DIOLUHTAN. Saya tertarik dengan tulisan 2 tahun lalu oleh ibu Zahra Yuniarti yang mengupas tentang pangan lokal adalah solusi ketersediaan pangan bangsa. Saya tertarik karena jika berbicara masalah pangan lokal, bisa berhubungan pula dengan masalah kesehatan. Dengan pangan lokal maka sehatlah kehidupan kita. Makanan Indonesia memiliki aneka ragam dan kaya gizi. Tiap
daerah memiliki ragam pangan pokok. Makanan sehat dan seimbang harus selalu kita jaga, makanya pangan lokal adalah salah satu solusi pula dan bisa menjadi daya tarik untuk lebih meng"aktual"kan makanan sehari-hari kita.
Tulisan 2 tahun lalu ini, bisa menjadi inspirasi untuk keadaan dimasa sekarang dengan keputusan pemerintah untuk melakukan impor beras 500.000 ton dari Negara Vietnam dan Thailand.
Sehat dengan Pangan Lokal (Kementan RI)
Indonesia
adalah sebuah negara yang terletak pada daerah tropis, menyebabkan curah hujan
yang turun dengan cukup sehingga begitu kaya akan keanekaragaman hayati.
Terbentang hutan, ladang, sawah, kebun di setiap pulaunya, meskipun dengan
intensitas tanaman yang berbeda-beda.
Dipengaruhi
oleh letak geografis yang berbeda ini, dengan berbagai faktor yang terlibat,
maka setiap daerah cenderung memiliki kekhasan tumbuhan, yang oleh penduduk
lokal kreatif umumnya diolah agar bisa dikonsumsi.
Contohnya
daerah Pulah Madura yang banyak ditemui jagung, maka dulu penduduk kawasan ini
menjadikan nasi jagung sebagai makanan pokok. Di daerah timur kepulauan
Indonesia, banyak ditemui pohon sagu yang oleh masyarakat setempat diolah
menjadi makanan bernama papeda. Atau orang-orang jaman lampau di pulau Jawa
yang kerap menjadikan ubi sebagai makanan pokok.
Dapat
dikatakan, setiap daerah umumnya memiliki potensi pangan lokal yang oleh
penduduknya dapat diolah menjadi sumber pangan sehari-hari sehingga tidak
tergantung pasokan pangan dari daerah lain. Namun, seiring perkembangan waktu
terjadi pergeseran pola konsumsi masyarakat. Pangan-pangan lokal ini lambat
laun mulai ditinggalkan oleh penduduk lokal.
Ada
berbagai alasan yang merubah pola konsumsi masyarakat tersebut.
Pertama,
peraturan pemerintah yang tidak berpihak pada pengelolaan atau konsumsi pangan
lokal. Melihat kembali kondisi Indonesia pada tahun 1984 dimana kala itu
pemerintah sedang giat dengan peningkatan produksi beras. Peningkatan produksi
beras di berbagai daerah ini menjadi fokus utama pemerintah yang berakibat pada
pengurangan konsumsi pangan lokal non beras. Dengan berbagai kebijakan yang
ditempuh pemerintah hingga kini, khususnya terkait harga beras murah di zaman
orde baru, menyebabkan adanya kecenderungan dikte dari pemerintah untuk
menjadikan beras sebagai konsumsi utama. Hal ini berakibat pangan lokal menjadi
tersisih sedikit demi sedikit. Bahkan masyarakat yang masih mengkonsumsi pangan
lokal dianggap sedang dalam kondisi rawan pangan.
Kedua,
karena semakin maraknya beras sebagai makanan pokok maka prestise pangan lokal
semakin turun. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, seolah penduduk yang
masih mengkonsumsi pangan lokal adalah orang-orang yang terpelosok dan berada
dalam kondisi rawan pangan. Seolah pangan lokal adalah makanan untuk rakyat
jelata seperti zaman penjajahan Indonesia dahulu. Tidak ada kebanggaan lagi
ketika seseorang mengkonsumsi pangan lokal.
Ketiga,
akibat prestise pangan lokal semakin turun maka keberadaan pangan lokal di
pasar pangan menjadi sangat terbatas. Maka produk ini hanya sedikit saja
dikenal, khususnya orang-orang tua saja yang masih mengenal produk-produk lokal
tersebut. Anak-anak maupun anak muda yang tidak pernah dikenalkan atau
mengkonsumsi pangan lokal tersebut bahkan bisa jadi tidak tahu bahwa salah satu
komoditas pangan tertentu ada. Contohnya saja tidak banyak yang tahu umbi
ganyong, garut, sorghum, talas, atau pangan-pangan lokal lainnya. Padahal
komoditas pangan ini masih bisa ditemui di beberapa daerah di Indonesia,
meskipun jumlahnya semakin terbatas.
Pada
sisi lain, untuk mencukupi tingkat konsumsi beras yang semakin tinggi dan tidak
mampu dipenuhi oleh produksi dalam negeri, pemerintah mengimbangi kondisi ini
dengan meningkatkan impor beras yang masuk ke Indonesia.
Indonesia
mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand dengan jumlah yang tinggi, mencapai
ratusan ribu ton. Sungguh ini sangatlah aneh, sebuah negara menggantungkan
makanan pokok rakyatnya dari importasi yang diperoleh dari negara tetangga.
Sebenarnya
tak jadi masalah jika impor masih dalam batas kewajaran, tidak sampai tahap
ketergantungan seperti sekarang ini, yang membuat seolah-olah keberlangsungan
negara ini sangat tergantung pada belas kasih importasi.
Bagaimana
jika keadaan ini terus berlanjut hingga beberapa tahun ke depan? Padahal
populasi Indonesia ada kencenderungan untuk terus mengalami kenaikan. Laju
pertumbuhan penduduk Indonesia 2000-2010 mencapai 1,49 % atau lebih tinggi
dibanding periode 1990-2000 yang hanya mencapai 1,45 persen.
Hasil
sensus tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,56 juta orang dengan
kebutuhan lahan produktif untuk tanaman padi seluas 13 juta ha. Namun lahan
padi yang diolah masih seluas 7,7 ha, seluruh sisa kebutuhan pangan ini
kemudian dipenuhi dari importasi beras. Jika pertambahan penduduk setiap
tahunnya sebesar 1,49% atau bahkan melebihi, tidak dapat dipastikan bahwa
negara pemasok bahan pangan tersebut dapat menyediakan pangan untuk seluruh
penduduk yang persentasenya terus meningkat ini.
Apalagi
jika pemerintah Indonesia tidak ada penyelesaian lain selain impor beras.
Kelaparan akan menjadi sebuah keniscayaan karena laju produksi pangan yang
tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk.
Mengingat
betapa kritisnya masalah ini, maka perlu segera adanya solusi praktis dan
berjangka panjang yang sekiranya mampu mengatasi masalah krisis pangan yang
kian menghantui di depan mata.
Ada
beberapa solusi yang sekiranya bisa diterapkan untuk menyelesaikan masalah ini :
Optimalisasi kembali
produk-produk pangan lokal. Masyarakat harus
segera sadar bahwa pangan jumlahnya semakin terbatas sehingga perlu adanya
kebersegeraan dalam program diversifikasi pangan. Daerah-daerah potensial
pangan lokal perlu untuk menggali kembali kearifan lokal berupa pangan lokal di
daerahnya, dengan berbagai peran dari penduduk setempat, pemerintah, maupun
akademisi daerah tersebut. Potensi-potensi ini kemudian diolah sehingga layak
konsumsi sebagai makanan sehari-hari. Produk-produk yang sudah terasa asing
bagi masyarakat perlu diperkenalkan lagi melalui promosi-promosi yang dapat
dilakukan oleh berbagai pihak. Para akademisi atau peneliti pun perlu
bersungguh-sungguh dengan penemuan-penemuanya sehingga produk lokal bisa lebih
diterima dan dikembangkan oleh masyarakat, baik dari aspek sensoris, harga,
efisiensi proses, dan distribusi. Pihak industri dan pemilik modal pun ada
baiknya mulai melirik sektor ini, sehingga pangan lokal pun bisa segera
diproduksi massal dan mampu menjangkau berbagai daerah.
Pemerintah haruslah
mendukung program ini dengan regulasi-regulasi yang ada.
Perlu adanya regulasi yang mengatur sehingga para produsen pangan berbasis
lokal ini mampu berdikari baik dari segi pendanaan, distribusi, maupun pemasaran.
Pemerintah perlu mengatur pula agar keran impor pangan semakin dikurangi
sehingga semakin memberi peluang besar bagi pangan lokal untuk bisa diterima di
negeri sendiri atau treatment-treatment khusus lain yang mampu menjaga
eksistensi industri pangan lokal ini di tengah era MEA yang sebentar lagi akan
tiba. Penggelontoran dana riset pun perlu dilakukan guna mendukung riset-riset
terkait pangan lokal itu sendiri. Selain itu, jika kondisi pangan dalam negeri
memang sudah surplus, pemerintah bisa pula mulai mengenalkan produk lokalnya
ini kepada negara lain sehingga bisa jadi ikut membantu memenuhi kebutuhan
pangan negara lain serta mampu meningkatkan jumlah eksportasi.
Perlunya riset terus
menerus mengenai produk pangan yang berasal dari tumbuhan atau komoditas lokal.
Masih ada begitu banyak pangan yang sejatinya bisa dikonsumsi di hutan-hutan
sana, di ladang-ladang, di kebun-kebun, atau bahkan di halaman rumah yang
menanti adanya peran dari para ahli pangan, ahli rekayasa proses, atau ahli-ahli lain untuk bisa disajikan di
meja makan. Para ahli ataupun akademisi harusnya semakin resah dengan kondisi
yang ada sehingga memicu untuk terus berkarya dan berkreasi menghasilkan temuan
pangan-pangan baru, bahkan tak hanya sekedar yang mampu dikonsumsi, namun juga memiliki
sifat fungsional. Artinya pangan fungsional ini bisa mengatasi masalah
kelaparan sekaligus mencukupkan kebutuhan gizi karena efek-efek positif pangan
fungsional ini.
Oleh karena itu,
para ahli khususnya di bidang pangan di berbagai daerah perlu untuk
bersama-sama belajar dan mengembangkan pangan lokal di masing-masing daerah.
Setiap tempat diberikan potensi untuk dapat dikembangkan oleh putra-putri
terbaik daerah tersebut yang menanti untuk dikelola sebagai solusi krisis
pangan di negeri ini.
Keragaman Pola Konsumsi dengan Pangan Lokal (foto : lipi.go.id)
Bagi
daerah yang sudah mampu mengelola suatu komoditas bisa saling bertukar saran
atau tolong menolong untuk membantu daerah lain yang masihlah terbatas, bisa
jadi di masalah pendanaan, teknologi, pemasaran, atau masalah lainnya. Perlu
adanya sinergi dari setiap daerah di Indonesia untuk saling bahu membahu dalam
memastikan pangan-pangan lokal mampu terkelola dengan baik.
Sinergi
antara pemerintah, ahli pangan, akademisi, pemilik modal, dan masyarakat haruslah juga mampu berjalan dengan baik.
Jika ada sinergi dalam menciptakan rantai distribusi pangan yang baik dan
kompetitif ini, maka dapat dipastikan bahwa tidak ada lagi penduduk Indonesia
yang kelaparan di tahun-tahun mendatang.
Source
: Zahra Yuniarti
Sumber : Jurnal from www.selasar.com