DIOLUHTAN-suluhtani. Siapa yang tidak mengenal Bacharuddin Jusuf Habibi, anak bangsa yang berprestasi di kancah internasional. Sosok yang sangat dihormati oleh pakar dan ilmuan dunia karena kejeniusannya khususnya di bidang kedirgantaraan. Salah satu penemuan yang sampai sekarang dipakai oleh semua pesawat di dunia adalah teori yang disebut "Crack Progression Theory" atau faktor Habibie.
B.J Habibie saat menjabat Menteri Riset dan Teknologi RI
Sayangnya, Indonesia kehilangan sosok cendekiawan tersebut. Setelah sempat dinyatakan sehat, namun takdir membuat sosok yang begitu dikagumi banyak orang ini mengalami gagal jantung. Selain dikenal sebagai orang paling cerdas diantara ahli teknologi penerbangan, beliau juga merupakan mantan Presiden Republik Indonesia ke-3, mantan Wakil Presiden dan mantan Menteri Riset dan Teknologi serta berbagai jabatan strategis lainnya semasa pemerintahan Presiden Soeharto. Oleh karena itu, ada banyak kisah yang bisa kita ikuti darinya, termasuk kisah masa kecilnya.
BJ.
Habibie atau biasa dipanggil Rudy, dilahirkan di Kota Parepare-Sulawesi Selatan
pada 25 Juni 1936 yang banyak menghabiskan masa kecilnya di kota itu. Itu
karena ayahnya Alwi Abdul Jalil Habibie adalah seorang ahli pertanian yang
ditugaskan sebagai Adjunt Landbouw Consulen atau Ahli Pertanian di wilayah
Afdeling Parepare yang sekarang telah menjadi beberapa kabupaten/kota,
diantaranya Barru, Sidenreng Rappang, Pinrang, serta Kota Parepare. Salah satu
tugas Alwi Abdul Jalil Habibie adalah membimbing dan membina Mantri Pertanian
serta melakukan penyuluhan dan eksperimen pertanian pada wilayah tersebut.
Jiwa
pertanian begitu kental mengalir dalam diri bapak Teknologi ini, karena ayah beliau juga adalah alumni Nederlandsch Indische
Veeartsenschool di Buitenzorg (Bogor) atau sekarang dikenal dengan Institut
Pertanian Bogor (IPB).
Dari
berbagai sumber digital dan laman resmi LPPKS Kemdikbud menguraikan bahwa
kejeniusan Rudy Habibie telah terbentuk sejak kecil. Selain karena keenceran
otaknya, juga karena hasil didikan dan gemblengan ayahnya. Dalam buku biografi B.J Habibie berjudul “Rudy: Kisah Masa Muda Sang
Visioner” yang ditulis Gina S Noer dan diterbitkan tahun 2015, Rudy digambarkan sebagai anak yang selalu cerewet, dan ingin tahu segala sesuatu.
Diceritakan
bahwa Rudy adalah sosok anak keempat dari delapan bersaudara. Kala itu,
Rudy lahir dengan tangis yang begitu kencang, Bahkan ibundanya tercinta, R.A.
Tuti Marini Puspowardojo kewalahan menenangkan tangisnya. Tak hanya itu saja,
Habibie kecil adalah anak yang tak bisa diam. Bahkan, dalam sehari hanya tidur
empat jam dalam sehari. Selebihnya dia akan menangis kalau tidak digendong.
Setelah
berusia 2-3 tahun, tangisnya berganti dengan celoteh yang menanyakan berbagai
hal. Rudy adalah anak yang selalu ingin tahu dan menanyakan segala sesuatu yang
ditemui dan dilihat pada ayahnya. Apapun dilihat, ingin ia diketahui
penyebabnya dan kenapa begini kenapa begitu. Tak heran kalau Habibie kecil
sudah lancar membaca di usia empat tahun.
Dilansir
Attoriolong.com. Pada suatu hari Rudy menderita sakit yang cukup parah, karena
tenaga dokter di daerah tersebut belum ada, maka orang tuanya membawa Habibie kepada
seseorang yang dianggap pintar mengobati di Barru, yaitu Raja Andi Djondjo
Kalimullah Karaeng Lembang Parang Arung Berru. Lewat bantuan raja tersebut yang
memberinya air jampi-jampi, kondisi Habibie berangsur-angsur pulih kembali.
Ada
kejadian menarik yang selalu dikenang Tuti Marini tentang putranya Rudy, karena
wajah Habibie sangat mirip dengan wajah ayahnya, maka menurut kepercayaan orang
Bugis, Habibie harus dijual. Jika hal ini tidak dilakukan maka akan terjadi
suatu musibah, yakni salah satu dari mereka akan meninggal dunia atau terpisah
secara berjauhan. Oleh karena itu dalam sebuah upacara adat, Habibie dibeli
secara simbolis oleh Raja Barru Andi Djondjo dengan sebilah keris.
Pada
tahun 1942, tersiar kabar bala tentara Jepang akan memasuki wilayah Parepare
sehingga keluarga Habibie bersama warga lainnya terpaksa meninggalkan rumah
serta sebagian kekayaannya untuk mengungsi ke Desa Teteaji di Sidenreng
Rappang. Setelah Belanda menyerah kepada tentara Jepang, keluarga Habibie
kembali ke Parepare, tetapi tidak lama kemudian sekutu datang menyerang.
Ketika
peperangan antara sekutu melawan Jepang semakin sengit, Habibie bersama
keluarganya terpaksa mengungsi kembali dengan dibantu oleh Andi La Calo Arung
Mallusetasi, mereka menyingkir ke kampung Landrae di Desa Nepo, tidak jauh dari
Palanro yang terletak di jalan besar tepi pantai antara Makassar dan Parepare.
Ayah
Habibie sempat membangun sebuah masjid di Landrae yang sekarang dikenal dengan
nama Masjid Nur Habibie Pattanrongnge, Desa Nepo. Selama di Landrae, Habibie
sering mandi-mandi. Selain di Landrae, Habibie juga sering berkunjung dan mandi
di permandian alam Bujung Makkatoangnge di Desa Manuba. Mereka baru kembali ke
Parepare setelah Jepang kalah dan menyerah kepada sekutu tahun 1945.
Pada
tahun 1947, ayah Habibie dipromosikan menjadi Kepala Pertanian untuk wilayah
Indonesia Timur yang berkedudukan di Makassar, sehingga Habibie dan keluarganya
pindah ke Makassar. Pada tanggal 3 September 1950, ayah Habibie meninggal
setelah mengalami serangan jantung saat sujud dan berpesan ke istrinya agar
anaknya melanjutkan pendidikan setingginya dan berpesan ke ibunda agar
memindahkan keluarganya ke Jawa. Ibu Habibie, Tuti Marini kemudian mengajak
anak-anaknya pindah ke Bandung dan disekolahkan di sana hingga Habibie kuliah
di Universitas Indonesia Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) dengan
bidang pesawat terbang. Setelah itu Habibie melanjutkan studi teknik penerbangan
di Rhenisch Wesfalische Tehnisce Hoscule (RWTH), Aachen, Jerman.
Menjawab Serius dan Sederhana
Di tulis kompas.com. Alwi Abdul
Djalil Habibie, adalah yang pertama selalu ditanya-tanya oleh Rudy kecil. Ayahnya
pun selalu menjawab dengan serius tapi dengan cara yang sesederhana mungkin
sehingga Rudy kecil juga mengerti dan paham.
Suatu contoh, suatu waktu
saaat berusia 3 tahun, Rudy menanyakan, apa yang dilakukan ayahnya dengan
menggabungkan kedua pohon yang berbeda atau tak sejenis. Ayahnya memang
menjabat landbouwconsulent atau
setara dengan Kepala Dinas Pertanian di wilayah Afdeling Pare-Pare di
Sulawesi Selatan.
Ayahnya tidak pernah kesal
dengan pertanyaan Rudy tersebut, tapi menjawabnya dengan serius. Ia tak
menjawab dengan jawaban yang sederhana, tetapi menjawabnya dengan serius tapi
dengan cara yang sesederhana mungkin sehingga anak kecilpun tahu. “Papi sedang
melakukan eksperimen, jadi kita bisa menemukan jawaban dari percobaan. Nah, ini
namanya stek. Batang yang di bawah itu adalah mangga yang ada di tanah kita,
tapi rasanya tidak seenak mangga dari Jawa. Jadi, batang Mangga dari jawa, Papi
gabungkan dengan batang yang di bawah ini”, kata ayahnya.
Rudy
kembali bertanya, “Mengapa Papi gabungkan?” Jawaban ayahnya: “Agar kamu dan
teman-teman bisa makan Mangga yang enak”. Lantas Rudy bertanya lagi: “Kalau
gagal bagaimana?”. Jawaban ayahnya: “Kita cari cara lain dan pohon Mangga lain
agar bisa tumbuh di sini”. Rudy pun puas atas jawaban ayahnya itu.
Itulah
yang selalu dilakukan ayahnya setiap kali Rudy bertanya segala sesuatu, dijawab
dengan cara sesederhana mungkin agar bisa dipahami anak kecil. Dengan cara
itulah, keingintahuan Rudy terus tumbuh dan terasah sampai dewasa.
Buku adalah Cinta
pertama Rudy Habibie
Namun, ayahnya tidak
setiap saat selalu ada saat Rudy ingin bertanya sesuatu. Hasilnya, usia 4
tahun, Rudy sudah lancar membaca dan rajin melahap buku-buku yang disediakan
ayahnya. Pendek kata, sejak usia empat tahun, buku menjadi cinta pertama Rudy
dan membaca menjadi bagian hidupnya.
Rudy membaca buku apa
saja, mulai ensiklopedia sampai buku cerita. Buku-buku karya Leonardo Da Vinci
dan buku fiksi ilmiah karya Jules Verne menjadi buku-buku favorit Rudy. Rudy
pun senang sekali membuka buku-buku dalam bahasa Belanda.Setiap menemukan kata-kata yang sulit dan tak dipahami, Rudy tak segan bertanya
pada orang tuanya sehingga akhirnya orang tuanya membelikan kamus
Indonesia-Belanda sehingga bisa belajar sendiri.
Kegemarannya membaca ini
rupanya berefek samping. Rudy jadi terus mengurung diri di kamar dan harus
dipaksa untuk keluar. Rudy juga menjadi anak yang gagap karena tidak terbiasa
berbicara dengan orang di luar rumah.
Literasi Baca dan Sains
Apa yang dilakukan Alwi
pada Rudy merupakan salah salah praktek penanaman kebiasaan membaca di rumah. Yang
lebih spesifik lagi, cara Alwi menjawab setiap pertanyaan anaknya itu merupakan
salah satu metode penanaman literasi sains di keluarga.
Melalui cara Alwi
tersebut, Rudy tumbuh menjadi manusia yang gemar mencari setiap masalah dan
menemukan solusinya, termasuk dalam teknologi kedirgataraan yang membuatnya
menjadi pakar ilmu penerbangan yang terkenal di dunia.
Saat
peluncuran buku biografinya, BJ Habibie mengatakan: "Saya dari lahir, cuma butuh tidur empat jam,
selebihnya yang dua puluh jam, panca indera saya menyerap lingkungan sekitar
dan bertanya-tanya," kata Habibie.
Karena panca inderanya
sangat aktif, lanjut Habibie, saat kecil dirinya sudah mulai bertanya-tanya dan
kalau tidak bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan, ia pun menangis.
Kepedulian BJ.Habibie
dengan Lingkungan Hidup
Sebelum
Wafat, Habibie Tengok 'Pohon Kenangan' yang Ditanamnya Dengan Ainun. Bagi
Habibie, pohon yang ditanamnya bersama sang istri di tahun 1984 silam ini
menjadi bagian kenangan tak dipisahkan dari hidupnya.
Kisah
cinta Presiden ke-3 RI BJ Habibie rupanya banyak menyimpan kisah. Selain sering
berkunjung ke makam sang istri Hasri Ainun Besari di Taman Makam Pahlawan (TMP)
Kalibata rupanya BJ Habibie kerap berkunjung ke Pusat Penelitian Teknologi
(Puspitek) Kota Tangerang Selatan.
Dilansir
media SuaraBanten.id, di kawasan Puspitek yang berada di Jalan Raya Puspitek
Kelurahan Muncul Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan, Habibie menengok pohon
beringin jenis Ficus benjamina variegata. Bagi Habibie, pohon yang ditanamnya
bersama sang istri di tahun 1984 silam ini menjadi bagian kenangan yang tak
bisa dipisahkan dari hidupnya. "Terakhir kali beliau berkunjung ke Kebun
Provinsi ini pada bulan Juli lalu," kata Analis Kebon Botani dan
Kebersihan Lingkungan Kawasan Puspitek Dede Kusmawan pada Kamis (12/9/2019).
Dede
mengemukakan kedatangan mantan menristek di zaman Orde Baru tersebut hanya
khusus melihat pohon besar yang ditanamnya. Dia mengingat, saat terakhir
kedatangan Habibie ke Puspitek, sempat menanyakan kondisi pohon besar yang
ditanamnya 35 tahun silam. "Waktu itu beliau bertanya, 'apakah pohon ini
rapuh kalau ada angin kencang?' (dijawab) Ya jelas tidak. Karena pohon ini
masih kokoh dan juga selalu dibersihkan bawahnya," ujarnya.
Pohon beringin yang ditanam di salah satu kawasan Puspitek Tangerang Selatan kerap dikunjungi BJ Habibie. (Dok: suara.com/Iqbal)
Dikemukakan
Dede, pada tahun sebelumnya, Habibie kerap menengok pohon beringin tersebut.
Namun, pada tahun ini, Dede mengemukakan, Habibie baru sekali berkunjung. Kala
itu pada Juli 2019. Saat itu, Habibie sempat berpesan, jika pohon itu dapat
membahayakan orang lain alangkah baiknya dipangkas. Namun, tak sedikit orang
yang juga berswa-foto di pohon yang terdapat monumen tersebut. "Banyak
yang ambil foto kalau berkunjung disini. Dan pohon ini juga sangat kuat jika
ada angin kencang. Jadi kami rasa, ini memang pohon yang cocok berada di tempat
ini," kata dia.
Pesan untuk Kaum
Millenial
BJ
Habibie memang dikenal sebagai orang cerdas, ada banyak teladan yang perlu
dicontoh anak milenial. Dikutip dari biografi BJ Habibie di laman Perpustakaan
Nasional, masa kecil BJ Habibie dilalui bersama saudara-saudaranya di
Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Sifat tegas berpegang pada prinsip telah
ditunjukkan BJ Habibie sejak kanak-kanak.
Habibie
kecil punya kegemaran menunggang kuda, sehingga membuatnya berpesan pada
anak-anak sekarang untuk tidak terlalu sering bermain gawai. Ia menyarankan
anak-anak untuk memiliki aktivitas di luar ruangan. "Anak jangan terlalu
banyak main internet, tapi ya enggak terus-terusan belajar juga. Dalam 24 jam
kan bisa dibagi-bagi tuh waktunya, jangan lupa main di luar juga penting,"
tutur pria yang juga pernah menjadi Menteri Riset dan Teknologi ini.
Rudy
Habibie muda pindah ke Bandung setelah ayahnya meninggal untuk menuntut ilmu di
Gouvernments Middlebare School. Di SMA, ia mulai tampak menonjol prestasinya,
terutama dalam pelajaran eksakta. Berkat kecerdasannya, beliau masuk di ITB dan
melanjutkan kuliah di Jerman setelah mendapat beasiswa. Melansir live streaming detikcom, sang anak Ilham Akbar dalam sambutannya dalam prosesi pemakaman Habibie, disebut kalau almarhum tak pernah berhenti belajar hingga menutup mata. "Bapak tak pernah berhenti belajar hingga menutup usia. Semangatnya tak pernah mengenal lelah," ungkap Ilham.
Dilansir LPPKS Kemdikbud, musim liburan bukan liburan bagi BJ Habibie
justru kesempatan emas yang diisi dengan ujian dan mencari uang untuk membeli
buku. Ya, Habibie adalah kutu buku, tak heran ia menjadi sosok cerdas dan
selalu ingin tahu ilmu baru.
Sehabis
masa libur, semua kegiatan disampingkan kecuali belajar. Berbeda dengan
teman-temannya yang lain, lebih banyak menggunakan waktu liburan musim panas
untuk bekerja, mencari pengalaman dan uang tanpa mengikuti ujian.
Soal
makanan yang dikonsumsi saat kecil, BJ Habibie menganggap lingkungan dan
nutrisi di awal kehidupan, memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
kesehatan di masa depan. Untuk itu penting banget mendorong anak mengenal dan
menyukai pola makan sehat. "Dari kecil, isi piring saya terdiri berbagai
jenis makanan. Ada nasi, lauk pauk seperti protein hewani yaitu ikan, ayam,
daging, sayur, buah,dan saya juga suka minum susu," tutur BJ Habibie.
B.J. Habibie (kedua dari kanan) bersama saudara-saudaranya saat masih tinggal di Parepare. Foto presiden.perpusnas.go.id
Ayahandanya
seringkali melihat ketertarikan Rudy akan pesawat terbang dan senantiasa
mendukung dalam kalimat motivasi yang menguatkannya untuk menjadi seorang
teknokrat.
Ada
satu pesan ayahanda Rudy Habibie yang membawanya kembali pada pangkuan ibu
pertiwi. "Rudy, kamu harus menjadi mata air,kalau kamu baik pasti di
sekitarmu akan baik, tapi kalau kamu kotor pasti disekelilingmu akan mati. Ada
banyak sekali orang di muka bumi ini, banyak sekali ragamnya. Jangan sampai
kamu lukai mereka. Itu intinya ".
Mungkin,
jika tanpa keteguhan hati dan rasa cinta kepada tanah air, Indonesia tidak
berhasil membuat pesawat N-250 Gatotkaca produksi di IPTN Bandung. “N-250
adalah hadiah saya untuk ulang tahun Indonesia yang ke-50 waktu itu. Anak muda
Indonesia sekarang harus lebih hebat dari Habibie, karena segala fasilitas
untuk berinovasi saat ini sangat lengkap,” ujar Habibie.
Ide
pertama Habibie untuk menciptakan kapal terbang, terinspirasi saat beliau
melakukan perjalanan dari Makassar ke Jakarta dengan menggunakan kapal laut. Ia
membutuhkan lima hari perjalanan. Fenomena tersebut yang mendorong beliau untuk
berpikir bagaimana untuk menciptakan pesawat terbang.
Kini
sang teknokrat tersebut sudah berpulang ke pangkuan Illahi pada hari Rabu
(11/9/2019) pukul 18.05 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta di usia 83 tahun dan
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, tepat di samping
pusara istri tercintanya. Semoga setiap warisan ilmu dan motivasinya membuat
generasi milenial Indonesia semakin lebih mencintai negeri sekaligus membuat
karya yang kian membanggakan Indonesia di mata dunia.
Selamat
tinggal sang Teknokrat kebanggaan Indonesia, Prof. Dr. Ing. B.J Habibie
Editor:
Y.A.Yahya
Disarikan
dari berbagai sumber