DIOLUHTAN-suluhtani. Mujair adalah sejenis ikan air tawar yang biasa dikonsumsi. Penyebaran alami ikan ini adalah perairan Afrika dan di Indonesia pertama kali ditemukan di muara Sungai Serang pantai selatan Blitar, Jawa Timur pada tahun 1939. Meski masih menjadi misteri, bagaimana ikan itu bisa sampai ke muara terpencil di selatan Blitar, tak urung ikan tersebut dinamai ‘mujair’ untuk mengenang sang penemu.
Segera setelah ditemukan, ikan ini jadi favorit. Dibudidayakan pada masa kolonial hingga Orde Baru. Dan terungkap asal usul nama ikan mujair yang ternyata menggunakan nama penemunya. Sebuah penemuan memang kerap diberi nama sesuai nama penemunya, termasuk ikan mujair. Pria bernama Moedjair adalah penemu ikan yang enak dan populer ini. Pria asal Blitar, Jawa Timur yang biasa disapa Mbah Moedjair ini menemukan ikan mujair sekitar tahun 1939.
Mbah
Moedjair yang punya nama asli Iwan Dalauk ini tinggal di Desa Kuningan, dekat
Kota Blitar. Sekali waktu pada 1939, Moedjair, seorang pegawai desa dari Desa
Papungan, Kanigoro, Blitar, pergi ke muara sungai Teluk Serang yang terletak di
pantai selatan, Blitar. Di sana dia menemukan berbagai jenis ikan yang belum
diketahui sebelumnya. Ikan ini aslinya hidup di perairan asin alias di laut. Dia
membawa pulang lima jenis ikan dan memeliharanya di kolam pekarangan rumah.
Usaha
untuk membudidayakan ikan ini tak berjalan mudah. Mbah Moedjair harus beberapa
kali menangkap ikan dan membawanya pulang karena ikan-ikannya mati di kolam air
tawar yang ia buat. Ia baru berhasil pada percobaan ke 11 yang mampu
mempertahankan empat ekor ikan mujair yang siap dibudidaya di air tawar
Ide
untuk membudidayakan ikan ini berasal dari rasa penasaran Mbah Moedjair. Ia
melihat ada ikan yang berkembang cepat dan unik karena induk ikan memasukkan
anak-anaknya ketika merasa terancam. Saat sudah aman, anak ikan akan
dikeluarkan lagi dari dalam mulutnya. Proses bertelurnya pun dengan cara
menyimpannya di dalam mulut hingga masa menetas jadi anak ikan.
Seiring
waktu, ikan ini mendapat perhatian warga desa. Moedjair pun mulai membuat
kolam-kolam agar ikan bisa lebih banyak berkembang. Alhasil, kini ikan mujair
bisa dengan mudah ditemui di pasaran.
Makam Mabh Moedjair, penemu ikan Mujair. (Foto: Ist/historia.id)
Kabar
itu sampai ke telinga Schuster, kepala penyuluhan perikanan di Jawa Timur. Dia
berkunjung ke Papungan untuk melihat ikan temuan Mudjair. Ternyata ikan
tersebut diidentifikasi sebagai Tilapia mossambica, yang berasal dari Afrika.
Dengan
cepat ikan temuan Mudjair dibudidayakan karena cepat bertelur, pertumbuhannya
cepat, dan mudah beradaptasi dengan segala lingkungan air mulai kolam hingga
rawa-rawa. Nama ilmiahnya adalah Oreochromis mossambicus, dan dalam bahasa
Inggris dikenal sebagai Mozambique tilapia, atau kadang-kadang secara tidak
tepat disebut "Java tilapia".
Ciri-ciri
ikan ini berukuran sedang, panjang total maksimum yang dapat dicapai ikan
mujair adalah sekitar 40 cm. Bentuk badannya pipih dengan warna hitam,
keabu-abuan, kecoklatan atau kuning. Sirip punggungnya (dorsal) memiliki 15-17
duri (tajam) dan 10-13 jari-jari (duri berujung lunak); dan sirip dubur (anal)
dengan 3 duri dan 9-12 jari-jari. Dijelaskan wikipedia.org, Mujair
juga sangat peridi. Ikan ini mulai berbiak pada umur sekitar 3 bulan, dan
setelah itu dapat berbiak setiap 1½ bulan sekali. Setiap kalinya, puluhan butir
telur yang telah dibuahi akan ‘dierami’ dalam mulut induk betina, yang
memerlukan waktu sekitar seminggu hingga menetas. Hingga beberapa hari
setelahnya pun mulut ini tetap menjadi tempat perlindungan anak-anak ikan yang
masih kecil, sampai anak-anak ini disapih induknya. Dengan
demikian dalam waktu beberapa bulan saja, populasi ikan ini dapat meningkat
sangat pesat. Apalagi mujair cukup mudah beradaptasi dengan aneka lingkungan
perairan dan kondisi ketersediaan makanan.
Ikan
mujair mempunyai toleransi yang besar terhadap kadar garam (salinitas),
sehingga dapat hidup di air payau. Jenis ikan ini memiliki kecepatan
pertumbuhan yang relatif cepat, tetapi setelah dewasa kecepatannya ini akan
menurun.
Menurut
K. F. Vaas dan A. E. Hofstede dalam Studies on Tilapia Mossambica Peters (ikan
Mudjair) in Indonesia, ketika menghadiri Konferensi Ahli-ahli Perikanan Darat
pada November 1939, Schuster mengemukakan mengenai ikan temuan Mudjair.
Atas
penemuan ini, Tilapia mossambica mendapat nama lokal: ikan mujair. Pemerintah
Hindia Belanda, tulis harian Pedoman edisi 27 Agustus 1951, mengapresiasi usaha
Mudjair membudidayakan ikan mujair dengan memberinya santunan sebesar Rp6,- per
bulan.
Tak
hanya skala nasional, Mbah Moedjair juga menyabet penghargaan internasional
dari Konsul Komite Perikanan Indo Pasifik pada 1953.
Ikan Mujair Ditemukan Oleh Mbah Moedjair Asal Blitar (Foto: Ist/detik.com)
Saat
pendudukan Jepang, ikan mujair kian populer. Pasukan Jepang, seperti tercatat
dalam Tilapia: Biology, Culture, and Nutrition suntingan Carl D. Webster dan
Chhorn Lim, membawanya ke seluruh daerah untuk dibudidayakan dalam
tambak-tambak. Dan Mudjair diangkat sebagai pegawai negeri tanpa harus
mendapatkan beban kerja.
Enam
tahun setelah Indonesia merdeka, Mudjair menerima surat tanda jasa dari
Kementerian Pertanian atas jasanya sebagai penemu dan perintis perkembangan
ikan mujair.
Mbah
Moedjair meninggal pada tahun 1957 karena sakit asma yang dideritanya. Ia
dimakamkan di Blitar dan nisannya kini dilengkapi dengan keterangan jika ia
adalah penemu ikan mujair.
Pada
era Orde Baru, ikan mujair masih menjadi santapan favorit masyarakat. Sejak
1982, sebagaimana termuat dalam Laporan Pelita IV 1984-1989, program
pengembangan aneka ikan dilaksanakan pemerintah dengan menyebarkan bibit ikan
mujair dalam kolam pekarangan dan waduk-waduk.
Editor dan Re-Suluh: Y.A.Yahya
Source: historia.id, detik.com dan wikipedia.org