DIOLUHTAN-suluhtani.
Jakarta. Dengan pertumbuhan populasi, globalisasi dan degradasi lingkungan yang
terjadi sangat cepat, Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal sebagai
salah satu ‘hotspot’ di Asia Tenggara
yang berisiko terkena pandemic penyakit infeksi baru seperti Flu Burung,
Mers-COV dan sebagainya.
Menyadari
bahaya itu, Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan bersama FAO ECTAD Indonesia, terus menggalakkan
berbagai upaya untuk meningkatkan kewaspadaan munculnya penyakit infeksi baru
(PIB).
Salah
satunya melalui program Emerging Pandemic Threat (EPT-2) yang didanai USAID.
Program EPT-2 ini terdiridari 6 (enam) output yaitu Output A (laboratorium,
surveilans, penguatankapasitas); Output B (One Health); Output C (peningkatan
produktifitas perunggasan); Output D (rantai pasar); Output E (penguatan
kapasitas instansi terkait pengendalian PHMS dan zoonosis); Output F
(kesiapsiagaan menghadapi situasi darurat untuk meningkatkan pengendalian PHMS
dan zoonosis), dan Output G (manajemen proyek), ditambah dengan isu AMR/AMU. “Para ahli memperkirakan 5 penyakit baru
pada manusia muncul tiap tahun, 3 diantaranya bersumber dari binatang atau
bersifat zoonosis. Apabila pengendalian penyakit zoonosis yang bersumber dari
hewan tidak dilakukan dengan baik, maka risiko yang timbul lebih besar dari
nilai ekonomi karena menyangkut nyawa manusia. Hal ini menjadi salah satu pokok
bahasan dalam penyusunan kegiatan dalam program EPT-2 ini,” ujar Direktur
Kesehatan Hewan Kementan Fadjar Sumping Tjatur Rasa ketika membuka kegiataan
Rapat Perencanaan EPT2 2018-2019, yang berlangsung di Jakarta pada 30-31 Juli
2018.
Fadjar
menjelaskan, selama hampir 3 tahun terakhir pihaknya aktif meningkatkan
kemampuan para petugas kesehatan dilapangan untuk bias mendeteksi secara dini,
mencegah dan mengendalikan ancaman pandemic tersebut. “Saat ini melalui kegiatan surveilans triangulate, sudah bias
diidentifikasi agen penyakitnya meskipun penyakitnya belum muncul sehingga bias
disiapkan langkah antisipas iagar tidak menjadi ancaman. Kami juga menggandeng
semua pihak terkait untuk mengatasi ancaman ini melalui pendekatan yang disebut
‘One Health’karena kita tidak bias bekerja sendiri,” jelasnya.
Fadjar
menyebutkan, pendekatan One Health menitikberatkan pada gagasan bahwa
permasalahan yang berimbas pada kesehatan manusia, hewan dan lingkungan hanya
dapat dipecahkan dengan kerjasama lintas sektor.
Kegiatan
yang berlangsung selama dua hari melibatkan berbagai sektor pemerintahan,
termasuk Kementerian Kesehatan, BAPPENAS, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Kemenko PMK, Kementerian Perdagangan, BNPB, Asosiasi Peternak hingga
lembaga internasional. “Kehadiran
berbagai pemangku kepentingan lintas sektor diharapkan dapat memberikan masukan
untuk pengayaan, melahirkan kolaborasidan juga mempererat koordinasi yang
sudahberjalan.” ucapnya.
Lebih
lanjut disampaikan, beberapa pencapaian yang telah dilakukan Kementan bersama
dengan FAO ECTAD Indonesia dan Lembaga-lembaga lain, salah satunya melalui penunjukan
empat wilayah proyek percontohan di Bengkali (Riau), Ketapang (Kalimantan
Barat), Boyolali (Jawa Tengah) danMinahasa (Sulawesi Utara) dalam mencegah dan
mengendalikan PIB dan zoonosis dengan pendekatan ‘One Health).
Pencapaian
lain adalah kolaborasi lintas sektor, antara Kementan dan Kemenkes dalam
mengendalikan resistensi antimikroba dengan mengurangi penggunaan antibiotic
pada hewan ternak, dan meningkatkan praktik biosekuriti. “Tidak hanya kegiatan yang melibatkan para pemangku kepentingan, kami
juga mengajak media berperan aktif mengedukasi masyarakat melalui kegiatan
media fellowship. Kami memberikan pembekalan kepada media mengenai
informasi-informasi yang benar terkait ancaman pandemik,” tambahnya.
Ilustrasi Pengamatan Penyakit Infeksi pada Unggas
Fadjarjuga
menekankan, perlu adanya sinkronisasi definisi-definisidari terminologi dalam
Undang-Undang terutama definisi wabah dan penanganannya dalam keadaan darurat.
Menurutnya BNPB mempunyai sumberdaya yang fleksibel yang dapat dimanfaatkan
dalam mengelola wabah penyakit yang dikategorikan sebagai bencana non alam. “Ini merupakan bentuk peluang yang baik yang
perlu dikoordinasikan dalam pemanfaatannya”, ujarnya.
Selainitu,
terkait isu AMR yang sudah menjadi isu global, Fadjar Sumping menyampaikan
bahwa Indonesia telah menerapkan pelarangan penggunaan AGP yang berbahaya bagi
kesehatan manusia.
Namun,
dalam pelaksanaannya peternak masih beranggapan bahwa pelarangan tersebut
justru berdampak pada penurunanproduksi, sehingga perlu menjadi perhatian
bersama terutama dalam meningkatkan kegiatan sosialisasi ketingkat peternak
agar mempunyai persepsi yang sama.
Sementara
itu Tim Leader FAO ECTAD Indonesia, James Mc Grane menyebutkan program EPT2
memang difokuskan untuk membantu pemerintah Indonesia dalam mendeteksi virus
yang berpotensi menjadi pandemik, meningkatkan kapasitas laboratorium dalam
mendukung surveilans, dan meningkatkan kemampuan respon petugas di pusat maupun
di daerah. “Program ini juga difokuskan
untuk mencegah ancaman resistensi antimikroba yang sudahmenjadi isu global,”
jelasnya.
James
berharap, memasuki tahun terakhir program EPT2, rapat perencanaan ini dapat
lebih optimal memberikan dampak positif dalam menjaga kesehatan masyarakat
Indonesia, melalui pencegahan dan pengendalian ancaman pandemic yang bersumber
dari hewan.
Editor :
Y.A.Yahya
Artikel
Asli : www.jpnn.com