DIOLUHTAN-suluhtani. Sulsel. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi Selatan menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bimtek) bagi Pelaku Utama Peternakan yang berlangsung selama 2 hari (Rabu, 11 Juli s/d Kamis, 12 Juli 2018) bertempat di Allson Platinum Room, Hotel Allson City, Makassar.
Kegiatan bimtek ini dilakukan dalam rangka peningkatan kepasitas dan daya saing bagi pelaku utama peternakan. Olehnya itu para pelaku utama yaitu peternak serta penyuluh yang akan mendampingi peternak diberi pembekalan tentang bagaimana membangun paradigma agribisnis berbasis peternakan di daerah masing-masing.
Menurut Narasumber yang juga pengajar pada Departemen Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Dr. Muh. Ridwan, S.Pt, M.Si bahwa dasar untuk membangun paradigma agribisnis berbasis peternakan melalui evolusi pendekatan pembangunan di sektor peternakan. “Hal tersebut dimulai dengan technical approach (sampai dengan tahun 1965), Integrated approach (sampai dengan dasa warsa tahun delapan puluhan), agribusiness approach (diterapkan sampai saat sekarang)” papar Ridwan
Narasumber, Dr. Muh. Ridwan, S.Pt, M.Si saat memaparkan materinya
Ridwan
pun menjelaskan latar belakang sehingga paradigma agribisnis berbasis peternakan
perlu dibangun, mulai dari tingkah laku bisnis dalam sub sektor peternakan yang
mencakup penyediaan sarana produksi peternakan, budidaya, prosessing dan
pemasaran. Hal tersebut di mulai dari manajemen subsistem hulu yang disebut juga subsistem faktor input
(pengadaan sarana produksi). Kegiatan
subsistem ini berhubungan dengan pengadaan sarana produksi pertanian yaitu
memproduksi dan mendistribusikan bahan, alat dan mesin yang dibutuhkan, kemudian subsistem usahatani yang disebut juga
subsistem produksi pertanian. Kegiatan subsistem ini adalah kegiatan usahatani
atau budidaya peternakan. Kegiatan subsistem ini menghasilkan berbagai macam
komoditas primer atau bahan mentah. Lalu subsistem
hilir yang disebut juga subsistem pengolahan dan pemasaran. Kegiatan
memproduksi produk olahan baik produk setengah jadi maupun barang jadi yang
siap dikonsumsi oleh konsumen dengan menggunakan bahan baku komoditas primer.
Dan yang terakhir adalah subsistem
pendukung yaitu semua jenis kegiatan yang berfungsi mendukung dan melayani
serta mengembangkan kegiatan ketiga subsistem agribisnis yang lain. “Lembaga
yang terlibat dalam kegiatan ini adalah penyuluhan, konsultan, keuangan dan
penelitian yang memberikan layanan informasi dan pembinaan teknik produksi,
budidaya dan manajemen” jalasnya
Karakteristik
agribisnis juga perlu diperhatikan dalam membangun paradigma agribisnis
berbasis peternakan di daerah diantaranya (a) keunikan dalam aspek sosial,
budaya, dan politik; (b) keunikan karena adanya ketidak pastian (uncertainty)
dari produksi pertanian yang berbasis blologis; (c) keunikan dalam derajat
Intensitas intervensi politik dan pemerintah; (d) keunikan dalam kelembagaan
pengembangan teknologi; serta (e) perbedaan struktur dalam persaingan.
Kenapa Harus Agribisnis Peternakan.
Ridwan
dalam pemaparannya mengatakan bahwa paradigma pembangunan peternakan adalah yang
mampu memberikan peningkatan pendapatan peternak rakyat yang relatif tinggi dan
menciptakan daya saing global produk peternakan adalah paradigma pembangunan
agribisnis berbasis peternakan. “Itulah
juga mengapa harus integratif, karena dalam keseluruhan sistem agribisnis,
nilai tambah paling besar terjadi dan terdapat pada subsistem agribisnis hulu
dan hilir. nilai tambah subsistem
agribisnis budidaya peternakan relatif kecil.” sebutnya
Peternak
Rakyat yang berada pada agribisnis budidaya akan selalu menerima pendapatan
yang relatif kecil, sehingga kehidupan ekonominya juga tidak mengalami
perubahan yang cukup berarti. Sementara mereka yang menguasai sub sistem hulu
dan hilir menerima pendapatan yang relatif besar dan dewasa ini menjadi
kelompok masyarakat berpendapatan menengah ke atas
Struktur
agribisnis yang tersekat sekat harus dirubah manjadi struktur yang integratif
dan mendorong terwujudnya agribisnis peternakan yang terintegrasi secara
vertikal dimana seluruh subsistem agribisnis peternakan dari hulu sampai
hilir berada pada satu kesatuan keputusan manajemen.
Permasalahan Kebijakan
Kebijakan
yang menyekat-nyekat sistem agribisnis (budidaya untuk peternak rakyat dan non
budidaya untuk non peternak rakyat) akan menciptakan masalah transmisi harga
dan masalah margin ganda. “Margin ganda terjadi bila terdapat
banyak pasar produk antara mulai dari
hulu hingga hilir, yang dikuasai oleh pengusaha yang berbeda yang mengambil
sejumlah margin dan keuntungan. Adanya margin ganda ini menyebabkan harga pokok
penjualan produk agribisnis sehingga tidak berdaya saing” ujarnya
Sedangkan
yang mempengaruhi dari transmisi harga antara lain (a) transmisi harga simetris;
(b) informasi pasar yang tidak normal; (c) sinkronisasi margin dan skala
produksi tidak terjadi dan (d) insentif Inovasi tidak ada
Untuk
transmisi
harga simetris, Ridwan menjelaskan bahwa penurunan harga produk, dengan
cepat dan sempurna ditransmisikan ke peternak rakyat yang berada pada budidaya,
sedangkan kenaikan harga produk
ditransmisikan dengan lambat dan tidak sempurna. Sementara pada pasar
faktor produksi agribisnis sebaliknya. Kenaikan harga faktor produksi tersebut
dengan cepat dan sempurna ditransmisikan ke peternak rakyat yang berada pada
agribisnis budidaya sedangkan penurunan harga faktor produksi ditransmisikan
secara lambat dan tidak sempurna. “Transmisi
harga simetris merupakan salah satu penyebab mengapa kenaikan harga daging ayam
hanya sedikit dampaknya terhadap harga jual ayam potong peternak dan penurunan
harga jagung dan DO tidak langsung
diikuti dengan penurunan harga pakan yang diterima peternak. Sebaliknya,
penurunan harga daging ayam ras dengan cepat sampai ke peternak rakyat dan
kenaikan harga jagung langsung berdampak pada kenaikan harga pakan yang
diterima peternak rakyat sehingga gejolak harga tetap melilit peternak rakyat”
jelas Ridwan yang juga Sekretaris Forum Dosen Kewirausahaan Sulsel dan Auditor di Lembaga Penjaminan Mutu Internal Unhas.
BERITA TERKAIT :
BERITA TERKAIT :
Khusus
informasi
pasar, lebih lanjut dijelaskan bahwa seperti preferensi konsumen
(misalnya, berat ayam per ekor yang diminta konsumen) ditahan bahkan dijadikan
alat untuk memperkuat posisi monopolistik. Berat ayam perekor yang dihasilkan
oleh peternak rakyat yang tidak sesuai dengan permintaan konsumen dijadikan
oleh pedagang ayam sebagai alat untuk menekan harga ayam hidup di tingkat
petani peternak.
Begitu
pula dalam sinkronisasi, jumlah DOC yang dihasilkan oleh industri
pembibitan tidak sama (biasanya lebih sedikit) dari kebutuhan peternak rakyat.
Secara teoritis untuk memperbesar daya serap pasar DOC, perusahaan pembibit (inti)
dapat memperbanyak plasma. Akan tetapi memperbesar jumlah plasma tidaklah mudah
dan membutuhkan biaya, waktu dan mengandung resiko. Alternatifenya perusahaan
peternakan melakukan budidaya sendiri dan melaksanakan kartel DOC untuk
mengkompensasi berkurangnya keuntungan akibat pengurangan produksi.
Pengaruh
dari transmisi harga lainya yaitu Insentif Inovasi karena berbedanya
pemilik budidaya dengan industri hulu dan atau hilir, maka tidak
merangsang untuk melakukan inovasi. Sebab industri hulu yang melakukan inovasi
sadar bahwa manfaat inovasi tersebut bukan hanya untuk dinikmati oleh mereka
yang ada di hilir, padahal tidak ikut menanggung biaya inovasi. Tidak adanya
rangsangan inovasi ini diperkuat pula dengan adanya kartel industri. “Akibat
dis-insentif inovasi adalah Ketergantungan teknologi bibit dan pakan
terhadap import masih tetap tinggi karena Inovasi teknologi pakan dan
pembibitan tidak muncul. Sehingga sampai saat ini. Strain ayam ras hasil riset
dalam negeri tidak muncul-muncul. Demikian juga norma gizi pakan ayam ras yang
sesuai untuk indonesia tidak muncul” paparnya
Dok : suluhtani.com
Pada
agribisnis hilir ayam ras juga tidak ada rangsangan untuk memperluas ke pasar
international. Sebab mereka yang dihilir mengetahui bahwa manfaat perluasan
pasar tersebut juga dinikmati oleh pelaku agribisnis hulu padahal tidak ikut
menanggung biaya perluasan pasar tersebut. “Hal
tersebut mengharuskan adanya integrasi vertical, karena secara teoritis, pengelolaan
agribisnis secara integrasi vertikal kondusif untuk mencapai daya saing. Dengan
pertimbangan pertama, bila
agribisnis hulu, budidaya dan agribisnis hilir berada dalam satu sistem
manajemen maka dengan sendirinya akan menghapus pasar produk antara sehingga
margin ganda mulai dari hulu sampai hilir menjadi hilang. Kedua, dengan integrasi vertikal, dengan sendirinya masalah
transmisi harga juga akan hilang/diminimumkan” ungkapnya
Dalam
mekanisme hilangnya margin ganda akan membuat (1) harga produk menjadi lebih
rendah, konsumen untung, serta makin
mampu bersaing di pasar domestik dan international; (2) Sinkronisasi
skala usaha/produk secara vertikal akan
tercapai, dan setiap tahapan produksi mulai dari hulu hingga ke hilir mampu
mewujudkan skala ekonomi (skala produksi dan biaya rata-rata terendah); (3) harga
pokok penjualan rendah dan makin besarnya volume produk akhir yang dihasilkan
(pada harga pasar tertentu) akan menigkatkan keuntungan. “Sementara dalam mekanisme hilangnya transmisi harga, maka transmisi
harga akan berjalan secara sistematis dan sempurna. Kemudian informasi pasar
khususnya preferensi konsumen akan mudah ditransmisikan dan dimplementasikan ke
seluruh komponen agribisnis dari hulu sampai ke hilir. Dan adanya insentif
untuk melakukan inovasi pada setiap
kegiatan agribisnis, karena manfaat inovasi tersebut akan dinikmati secara
bersama-sama dan dibiayai secara bersama-sama. Inovasi teknologi, manajemen,
dan pemasaran akan dimungkinkan karena dana untuk melakukan penelitian dan pengembangan
telah tersedia dari pemupukan keuntungan yang ditahan” sambungnya.
Salah
satu peserta Bimtek yang juga penyuluh pertanian, Yusran A. Yahya mengungkapkan
bahwa para peserta yang terdiri dari para peternak dan penyuluh pendamping
masing-masing peternak diberi bekal bagaimana membangun paradigma agribisnis
berbasis peternakan di Sulawesi Selatan khususnya di daerah masing-masing.
Dok : suluhtani.com
Dari
materi tersebut, menurut Yusran bahwa para peternak juga diberikan pemahaman
mengenai bentuk dasar usaha
agribisnis. “Diantaranya
adalah (1) agribisnis perseorangan
atau pribadi yang merupakan
bentuk organisasi yang paling tua dan paling sederhana yaitu merupakan
organisasi usaha yang dimiliki dan dikendalikan oleh satu orang. Agribisnis
perorangan cenderung merupakan usaha keci;
(2) agribisnis persekutuan (partnership) yaitu asosiasi
atau perhimpunan dari dua orang atau lebih sebagai pemilik
usaha. Tidak terdapat batas jumlah orang yang dapat bergabung dalam
persekutuan. Persekutuan dapat didasarkan pada perjanjian tertulis dan lisan
atau kontrak antara individu-individu yang terlibat. Sebaiknya persekutuan
didasarkan pada perjanjian tertulis;
(3) agribisnis perseroan,
yang dilengkapi dengan hukum atas kekuasaan, hak,
kewajiban serta tugas-tugas lainnya. Seperti
Perusahaan
di bidang peternakan semisal Wonokoyo, Charoen Pokphan, Medion
dan sebagainya; (4)
agribisnis Koperasi,
didasarkan pada realitasnya bahwa posisi petani rakyat
adalah lemah sehingga secara individu tidak mampu merebut nilai tambah yang
diharapkan.
Oleh karena itu rakyat perlu difasilitasi untuk membentuk
organisasi bisnis petani yang berupa koperasi agribisnis dan dikelola oleh
orang-orang yang profesional”
jelas Yusran mengulang penjelasan narasumber.
Yusran
pun memaparkan syarat pokok pembangunan peternakan yang dikemukakan Dr. Ridwan yaitu
(a) Pasar bagi produk peternakan;
(b) Teknologi yang terus berkembang;
(c) Tersedia sarana produksi dan
alat mesin peternakan; (d) Perangsang produksi bagi peternak;
dan (e) Transportasi/insfrastruktur.
“Faktor-faktor pelancarnya adalah (a) pendidikan
peternakan; (b) hasil riset, diseminasi teknologi dan
pengembangan
peternakan; (c) penyuluhan
peternakan; (d) kredit
peternakan; (e) kelembagaan petani-peternak; dan (f) adanya perencanaan
pembangunan
peternakan” ungkap Yusran
yang merupakan penyuluh pertaninan pada Dinas Peternakan Kab. Bone. Sulsel.
Narasumber berfoto dengan penyuluh pertanian Sulsel , ki-ka : Husain Kamaruddin (pinrang), Yusran A. Yahya (Bone) , Muh. Ridwan (Akademisi Unhas), dan Ibrahim Jabir (Sinjai)di Allson Hotel, Makassar
Para
penyuluh pertanian pun mengaku siap melakukan pengawalan, pendampingan ke
peternak dalam upaya membangun paradigma agribisnis berbasis peternakan di di
daerah masing-masing sehingga pembangunan agribisnis di Sulawesi Selatan dapat
meningkat
Bimtek
pelaku utama peternakan diikuti oleh 50
peserta dengan mengikutkan penyuluh pertanian dan pelaku utama (peternak) di 24
Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Para peserta dibekali materi mengenai
Pengembangan kelembagaan melalui database penyuluh dan kelompok ternak; Peran
penyuluh dalam mendukung keamanan pangan;
Membangun agribisnis peternakan Sulawesi Selatan; Strategi berkelanjutan
kelembagaan peternak; dan Program prioritas Upsus Siwab, Asuransi Ternak,
program Kementan “Bekerja” dan program peternakan lainnya.
Source : Andi
Elya Azis
Editor : Y.A.
Yahya