DIOLUHTAN. Ragam pekerjaan telah ia
lakoni, mulai menjadi buruh kebun, kuli kasar, hingga akhirnya berhasil menjadi
peternak sapi perah ternama. Ia pun menapakkan kaki di Belanda sebagai salah
satu peternak terbaik negeri ini.
Langkah Barjat Sudrajat (47)
gontai menyusuri jalan menurun tajam menuju rumahnya di Kampung Cilember, Desa
Cibogo, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Siang di awal
Juli 2017 itu, ia baru saja pulang dari kandang sapi perahnya, berjarak sekitar
200 meter dari rumah. Sisa jerami dan rumput hijau masih menempel di sepatu bot
warna hijau dan baju putih yang tak bersih. “Ini
baru pulang kontrol pakan dan air minum sapi. Sehari, saya bisa tiga kali ke
kandang, pagi, siang, dan sore,” katanya.
Barjat mengatakan, kontrol
ketersediaan air minum sangat penting saat musim kemarau seperti saat ini. Sapi
perah jenis friesian holstein berbadan besar miliknya rentan dehidrasi. Apabila
dibiarkan, kondisi itu berpotensi menurunkan produktivitas dan menurunkan
kualitas susu.
“Baru dua tahun terakhir, saya cerewet pada pasokan ketersediaan air.
Ilmunya itu saya dapatkan ketika berkunjung ke Belanda. Di sana, selama dua
minggu saya belajar banyak tentang peternakan sapi perah. Pengalaman berharga
bagi saya yang hanya lulusan SD dan belum terlalu lama beternak sapi,” katanya.
Tinggal di sekitar kawasan
peternakan sapi perah, Barjat terbilang telat terjun ke usaha ini. Putus
sekolah selepas lulus SD, ia memilih membantu orangtuanya menjadi petani sayur.
Namun, tanpa ilmu pertanian
yang ideal, usaha sayurnya tak juga memberi kesejahteraan. Saat gelombang
krisis moneter datang tahun 1998, usaha itu hancur. Lonjakan ongkos produksi
tak seimbang dengan penjualan hasil panen.
Selepas itu, ia mencari rupiah
tanpa rencana matang. Banyak pekerjaan dilakukan, mulai buruh bangunan, buruh
tani serabutan, hingga menjajakan pisang milik tetangga. Untung tak kunjung
didapat, hanya buntung yang setia jadi temannya. “Hingga
akhirnya di tengah titik putus asa, istri menyarankan untuk ikut memelihara
sapi. Tak punya modal, saya mengurus sapi milik salah seorang kerabat istri.
Sistemnya maro,
dari dua anak sapi yang dilahirkan, saya dapat satu ekor. Susu yang diperah
juga dibagi dua,”
katanya.
Sekali lagi, ia bekerja tanpa
keahlian. Ia hanya mengekor, meniru semua kebiasaan pemeliharaan sapi yang
sudah berjalan di sana. Tanpa akses penjualan, susu perahan juga dititip ke
pamannya untuk dijual. “Beberapa kali melihat
penjualan susu, saya tahu susu dibeli Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara.
Namun, harus jadi anggota koperasi dulu apabila mau menjualnya ke sana,” katanya.
Tak menunggu lama, ia mendaftarkan
diri jadi anggota Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU). Kali ini,
pilihannya tak keliru. KPSBU memudahkan dia menjalani profesinya. Bukan hanya
mendapat kemudahan akses penjualan susu, ia juga dapat banyak ilmu pemeliharaan
sapi, seperti inseminasi buatan tanpa biaya dan pencegahan bakteri susu. “Setiap ada penyuluhan ternak, saya selalu
datang. Banyak pertanyaan selalu disampaikan. Saya tidak mau gagal lagi,”
katanya.
Berkembang
Perlahan ilmu yang ia serap
berbuah manis. Penuh perencanaan matang, usahanya bertambah besar. Apabila
sebelumnya hanya memelihara seekor sapi milik tetangga, 17 tahun kemudian, ia
punya 17 sapi dewasa miliknya sendiri. Harga satu sapi dewasa Rp 13 juta-Rp 14
juta per ekor. Rumah panggung yang jadi tempat tinggalnya kini berganti jadi
bangunan permanen. Semua anak-anaknya bisa sekolah lebih tinggi ketimbang dia.
Kepiawaiannya itu membuat
peternak di sekitar tempat tinggalnya menaruh hormat. Dia jadi Ketua Kelompok
Peternak Sapi Perah Mitra Barokah. Anggotanya warga sekitar Cibogo, sebanyak 87
orang dengan kepemilikan sapi 3-4 ekor per orang.
Di bawah kepemimpinannya,
peternak jadi sejahtera. Penjualan susu sapi pada Juni 2017, misalnya. Dengan
harga susu Rp 4.500-Rp 4.900 per liter, total uang yang diperoleh kelompok tani
mencapai Rp 133 juta. “Semua proses
pembayaran dilakukan terbuka dihadiri semua anggota. Tujuannya, menurunkan
kecurigaan penyelewengan pengelolaan hasil penjualan susu,” katanya.
Ketekunannya juga membawa dia
diakui banyak kalangan profesional. Dalam ajang Farmer2Farmer yang
diselenggarakan PT Frisian Flag Indonesia tahun 2015, ia jadi satu dari empat
terbaik peternak sapi perah skala kecil. Setelah menang, ia dikirim ke Belanda
bersama satu peternak Lembang lainnya, Dede Rahmat Endang, dan peternak asal
Pangalengan, Kabupaten Bandung, yaitu Enang Sulaeman dan Warpu.
Di Belanda, ilmunya bertambah.
Ia dibuat kagum dengan teknologi canggih peternakan sapi. “Memang ada kendala bahasa. Namun, semangat dan cinta yang sama pada
sapi perah mampu menjembatani transfer ilmu itu,” kata Barjat, yang selama
beberapa hari menginap di rumah peternak setempat untuk ikut semua kegiatan
yang dilakukan.
Jaminan ketersediaan pangan,
misalnya. Peternak tak terlalu dipusingkan sulitnya mencari pakan. Mereka, kata
Barjat, fasih memproduksi silase secara mandiri. Silase adalah pakan hasil
fermentasi dari beragam makanan hijauan.
Pelajaran tentang menjaga
kebersihan kandang dan kesehatan sapi juga tak bisa ia lupakan. Tak seperti di
Lembang, sapi di Belanda tak terlalu sering dimandikan. Alasannya, terlalu
sering mandi rentan mengundang bakteri berbahaya. Sebaliknya, peternak di sana
sangat disiplin mencuci ambing atau saluran kelenjar susu sebelum diperah.
“Melihat hal itu, saya sadar metode yang pernah saya terapkan keliru. Sapi
sering dimandikan, tetapi lupa mencuci ambing,” katanya.
Revolusi
Keinginan Barjat berbagi ilmu
semakin kuat saat tiba lagi di Tanah Air. Penerapan teknologi mungkin tak bisa
langsung dirasakan, tetapi tata cara pemeliharaan baik lainnya bukan mustahil
dilakukan. Penyediaan wadah selalu terisi air minum dan sosialisasi pentingnya
mencuci ambing.
Namun, keinginannya tak mulus
saat ide anyar itu digulirkan. Ia ditertawakan. Peternak lainnya masih
berpegang pada keyakinan keliru tentang pemberian air minum. “Mereka beranggapan jika terlalu banyak memberi
air, hanya akan memicu diare,” katanya.
Barjat tak putus asa. Ia
memulai revolusi dari kandang sapinya sendiri. Wadah khusus untuk minum sapi
dibuat di kandangnya. Nada sumbang penuh ragu masih didengarnya. “Ternyata diare yang ditunggu itu tak muncul.
Justru sapi menjadi lebih gemuk dan jauh lebih sehat. Saat yang ada bukti bukan
janji, satu per satu petani ikut membuat wadah serupa,” katanya.
Tak hanya menularkan ilmunya
pada peternak Lembang, Barjat berbagi ilmu dengan siapa saja. Pihak KPSBU kerap
meminta Barjat menjawab rasa penasaran beragam pihak tentang ketangguhan
peternak sapi Lembang. Barjat murah hati menjawabnya.
Tamunya beragam, peternak,
mahasiswa, hingga peneliti dari dalam dan luar negeri. Dari awalnya tak percaya
diri, ia fasih berbicara tentang pemeliharaan sapi ideal. Jika semula malu
dengan kondisi kandang yang becek dan jorok, kini tidak lagi karena kandang
sapinya sudah bersih. “Saya ingin terus berbagi
dengan siapa saja yang bertanya. Banyak hal yang bisa diraih apabila peternak
mau terus belajar. Jika tidak percaya, datang saja kemari kita belajar
sama-sama,” katanya
diiringi tawa renyah.
Author : C. Helmy
Sumber : www.kompas.id