekaligus meningkatkan cadangan karbon
di dalam tanah. Selain itu, perbaikan penggunaan bibit tanaman bermutu tinggi
untuk areal baru dan areal replanting merupakan perlakuan kunci best
management. Diharapkan dengan praktek best management masalah yield gap ini dapat teratasi.
Editor dan Re-Suluh: Y.A.Yahya
Sumber: Fanspage FB Balittanah Kementan