DIOLUHTAN. Pemerintahan
Jokowi akan membangkitkan Program Padat Karya untuk pembangunan infrastruktur. Program Padat Karya selama era Orde Baru
memberikan upah yang termasuk paling rendah di dunia kala itu. “Ada 7
juta orang kini bekerja membangun infrastruktur di seluruh penjuru tanah air.
Di Kalimantan ada 24 proyek, di Sulawesi 27 proyek, di Maluku dan Papua 13
proyek, di Sumatera 61 proyek, dan di tempat-tempat lain.” Demikian cuitan
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) melalui akun Twitter resminya
pada 11 Januari 2018 lalu.
Presiden Soeharto meninjau Sang Hiyang Sri,
Lembaga Pusat Penelitian Pertanian Sukamandi, Jawa Barat.
Salah satu program
Padat Karya dalam bidang pertanian. FOTO/Galeri Soeharto.co
Dari pernyataan
itu, Presiden Jokowi mengindikasikan bahwa salah satu fokus pemerintah mulai
2018 ini adalah menggalakkan kembali Padat Karya, salah satu program yang
pernah digaungkan rezim Orde Baru.
Menteri
Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani bahkan sudah
memastikan bahwa program Padat Karya akan dibangkitkan lagi. "Insya Allah dimulai Januari 2018,
semua difokuskan kepada padat karya atau yang benar-benar bermanfaat bagi
rakyat di desa," jelasnya kepada media, 3 November 2017.
Yang menjadi persoalan,
Padat Karya selama rezim Soeharto kerap menuai kritik karena terkesan
mengeksploitasi tenaga manusia untuk menekan biaya operasional. Program
tersebut juga membayar pekerja dengan upah yang tergolong paling rendah di
dunia kala itu.
Awal Mula Padat
Karya
Kebijakan ekonomi
Indonesia setelah Orde Lama runtuh dan resmi diambil alih Soeharto sejak 12
Maret 1967 berubah haluan secara frontal. Prinsip Sukarno yang sangat
antipati terhadap negara-negara Barat pemilik modal tidak berlanjut di era Orde
Baru. Sebaliknya, Soeharto membawa negara ini mendekat kepada blok liberal.
Awalnya, Soeharto
menerapkan Industrialisasi Substitusi Impor (ISI) dengan tujuan membangun
sektor industri manufaktur nasional yang kuat dan berfokus ke dalam. Menurut
Nelson Brian dalam A Comprehensive Dictionary of Economics (2009),
ISI adalah kebijakan ekonomi yang mendukung penggantian barang impor asing
dengan barang produksi dalam negeri (hlm. 88).
Maka itu, menurut
Deliarnov dalam buku Ekonomi Politik (2006), pengembangan industri
ditujukan terutama terhadap pasar domestik dengan menghasilkan barang-barang
pengganti impor. Salah satu wujud penerapan kebijakan ini adalah dengan
memberikan subsidi kepada perusahaan-perusahaan negara dan membatasi kuota
impor (hlm. 87-88).
Namun, ISI tidak
berjalan optimal karena pengusaha-pengusaha lokal justru menjadi manja dan
terlalu bergantung pada bantuan atau subsidi dari pemerintah. Hal ini membuat
Soeharto terpaksa menghentikan kebijakan ISI.
Orde Baru lantas
mengalihkan kebijakan ekonominya ke program Industri Orientasi Ekspor (IOE),
atas rekomendasi Bank Dunia. Tujuannya hampir sama dengan ISI, tapi lebih fokus
kepada pendayagunaan tenaga kerja untuk menghasilkan barang-barang pengganti
impor, serta meminimalisasi penggunaan mesin demi menghemat biaya operasional.
Dalam Catatan
Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia (1994) yang diterbitkan
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, disebutkan bahwa program
IOE termasuk industri padat karya karena tidak memerlukan tenaga buruh
terampil, yang lebih penting adalah jumlah pekerjanya. Potensi keuntungan
semakin besar karena diterapkannya strategi upah rendah untuk menjalankan
program ini.
Tidak Sesuai
Harapan
Konsep IOE yang
di aplikasikan melalui Padat Karya dimulai pada 1968. Orde Baru tentu saja
mengkampanyekan program ini dengan citra terpuji untuk menunjukkan betapa
pedulinya pemerintah terhadap kebutuhan rakyat akan lapangan kerja. Harapannya
adalah stok tenaga kerja di Indonesia yang berjumlah besar bisa dimaksimalkan.
Buku 30 Tahun
Orde Baru Membangun (1995) terbitan Departemen Penerangan RI,
misalnya, memaparkan bahwa Padat Karya dicetuskan seiring usaha pendayagunaan
dan pemanfaatan potensi tenaga kerja ke arah kegiatan produktif, khususnya di
daerah-daerah tertinggal, padat penduduk, rawan bencana alam, dan berpendapatan
rendah (hlm. 322).
Perkembangannya
kemudian, Padat Karya tidak hanya bertujuan menghasilkan barang-barang
pengganti impor. Melimpahnya tenaga kerja, dengan cukup banyaknya warga usia
produktif yang tidak bekerja atau belum mempunyai pekerjaan, membuat
pelaksanaan program ini tidak sesuai dengan tujuan awal.
Pemerintah
kesulitan menjalankan Padat Karya sesuai prinsip IOE dalam Rencana Pembangunan
Lima Tahun (Repelita) I periode 1969-1974. Pada periode ini, seperti diungkap dalam
jurnal Dunia Ekuin dan Perbankan (Volume 4, 1991: 146), tenaga
kerja diharapkan bisa memiliki kemampuan teknik produksi dan membuat barang
secara lebih baik. Namun, rivalitas antar-negara saat itu sangat ketat dan
Indonesia rupanya belum mampu untuk bersaing.
Maka, dalam
Repelita II (1974-1979), Padat Karya lebih dikonsentrasikan untuk meningkatkan
pembangunan infrastruktur di berbagai daerah, meskipun upaya-upaya di sektor
industri juga masih tetap dijalankan. Pada Repelita II, sebut Gunawan
Wiradi dalam Dua Abad Penguasaan Tanah (2008), program
Padat Karya sebagian besar ditujukan untuk mengerjakan rehabilitasi jalan dan
saluran pengairan (hlm. 333).
Nama programnya
pun sedikit dipermanis menjadi Padat Karya Gaya Baru (PKGB). Sasaran utama
tenaga kerja PKGB adalah kaum buruh tani dari desa-desa. Terlebih, angka
pengangguran di desa masih tinggi, terutama buruh dan tani yang tidak bekerja
di luar waktu panen (Hadi Soesastro, eds., Pemikiran dan Permasalahan
Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1966-1982, 2005: 426).
Pada Repelita III
(1979-1984), arah Padat Karya dikembalikan ke tujuan semula, yaitu fokus di
bidang industri untuk meningkatkan ekspor, karena secara infrastruktur sudah
lebih baik daripada sebelumnya. Namun, lagi-lagi hasilnya masih belum memenuhi
harapan, bahkan mengalami penurunan.
Jurnal Ekonomi
dan Bisnis Indonesia terbitan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah
Mada (Volume 5, 1990) mencatat, rata-rata pertumbuhan sektor industri selama
Repelita I adalah 13,5 persen per tahun, Repelita II sedikit meningkat menjadi
13,7 persen per tahun, sedangkan untuk Repelita III justru merosot menjadi 8,9
persen per tahun (hlm. 13).
Menteri Negara
Riset dan Teknologi saat itu, Bacharuddin Jusuf Habibie, menilai Indonesia
masih sulit bersaing jika hanya mengandalkan industri yang padat sumber daya
alam dan padat karya (tenaga kerja yang tidak terampil), atau dengan kata lain,
masih konvensional.
Habibie
berpendapat, transformasi perekonomian juga harus melalui pendekatan
industrialisasi berbasis teknologi tinggi yang padat modal dan mengandalkan
pada kapasitas sumber daya manusia yang handal. Namun, menurut
Hadi Soesastro, karena kurangnya pengalaman dari sisi pengelolaan,
tujuan tersebut sulit tercapai (hlm. 26).
Masalah Upah Rendah
Program Padat
Karya sebenarnya cukup berhasil dalam meningkatkan kuantitas tenaga kerja
manufaktur, meskipun gagal dalam konteks pertumbuhan sektor industrinya,
seperti yang dipaparkan buku Politik Multikulturalisme: Menggugat Realitas
Kebangsaan karya Robert W. Hefner (2008).
Hefner menyebut,
pada era 1980-an (Repelita III dan IV), pekerja sektor manufaktur mencapai 12,6
persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Persentase ini mengalami
peningkatan jika dibandingkan dengan periode 1970-an (Repelita I dan awal
Repelita II) yang hanya menyentuh angka 6,5 persen (hlm. 445).
Repelita IV
(1984-1989) sendiri mengusung tujuan utama untuk menciptakan lapangan kerja
baru dan industri. Maka itu, Program Padat Karya semakin digalakkan meskipun
belum memenuhi harapan di periode sebelumnya. Selama Repelita IV ini, sebanyak
92.913 lapangan kerja dapat diciptakan (Departemen Penerangan RI, 1995: 322).
Periode ini
secara signifikan menghasilkan lapisan buruh industri. Investor dari Jepang,
Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, masuk ke Indonesia. Dikutip
dari Suryadi A. Radjab dalam Praktik Culas Bisnis Gaya Orde
Baru (1999), para investor itu memanfaatkan upah buruh di Indonesia
yang murah karena tingkat upah di negara mereka sudah sangat tinggi (hlm. 29).
Situasi ini
justru menimbulkan masalah baru: pembukaan lapangan kerja yang semakin luas
namun dengan upah tenaga yang sangat rendah. Akibatnya, tujuan yang ingin
dicapai pun lagi-lagi tidak sesuai harapan.
Sebelumnya,
masalah upah rendah belum terlalu mengemuka karena sasaran pembukaan lapangan
kerja lebih fokus ke desa-desa. Saat itu, kompensasi yang diberikan kepada
tenaga kerja Padat Karya diistilahkan “imbalan jasa berupa uang perangsang
kerja” yang diakui jumlahnya lebih rendah dari upah minimum regional (hlm. 324).
Sementara pada
Repelita IV dan bahkan berlanjut ke Repelita V (1989-1994) hingga era Orde Baru
berakhir, persoalan upah rendah untuk tenaga kerja Padat Karya menjadi salah
satu masalah paling serius yang harus dihadapi pemerintahan Soeharto.
Romusha Versi Orde
Baru?
Program Padat
Kaya pada era Orde Baru kadang-kadang dibandingkan dengan praktik romusha
atau kerja paksa pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945). Meski
tidak menyamakannya secara eksplisit, Iwan Kartiwan dan kawan-kawan dalam Ruang-ruang
Gelap Jasa Kontruksi Indonesia (2014) menyebut bahwa praktik romusha
pada masa Jepang termasuk model padat karya (hlm. 16).
Tulisan berjudul
“Indonesia’s Economy Further Deteriorates” yang dimuat jurnal Indonesia
Tribune (Volume 3-6 edisi 1969) bahkan menyatakan dengan lebih tegas:
“Untuk mengintensifkan pemerasan keringat
rakyat Indonesia dan memperkaya penguasa, rezim (Soeharto) telah mengikuti
fasis Jepang dengan menghidupkan kembali sistem romusha” (hlm. 3).
Lebih lanjut
dituliskan, “Dengan dalih memanfaatkan
tenaga kerja yang menganggur, mereka (pemerintah Orde Baru) mengintensifkan
sistem kerja paksa dalam proyek padat karya di mana orang yang menganggur
dipaksa bekerja dalam proyek konstruksi untuk melayani kepentingan monopoli
asing tanpa upah yang layak.”
Hal ini diamini
Mochtar Pakpahan dalam Perjuangan Kebebasan Berserikat Buruh di
Masa Orde Baru (2006). Ia menyebut bahwa upah pekerja Padat Karya
tidak manusiawi, yakni 1,4 dolar AS per hari. Menurut Pakpahan, ini tergolong
upah paling rendah di dunia waktu itu (hlm. 51). Mirisnya lagi, banyak
perusahaan yang tidak membayar upah sesuai yang ditetapkan pemerintah.
Itulah yang
memicu terjadinya banyak unjuk rasa buruh. Peningkatan aktivitas buruh pada
dekade 1990-an terkait dengan perubahan sosial dan ekonomi yang luas dalam tiga
dekade industrialisasi terus-menerus di bawah rezim Orde Baru (Vedi R. Hadiz, Dinamika
Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, 2005: 66).
Selain itu,
menurut Ariel Heryanto dalam Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara (2004),
di sektor manufaktur inilah, selama era 1990-an, tampak semakin jelas gelagat
timbulnya keresahan. Wujud keresahan tersebut antara lain maraknya sengketa
perburuhan dan munculnya berbagai organisasi buruh independen (hlm. 180).
Setelah rezim
Soeharto jatuh pada 1998, banyak kebijakan yang diterapkan selama Orde Baru
dihapus, termasuk program Padat Karya. Dan mulai awal 2018, pemerintahan Jokowi
serius menghidupkan kembali program yang meninggalkan kesan muram bagi kaum
pekerja itu.
Menarik untuk dinanti, apakah Padat Karya ala Jokowi benar-benar mampu
menghadirkan kesejahteraan untuk rakyat Indonesia. Atau justru sebaliknya, sama
saja dengan Padat Karya era Soeharto: program menyedihkan, tanpa hasil
maksimal, dan sempat dituding sebagai praktik romusha gaya baru.
Source : Iswara N Raditya (www.tirto.id)
Editor : Y.A.Yahya