DIOLUHTAN.
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sangat prihatin akan kondisi lahan
pertanian saat ini yang rusak dan tidak lagi subur akibat ekploitasi berlebihan
pemanfaatan pupuk kimia dan pestisida. Selain merusak tanah, penggunaan zat
kimia secara tak terkendali tersebut menurunkan daya tahan tanaman terhadap
hama dan produktivitas lahan.
Hal
tersebut mendorong HKTI untuk mengingatkan dan mengedukasi masyarakat
meninggalkan cara bertani tradisional dan beralih kepada sistem pertanian
modern berbasis teknologi dan organik. Tekad tersebut merupakan bagian dari
komitmen HKTI membangun inovasi demi menyejahterakan petani.
Salahsatu Admin Dioluhtan saat Berada Di Sekretarian HKTI beberapa Waktu lalu
HKTI
juga selalu mengusung ambisi besar mewujudkan kedaulatan pangan Indonesia. “Saat memutuskan terjun ke dunia pertanian
saya berkomitmen bertani tidak hanya sebagai petani. Saya ingin mengubah
mindset dan metode petani Indonesia,” kata Ketua Umum HKTI, Jenderal (Purn)
Moeldoko, pada beberapa kesempatan.
Salah
satu metode yang ditawarkan dan dilaksanakan HKTI adalah memperbaiki kondisi
tanah dengan cara memuliakan tanah yang akan digunakan untuk pertanian. “Para petani kami arahkan untuk tidak
menggunakan pupuk non organik lagi. Beberapa daerah yang tanahnya rusak kami
perbaiki agar lebih produktif lagi,” kata Moeldoko.
Penggunaan
pupuk kimia untuk lahan pertanian sudah dimulai sejak tahun 1970-an. Saat itu
dikenal istilah revolusi hijau, yaitu perubahan fundamental dalam teknologi
pertanian untuk meningkatkan dan pemenuhan pangan. Namun kenyataannya, di
lapangan petani cenderung menggunakan pupuk kimia di atas dosis yang
direkomendasikan.
Kemudian
secara berkala, kondisi ini menyebabkan kualitas tanah berangsur rusak meski
dari sisi produksi meningkat. Diperkirakan, eksploitasi ini terjadi sekitar
sepuluh tahun terakhir. Hal itu ditandai
makin berkurangnya kadar c-organik tanah. Sekitar 50 persen pertanian Jawa
Barat ditengarai memiliki c-organik di bawah 2 persen. Idealnya di atas 5
persen.
Kekhawatiran
yang sama tentang kerusakaan lahan ini pernah juga diungkapkan oleh Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bahkan masalah ini pernah didiskusikan
serius LIPI bersama dengan Masyarakat Asian Plant Growth-Promoting
Rhizobacteria (PGPR) dalam Konferensi Internasional Ke-5 Asian-PGPR di Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Selain
negara Asia, ikut pula berpartisipasi Amerika
Serikat, Kanada, Jerman, Italia, Australia, Austria, dan Trinidad & Tobago.
Para
ahli pada forum itu mendorong agar para petani untuk beralih menggunakan pupuk
organik hayati ketimbang pupuk kimia dalam bercocok tanam. Ini mengingat
penggunaan pupuk kimia dalam jangka panjang akan merusak tanah dan lahan
pertanian.
Seperti
dilaporkan pada laman LIPI, Sarjiya Antonius, peneliti Pusat Penelitian Biologi
LIPI menuturkan, kekhawatiran yang terjadi pada petani Indonesia saat ini
adalah kiblat mereka dalam penggunaan pupuk kimia atau non organik. Sekarang,
banyak petani Indonesia yang masih menggunakan pupuk kimia. “Ini sesuatu yang membahayakan dalam jangka
panjang,” tutur Anton.
Anton
mengatakan, bila penggunaan pupuk kimia dibiarkan dalam kurun waktu setidaknya
25 tahun, maka bisa dibayangkan akan terjadi kerusakan pada tanah dan lahan
pertanian yang signifikan. Oleh karena itu, para petani perlu didorong agar
beralih menggunakan pupuk organik hayati, salah satunya pengaplikasian PGPR
atau kerap disebut Rizobakteri.
PGPR
merupakan bakteri yang berkoloni dengan perakaran dan mendukung kekebalan,
pertumbuhan dan perkembangan tanaman berkat kemampuannya dalam menghasilkan zat
pengatur tumbuh (ZPT). Selain itu, ia juga menjadi biokatalis untuk mendukung
tersedianya NPK dan asam-asam organik penting lainnya bagi tanaman. “Intinya, PGPR sebagai agen pelestarian
lingkungan menjaga biodiversitas mikroba perakaran guna mendukung pertanian
ramah lingkungan yang dapat meningkatkan hasil pertanian,” jelas Anton.
Dikatakan
Anton, salah satu perusahaan yang telah merasakan manfaat PGPR adalah perkebunan nanas Great Giant
Pineapple. Sebelum menerapkan PGPR, produksi nanas di perusahaan tersebut terus
turun dari tahun ke tahun.
Produksi
yang tadinya 100 ton menyusut sampai titik terendah. “Sesudah menerapkan PGPR ini ada perubahan, produksi terus naik kini
menjadi 80 ton, harapannya dalam dua tiga tahun kembali normal ke 100 ton,” sambungnya.
Sementara
Enny Sudarmonowati, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI mengatakan,
tantangan yang dihadapi saat ini adalah mengubah pola pikir masyarakat petani
dari penggunaan pupuk kimia menjadi pupuk organik hayati. “Selama ini petani di negara kita masih berorientasi menggunakan pupuk
kimia, padahal jika terus dibiarkan, tidak baik untuk ke depannya. Ini yang
harus didorong, melalui PGPR ini bagaimana mengajak petani untuk bercocok tanam
secara organik,” tuturnya.
Menurutnya,
memang tidak mudah meyakinkan petani untuk beralih 100 persen ke pupuk organik.
Skema yang bisa dibangun adalah 50 dibanding 50. “Tetap menggunakan pupuk kimia, namun menambahkan pupuk organik agar
produksi tetap bertahan dan meningkat,” ujarnya.
Ke
depan, Enny menyebutkan agar produk PGPR lebih mudah dalam pengaplikasiannya,
maka formula produk ini akan dikembangkan lebih lanjut dengan spesifikasi
berbeda pada setiap tanaman. “Termasuk
varian lain, misalnya tidak cuma berbentuk cair, tapi bisa juga dalam bentuk
tepung supaya lebih mudah dipakai oleh masyarakat,” imbuhnya.
Kekuatan
HKTI
Upami
mengurangi penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang dirancang HKTI sendiri
sudah berjalan dalam program terpadu sejak lebih dari setahun ini. Artinya,
HKTI melaksanakan pemuliaan tanah bersamaan dengan beberapa program lain
seperti pemanfaatan teknologi, gerakan anti hama, dan lain-lain secara
berkesinambungan. “HKTI punya kekuatan
untuk meningkatkan kualitas pertanian Indonesia, kekuatan tersebut adalah
kemampuan mengelola pupuk organik, tenaga ahli yang terampil, pasukan anti hama, dan teknologi
pertanian teranyar,” kata Moeldoko seraya menambahkan bahwa HKTI telah
bekerjasama dengan berbagai pihak, menggerakan dan menggunakan berbagai lahan
produktif untuk petani dan memajukan pertanian Indonesia.
Kekuatan
pertama
HKTI adalah memaksimalkan penggunaan dua varietas benih padi unggul HKTI yaitu
M70D dan M400. Varietas M70 merupakan benih yang sudah dapat dipanen dalam 70
hari sedangkan M400 panen dalam 90 hari.
“Ini sudah diakui oleh Kementan, mempercepat hasil pertanian,” ujar
Moeldoko.
Kualitas
kedua varietas tersebut sama-sama bagus dan tahan terhadap hama. Uji coba yang
sudah dilakukan di berbagai daerah menunjukkan hasil positif, yaitu dari satu
hektar menghasilkan padi 9-10 ton. Padahal sebelumnya petani hanya bisa panen
5-7 ton saja per hektarnya.
Kekuatan kedua adalah pupuk organik kualitas baik yang sudah tersedia. Ketiga, adanya tenaga-tenaga terampil yang direkrut dari latar belakang pendidikan sarjana pertanian.
Kekuatan kedua adalah pupuk organik kualitas baik yang sudah tersedia. Ketiga, adanya tenaga-tenaga terampil yang direkrut dari latar belakang pendidikan sarjana pertanian.
Keempat,
HKTI juga memiliki pasukan anti hama untuk membasmi 21 jenis hama sebagai musuh
utama pertanian. “Ini harus disikapi betul-betul, karena jika tidak petani yang
sudah menanam selama tiga bulan akan rusak oleh hama,” jelas mantan Panglima
TNI itu.
Terakhir,
kekuatan HKTI adalah membangun informasi dan teknologi (IT). Bagi HKTI, petani
juga harus memahami dan memiliki IT yang bagus sehingga produk-produk pertanian
bisa dimonitor setiap harinya. “HKTI
memiliki anggota 60 juta petani. Kalau ini dimobilisasi maka kita akan bisa
menanam sayuran, jagung, dan lain-lain. Kalau ini bergerak semua, pasti kita
akan makmur,” tambah Moeldoko.
Editor
: Y. A. Yahya
Sumber
: HKTI Media Center