Bukan lagi
soal teknis. Peternak akan berdaya, jika menghimpun diri dan memiliki seorang
leader yang visioner.
DIOLUHTAN. Republik ini
tidak pernah kekurangan orang untuk menciptakan inovasi dan temuan mengagumkan.
Jika di webometrik kita masih kalah dengan beberapa negara tetangga, sebut saja
itu perihal ketertinggalan jumlah tulisan ilmiah, itu saja. Selebihnya banyak
yang bisa dimanfaatkan peternak kita untuk mengembangkan usaha ternaknya melalui
penarapan ilmu dan teknologi kekinian.
Bahkan
internet-pun sudah masuk di setiap sudut desa. Tidak ada lagi alasan untuk
tidak mengenal teknologi peternakan terefisien. Namun, apakah peternak sudah
lebih terjamin mendapatkan pundi-pundi emasnya? Ternyata belum. Banyak hal
masih tidak bersahabat bagi peternak. Terutama yang terkait dengan pasar.
Sebuah kata yang cocok dijadikan judul film, “Misteri dan Keajaiban Pasar”.
Harga Pasar?
Profesor-pun “Menyerah”
Para ahli,
akademisi, dan ilmuwan sangat lihai menjawab pertanyaan tentang masalah teknis
peternakan yang telah berhasil mereka pecahkan di laboratorium atau di
lapangan. Para expert sosial ekonomi peternakan begitu mudahnya melakukan
komunikasi dan membangkitkan semangat peternak untuk mau menggunakan teknologi,
dan atau memberdayakan mereka dengan berbagai kegiatan.
Namun ketika
seorang peternak mengeluh, bahwa sapi sudah berhasil mencapai target
pertambahan berat badan dengan teknologi pakan terbaru, mereka takluk di tangan
harga pasar. Semua ahli akan tertegun sejenak untuk menjawab pertanyaan
tersebut. Bagi yang sudah sering mendapat pertanyaan itu, seringkali langsung
dijawab, “saya menyerah jika ditanya
tentang harga pasar”.
Teknologi yang
diintroduksikan ke suatu titik usaha peternakan, biasanya akan memberikan
tambahan cost, yang bisa jadi akan memberikan tambahan keuntungan. Namun, belum
tentu margin keuntungan lebih besar daripada margin biaya produksi.
Jika pun berhasil
lebih besar, masalah berikutnya yaitu tidak adanya kepastian harga pasar.
Peternak kembali dipusingkan. Dari sinilah muncul pemikiran, bahwa improvement
teknis produksi harus diimbangi dengan penguatan sabuk manajemen usaha.
Peternak mampu menjangkau manajemen usaha yang kuat, jika mereka menghimpun
diri dalam suatu kesatuan. Kemitraan ayam broiler yang dikelola perusahaan
multinasional digunakan sebagai contoh, bagaimana kekuatan kelompok mampu
mengatasi segala permasalahan bisnis. Lalu bagaimana nasib ternak lokal kita
yang dikelola masyarakat umum? Sambil kita menjaga martabat ayam kampung
(Sakti, 2013), atau mempopulerkan sapi Bali ke masyarakat dunia, perlu
pembahasan dari sudut pandang berbeda untuk meningkatkan martabat para peternak
Indonesia. Sentra Peternakan Rakyat (SPR) yang akhir-akhir ini diperkenalkan,
menjadi salah satu terobosan penting dari Kementerian Pertanian periode ini.
Pendampingan peternak puyuh di kemitraan Puyuh Holstein Indonesia Boyolali, Jawa Tengah.
Ibarat Sapu Lidi,
Kuat Jika Berhimpun Bersama
Balai
Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia (BPPTK), Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Gunungkidul pada tahun 2015, melakukan kegiatan diseminasi
hasil penelitian di Kemitraan Puyuh Holstein Indonesia di Boyolali, Jawa
Tengah.
Pada medio 2014, kemitraan yang baru terbentuk pada tahun 2012 kemarin mempunyai jumlah peternak binaan 21 orang dengan populasi puyuh sebesar 35.000 ekor dan mampu memproduksi telur puyuh 6,5 juta butir per tahun. Saat ini, jumlah peternak dibina telah mencapai 55 orang dengan populasi puyuh lebih dari 100.000 ekor dan mampu memproduksi telur puyuh lebih dari 19 juta butir per tahun, dengan omset usaha mencapai 4 miliar rupiah per tahun. Jika melihat populasinya, sudah mencapai sekitar 0,8% dari populasi nasional atau 2,5% dari populasi puyuh di Jawa Tengah (Ditjenakeswan, 2015).
Pada medio 2014, kemitraan yang baru terbentuk pada tahun 2012 kemarin mempunyai jumlah peternak binaan 21 orang dengan populasi puyuh sebesar 35.000 ekor dan mampu memproduksi telur puyuh 6,5 juta butir per tahun. Saat ini, jumlah peternak dibina telah mencapai 55 orang dengan populasi puyuh lebih dari 100.000 ekor dan mampu memproduksi telur puyuh lebih dari 19 juta butir per tahun, dengan omset usaha mencapai 4 miliar rupiah per tahun. Jika melihat populasinya, sudah mencapai sekitar 0,8% dari populasi nasional atau 2,5% dari populasi puyuh di Jawa Tengah (Ditjenakeswan, 2015).
Namun jika
dilihat berapa persentase keuntungan kemitraan, ternyata hanya maksimal 4% dari
omset yang beredar. Manajemen kemitraan memutuskan untuk menjual telur dengan
margin keuntungan yang tipis, sehingga tingkat serapan pasar telur puyuh mereka
selalu lebih dari 98% dari total panen, bahkan selalu kurang pada momen-momen
tertentu. Hal ini membuat keamanan jumlah permintaan menjadi lebih terjamin.
Selain itu, pangsa pasar juga dapat terjaga dengan baik. Ini sangat penting,
dan menjadi salah satu jawaban atas pertanyaan di atas tentang bagaimana
mengatasi harga pasar yang fluktuatif.
Bagaimana dengan
biaya produksi di tengah keputusan mengambil margin keuntungan yang tipis?
Kemitraan Puyuh Holstein Indonesia merupakan bentuk perhimpunan diri para
peternak. Dengan berhimpun, mereka mampu menekan biaya produksi seperti pakan,
transportasi, bibit, dan sarana produksi lainnya. Harga beli modal menjadi
lebih rendah, karena mereka mampu membeli secara kolektif dengan tonase yang
lebih besar, langsung dari perusahaan produsen pakan.
Prinsip koperasi
berlaku di sini dengan segala keuntungan lainnya seperti kemudahan peternak
dalam menjual hasil panen, kemudahan mendapatkan informasi terbaru terkait
teknologi, pengendalian penyakit, maupun info pasar, dan membuat mereka kuat
secara sosial, karena mayoritas dari mereka yang membangun kandang, bertetangga
dalam satu kawasan. Resiko penolakan terhadap imbas buruk peternakan oleh masyarakat
sekitar dapat ditekan seminimal mungkin.
Ketika saya bertanya kepada salah seorang peternak, tentang bagaimana mereka memasarkan telur, dengan tersenyum dijawabnya, “Tidak usah ikut pusing mikir hal itu, karena manajemen kemitraan lebih ahli, dan kegiatan kami dalam beternak menjadi lebih tenang dan menyenangkan,” kata peternak tersebut. Semua keuntungan ini sulit didapat jika mereka berdiri sendiri-sendiri, mengatur semuanya sendiri, tentu akan mudah patah seperti halnya sebatang lidi yang bekerja sendiri.
Ketika saya bertanya kepada salah seorang peternak, tentang bagaimana mereka memasarkan telur, dengan tersenyum dijawabnya, “Tidak usah ikut pusing mikir hal itu, karena manajemen kemitraan lebih ahli, dan kegiatan kami dalam beternak menjadi lebih tenang dan menyenangkan,” kata peternak tersebut. Semua keuntungan ini sulit didapat jika mereka berdiri sendiri-sendiri, mengatur semuanya sendiri, tentu akan mudah patah seperti halnya sebatang lidi yang bekerja sendiri.
Pengadaan pakan terpusat di kemitraan.
Leader yang Humanis dan Visioner
Seorang Sarjana
Peternakan bernama Itmamul Khuluq berada di belakang ini semua. Pada tahun
2012, saat kembali ke desanya, mereka mendapati beberapa peternak puyuh yang berusaha
sendiri-sendiri. Mandiri tentang segala hal, termasuk menghadapi rumitnya
fluktuasi harga dari hulu ke hilir. Tak kuat melihat kenyataan pahit yang
sering kali dihadapi peternak, Itmamul mulai membentuk manajemen kemitraan
dengan dirinya sebagai pemimpin yang sebenarnya adalah sebagai pelayan bisnis
bagi peternak.
Suatu koperasi
atau kelompok ternak, tidak akan maju dengan pesat jika tidak dipimpin oleh
leader yang bukan hanya memahami hal teknis, tetapi juga visioner. Grand desain
akan membawa mereka semua ke arah tujuan bisnis yang jelas. Namun, semua itu
akan menemui batu sandungan jika leader tersebut kurang humanis. Leader harus
paham dan mampu memahami masing-masing karakter peternak. Mampu ngemomong (mengasuh)
peternak dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang berbeda-beda. Serta
mampu mengkombinasikan sifat berbeda itu menjadi satu kekuatan kemitraan yang
murni dan identik dibanding kemitraan yang lain.
Kemudian Leader harus mau dan mampu terjun ke pasar, sehingga bisa membuat keputusan terbaik terkait strategi pasar. Kemampuan teknis, sifat humanis, dan pandangan visioner dibutuhkan leader untuk membawa perhimpunan ke arah kesuksesan. Peternak kita membutuhkan sarjana-sarjana seperti ini untuk mengelolakan usaha mereka, dan mendampingi mereka meraih kesejahteraan bersama.
Kemudian Leader harus mau dan mampu terjun ke pasar, sehingga bisa membuat keputusan terbaik terkait strategi pasar. Kemampuan teknis, sifat humanis, dan pandangan visioner dibutuhkan leader untuk membawa perhimpunan ke arah kesuksesan. Peternak kita membutuhkan sarjana-sarjana seperti ini untuk mengelolakan usaha mereka, dan mendampingi mereka meraih kesejahteraan bersama.
Bukan Lagi
Soal Teknis, Karena Ini Bisnis
Harga pasar untuk
produk peternakan bukan hanya terkait teknis produksi, melainkan lebih
dipengaruhi faktor sosial-politik, termasuk spekulan dan impor. Sayangnya, di
setiap kegiatan pemberdayaan, peternak kita masih saja hanya diberi improvement
tentang teknis, seperti halnya teknologi pakan dan aditif, bibit yang baik,
pengendalian penyakit, dan usaha peningkatan performa ternak lainnya.
Empowerment yang
lebih dibutuhkan peternak saat ini adalah tentang kelembagaan, kekuatan sosial,
dan manajerial usaha. Segala teknis produksi akan lebih efektif dan efisien
jika diimbangi peningkatan kekuatan mereka secara sosial dan manajerial. Karena
mereka menjalankan bisnis, bukan sekedar membuat bentuk peternakan ideal
seperti di kandang milik lembaga penelitian dan pendidikan. Entah peternak kita
setuju atau tidak jika usaha ternaknya dianggap bisnis, namun jika kita sepakat
bahwa peternak Indonesia harus berdaya, maka sekecil apapun usaha peternakan,
selalu kita anggap sebagai bisnis, agar kepedulian kita menjadi total. Tidak
lain hanya untuk mensejahterakan dan memuliakan peternak Indonesia.
Penulis : Awistaros A. Sakti (Peneliti Bidang Peternakan dan Ilmu Ternak, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia-LIPI)
Sumber : www.majalahinfovet.com
Sumber : www.majalahinfovet.com