DIOLUHTAN. Sebagai
seorang pemuda, saya punya prinsip sarjana tidak harus menjadi seorang pegawai
negeri sipil. Seorang sarjana, bisa juga kembali ke kampung, menjadi petani dan
menggerakkan perekonomian masyarakat di desa.
Ilustrasi (foto : Yoush)
Alasan saya pulang ke kampung
setelah meraih gelar pendidikan tinggi dan kembali menjadi petani sederhana
saja: “Petani juga membutuhkan pendidikan
sehingga petani wajib menjadi master dan meraih pendidikan yang tinggi agar
pertanian bisa lebih maju”.
Menjadi
petani yang memiliki jenjang pendidikan S1 dan S2 dapat saya lalui, juga berkat
pertanian, yaitu berkat hasil dari penjualan sayuran/pertanian. Orang tua
adalah seorang petani yang setiap hari bermain dengan tanah dan kotoran. Tetapi
dari hasil tersebut akhirnya saya bisa melanjutkan pendidikan, sehingga bukan
hal aneh dan hal yang keliru jika saya kembali bertani setelah meraih
pendidikan tinggi.
Menjadi
Master Manajemen adalah satu hal yang pantas saya syukuri, dan kembali bertani
adalah hal yang wajib saya jalani, sebab jika saya kembali menjadi petani,
gelar yang melekat dan ilmu–ilmu yang pernah saya dapatkan di perguruan tinggi
dapat saya gunakan untuk me-manage bisnis pertanian dengan lebih baik. Hal
apapun di dunia ini membutuhkan manajemen yang bagus, sama halnya dengan dunia
pertanian.
Selama
ini yang menjadi evaluasi pada sektor pertanian adalah rendahnya rata–rata
pendidikan petani sehingga banyak hal yang seharusnya menjadi hak petani,
penyalurannya menjadi tidak tepat sasaran. Seperti halnya pendistribusian pupuk
organik kadang di atas harga eceran tertinggi (HET). Padahal andaikan petani
cerdas hak–hak mereka bisa dituntut dan dipertanyakan kepada pengambil
kebijakan baik di pusat maupun daerah.
Kelompok–kelompok
tani hari ini masih menjadi catatan sejarah, masih banyak kelompok tani yang
hanya ada di daftar dan dibentuk oleh pemerintah, tetapi sayang keaktifannya
masih di pertanyakan. Hal–hal apa yang membuat pertanian tidak bergairah dan
ditinggalkan semua ada alasannya, melalui perjalanan saya menelusuri dan
senantiasa berbincang dengan petani, akhirnya diketahu, alasannya adalah karena
pertanian tidak menjanjikan. Tidak ada regulasi yang mengatur sehingga petani
bisa untung dan konsumen bisa puas dengan hasil panen petani.
Biaya
produksi yang tinggi dan pemasaran yang rendah membuat petani muda mencari
pekerjaan lain, pekerjaan yang lebih jelas dan menjanjikan. Dari latar belakang
tersebut membuat saya tergugah dan terpanggil untuk kembali menjadi seorang petani.
Walau belum banyak yang bisa saya lakukan khususnya peningkatan mutu pertanian,
tetapi saya melihat potensi pada sektor pertanian begitu besar, sehingga
kesempatan emas tersebut tidak boleh disia–siakan.
Selain
peningkatan pendapatan petani, hal yang tidak kalah pentingnya yang harus
segera disentuh adalah sumber daya manusia (SDM) dan pendidikan petani. Karena
itu, saya di desa menggagas Gerakan Cerdas Anak Petani. Dari gerakan itu, maka
lahirlah Rumah Baca Anak Petani, Iqra Diniyah Anak Petani, Taman Baca Anak
Petani dan Sekolah Alam.
Kesemuanya
diperuntukkan bagi petani dan generasi muda petani agar menjadi petani yang
cerdas, hebat, modern dan mampu bersaing secara global. Target-target itulah
yang membuat saya optimis bahwa suatu saat nanti pertanian akan berjaya dan
diminati oleh pemuda-pemuda dan para sarjana.
Gerakan-gerakan
untuk mengatur dan mengubah sistem pertanian juga mulai saya jalankan seperti,
memanfaatkan lahan tidur dan pekarangan rumah untuk ditanami tanaman buah
seperti markisa, agar bisa menjadi pendapatan tambahan buat petani. Markisa
dipilih karena selain bisa dikonsumsi langsung juga dapat dijadikan olahan
seperti sirup markisa dan dodol markisa yang bisa diolah menjadi menjadi
ole-ole khas Sulawesi selatan.
Kemudian,
juga gerakan mengubah sistem pertanian dari non organik ke pertanian organik.
Untuk hal ini, saya tak henti dan tak bosan melakukan sosialisasi kepada
petani, kelompok tani dan gabungan kelompok tani (gapoktan). Tujuannya, agar
pertanian bisa lebih sehat, lingkungan terjaga, pertanian dapat diwariskan dan
pemasaran bisa lebih modern dan global.
Melalui
SDM dan pendidikan, pertanian Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan bisa
diharapkan lebih berjaya dan hebat. Cita-cita swasembada pangan dan pertanian
diminati oleh kaum muda pun diharapkan bisa terwujud. Dengan kembali menjadi
petani saya akan menjawab, pertanian dan menjadi petani harus bisa dibanggakan.
Prinsipnya, pejabat sekalipun tidak bisa hidup tanpa hasil pertanian, sebab
tidak ada petani tidak ada makanan, karena sumber makanan berasal dari
pertanian.
Pertanian
sangatlah urgen, sehingga pertanian tidak boleh mengalami krisis petani.
Menjadi petani jangan selalu diidentikkan dengan kotor dan tidak modern, karena
kehidupan kuncinya adalah dari hasil pertanian. Sekali lagi, “Sarjana tidak mesti menjadi PNS. Menjadi
petani juga menjanjikan”. Seruan itu lahir dari ajakan kepada para sarjana
untuk kembali mencintai pertanian, karena sektor pertanian mampu menyerap
tenaga kerja yang besar, juga bisa mengurangi perpindahan penduduk dari desa ke
kota karena di pedesaan sektor pertanian juga menjanjikan.
(Jamaluddin
Daeng Abu, Ketua BUMDes, Kalpataru, Gowa Sulawesi Selatan)
Editor
: Yusran Yahya
Sumber Artikel : www.villagerspost.com