DIOLUHTAN-suluhtani. Tidak
cukup sehari untuk mengenal sosok wanita kreatif ini. Beliau bernama Maria Loretha, perempuan tangguh yang
membudidayakan tanaman sorgum di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tak hanya sendiri, petani
di lngkungannya juga diajak serta untuk menanam tanaman pangan yang banyak diminati
pasar dunia tersebut. Di hari pangan sedunia yang diperingati pada 16 Oktober
2018 ini mari kita mengenal sosok perempuan tangguh dan inspiratif ini.
Pertemuan
dengan Mama Tata (begitu ia biasa disapa) terjadi lewat acara DBS Live More
Society Daily Kindness Trip, (Sabtu, 13/10/2018). Jelajah Nusa Nipah (nama lawas untuk pulau Flores)
berawal dari Larantuka, Pulau Solor, Maumere dan berakhir di Ende. “Selamat
datang di ladang sorgum kami. Senang sekali bisa menerima tamu-tamu jauh,”
sapaan ramah dan bersahabat itu meluncur dari bibir perempuan yang masih ada
garis keturuan suku Dayak Kanyatan ini sudah seperti logat perempuan Flores
pada umumnya.
Ladang sorgum Maria Loretha di Desa Likotuden, Flores Timur, NTT. (Edy Suherli/Fimela.com)
Mama
Tata “terdampar” di Flores karena keadaan. Krisis moneter yang melanda Indonesia
di tahun 1998 membuat dia dan suaminya, Jeremias D. Letor pulang kampung.
Bercocok tanam di Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat, Pulau Adonara, Flores
Timur, Nusa Tenggara Timur menjadi milihan pasangan yang semua bermukim di
Malang Jawa, Timur ini.
Jalan
mulus beraspal antara Larantuka dan Maumere memang tak sebanding dengan jalanan
bebatuan menuju ladang sorgum Desa Likotuden tempat Mama Tata berladang sorgum.
“Desa ini belum merdeka, sepertinya,” kelakar salah seorang peserta trip yang
harus bergoyang ke kiri dan ke kanan karena mobil yang melewat jalan berbatu.
Tapi jangan salah, luasnya ladang sorgum yang berlatar perbukitan dan lautan
membuat panorama di tempat ini begitu menakjubkan.
Ladang
sorgum Maria Loretha di Desa Likotuden, Flores Timur, NTT. (Edy
Suherli/Fimela.com)
Sebelum
menanam sorgum perempuan yang meraih penghargaan Kehati Award 2012 ini sempat
menanam tanaman pangan lainnya seperti padi dan jagung. Namun akhirnya
pilihannya jatuh kepada sorgum untuk situasi dan kondisi alam Flores.
Sorgum
ternyata adalah tanaman yang pas untuk lahan panas dan kering seperti di daerah
Flores. “Kalau padi atau jagung butuh penyiraman. Sedangkan sorgum setelah
tanam dia demikian. Pohon sirgum punya kemampuan menyerap air yang menyembun di
malam hari. Setelah tanama meninggi
rumput-rumpun kecil akan kalah. Berbeda dengan sawah yang tak selalu mendapat
bonus rumput meski yang ditanam adalah padi,” papar alumni Fakultas Hukum
Universitas Merdeka Malang yang kini sudah seperti sarjana pertanian ini. Ia
teruus belajar, belajar sambil bekerja dalam dunia pertanian.
Ladang sorgum Maria Loretha di Desa Likotuden, Flores Timur, NTT sering menjadi tempat kunjungan, termasuk oleh tim DBS Live More Society Daily Kindness Trip ini. (Edy Suherli/Fimela.com)
Pupuk
dan pestisida, masih kata Maria Loretha, juga tak dibutuhkan. Sorgum yang
mereka kembangkan adalah organik. Dalam setahun sorgum bisa tiga kali panen.
Usia tiga bulan panen pertama bisa dilakukan, setelah itu akan tumbuh tunas
baru dan kemudian berbunga dan berbuah lagi. Begitu seterusnya untuk kali
ketiga. Setelah itu harus dilakukan tanam kembali untuk hasil yang maksimal.
Editor
: Y.A. Yahya
Sumber
: www.fimela.com
dengan judul : Selamat HPS 2018,
yuk mengenal Maria Loretha, petani sorgum nan tangguh