DIOLUHTAN.suluhtani. Pulau
Bali adalah salah satu destinasi wisata yang banyak mendatangkan devisa karena
banyak dikunjungi oleh wisatawan asing. Untuk meningkatkan kenyamanan bagi
masyarakat dan wisatawan, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan bersama dengan Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota
di Bali memiliki komitmen besar untuk membebaskan Bali dari penyakit Rabies. “Vaksinasi Massal dan Manajemen Populasi
Anjing akan terus dilakukan dalam upaya pengendalian dan pemberantasan penyakit
Rabies di Bali,” kata Dirjen PKH, I Ketut Diarmita saat Rapat Koordinasi
Pelaksanaan Vaksinasi Massal Rabies Bali (27/04/2018).
Dirjen
PKH menambahkan bahwa pihaknya akan terus melakukan vaksinasi di semua desa di
Bali dengan menggunakan vaksin yang berkualitas baik (immunitas jangka panjang)
dan didukung dengan kesadaran masyarakat yang kuat (KIE) terkait dengan
pengendalian rabies. “Untuk pencegahan dan pengendalian Rabies di Bali pada
tahun 2018 ini, Kementerian Pertanian bekerjasama dengan Pemerintah
Provinsi/Kabupaten dan Kota telah mempersiapkan sebanyak 591.000 dosis vaksin
rabies untuk pelaksanaan program vaksinasi” paparnya..
Sebanyak
40.000 dosis vaksin rabies dari Pemerintah Pusat sudah dikirimkan dan digunakan
untuk memulai pelaksanaan program vaksinasi massal 2018 yang telah dilakukan
pada tanggal 23 Maret 2018 di Buleleng.
Beliau
pun menyampaikan, vaksinasi massal pada tahun 2018 telah dilaksanakan lebih
cepat untuk mencegah penurunan kekebalan kelompok dan peningkatan kasus yang
biasanya terjadi pada bulan Januari-Maret dengan target >70%. “Kegiatan survei pasca vaksinasi perlu
dilakukan secara kontinyu setelah vaksinasi massal untuk memastikan kegiatan
vaksinasi massal mencapai cakupan yang diinginkan,” jelasnya.
Pelaksanaan
vaksinasi sweeping untuk anak anjing dan anjing baru juga akan dilanjutkan
setelah dan sebelum pelaksanaan vaksinasi massal tahunan untuk menjaga cakupan
vaksinasi tetap tinggi (>70%). “Untuk mencapai status bebas, maka vaksinasi
diperlukan selama dua tahun tanpa adanya kasus yang terdeteksi dengan surveillans.
Untuk itu, Tata Laksana Kasus Gigitan Terpadu (TAKGIT) atau IBCM perlu
dilaksanakan untuk meningkatkan deteksi kasus dan sensitivitas surveillans yang
ditunjang dengan pelaksanaan respon cepat di desa kasus dan desa di sekitarnya”
ujar Ketut Diarmita
Lebih
lanjut, beliau menjelaskan bahwa vaksinasi darurat harus dilaksanakan sesegera
mungkin (<10 hari) setelah terjadi kasus yang terkonfirmasi dan mencakup
radius yang lebih besar, yaitu di dalam radius 10 km dari kasus yang terdeteksi
(desa berbatasan langsung dengan desa kasus) “Pengambilan sampel pada saat penyidikan kasus perlu dilakukan secara
aktif dalam rangka pembebasan rabies di Bali,” harapnya.
I
Ketut juga menyebutkan, salah satu permasalahan terbesar dalam pemberantasan
rabies adalah populasi anjing yang banyak dan tidak terkontrol, serta sistem
pemeliharaan anjing yang masih dominan dilepasliarkan. Untuk itu, solusi yang
paling dianggap tepat untuk menjaga populasi yang terkendali dan meningkatkan
peran serta masyarakat menjadi pemilik anjing yang bertanggung jawab adalah
melalui pelaksanaan manajemen populasi anjing.
Menurutnya,
manajemen populasi anjing, termasuk peraturan desa adat (pararem dan
awig-awig), perlu dilaksanakan di seluruh wilayah di Bali untuk mendorong
kepemilikan anjing yang bertanggungjawab serta meningkatkan sensitivitas
surveillans dan cakupan vaksinasi dengan keterlibatan masyarakat. “Untuk meningkatkan kepedulian atau public
awarness masyarakat, maka Kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)
perlu untuk dilaksanakan secara terus menerus di seluruh wilayah Bali,” terang
Ketut Diarmita yang ingin mewujudkan Indonesia Bebas Rabies.
Editor
: Y.A.Yahya
Sumber-Foto
: Humas Diten PKH Kementan