Pengambilan Serat Sagu (ilustrasi)
DIOLUHTAN-suluhtani. Limbah sagu merupakan hasil samping industri pengolahan pati. Industri ekstraksi pati sagu menghasilkan tiga jenis limbah, yaitu residu selular empulur sagu berserat (ampas), kulit batang sagu, dan air buangan. Jumlah kulit batang sagu dan ampas sagu adalah sekitar 26% dan 14% berdasar bobot total balok sagu (Singhal et al. 2008).
Lebih lanjut dilaporkan bahwa limbah sagu mengandung komponen penting seperti pati dan selulosa. Jumlah limbah kulit batang sagu mendekati 26%, sedangkan ampas sagu sekitar 14% dari total bobot balok sagu.
Ampas mengandung 65,7% pati dan dan sisanya merupakan serat kasar, protein kasar, lemak, dan abu. Dari persentase tersebut ampas mengandung residu lignin sebesar 21%, sedangkan kandungan selulosa di dalamnya sebesar 20% dan sisanya merupakan zat ekstraktif dan abu. Di sisi lain, kulit batang sagu mengandung selulosa (57%) dan lignin yang lebih banyak (38%) daripada ampas sagu. Jumlah ampas sagu dan pati yang besar di dalam air limbah praolah berkontribusi terhadap BOD dan COD air limbah secara signifikan.
Limbah ini akan
menjadi masalah lingkungan yang serius bila tidak di perlakukan untuk tujuan
tertentu atau dibuang dengan cara yang benar. Dengan demikian, limbah sagu
dapat menjadi alternatif sumber BBN yang berasal dari biomassa lignoselulosa.
Pohon sagu
merupakan nama umum untuk tumbuhan genus Metroxylon, berasal dari kata
Yunani yang terdiri dari kata Metra berarti isi batang atau empulur dan Xylon
berarti xylem (Flach 1977). Sagu termasuk tumbuhan monokotil dari
famili Palmae, genus Metroxylon
dan Ordo Arecales, berkembangbiak
melalui tunas, akar atau biji sehingga tumbuh membentuk rumpun dan berkelompok
(Louhenapessy et al. 2010).
Pada umumnya
dikenal lima jenis sagu di Maluku, yakni : sagu Tuni (Metroxylon rumphii
Mart), sagu Ihur (Metroxylon sylvester Mart), sagu Makanaru (Metroxylon
longispinum Mart), sagu Duri Rotan (Metroxylon microcanthum Mart)
merupakan sagu berduri dan satu jenis sagu yang tidak berduri yakni sagu Molat
(Metroxylon sagu Rottb) (Louhenapessy 2006).
Taksiran luas
lahan sagu di Indonesia sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Luas lahan sagu
di Indonesia adalah 1.398.000 ha, sedangkan di Maluku (provinsi Maluku dan
Maluku Utara) luas lahan sagu adalah 50.000 ha (Balitbanghut 2005).
Menurut Alfons
(2006), luas areal sagu potensial di Maluku diperkirakan sebesar 31.360 ha.
Jumlah pohon masak tebang untuk kondisi hutan sagu di Indonesia adalah antara
8–36 pohon/ha dimana untuk kondisi hutan sagu di Maluku rata-rata pohon sagu
masak tebang berbagai jenis sagu adalah 20 pohon/ha dan rataan produksi tiap
pohon adalah 220 kg, sehingga dalam luasan satu ha dapat diproduksi 4400 kg
tepung sagu (Louhenapessy 1988). Dari jumlah produksi tepung sagu diperoleh
limbah padat berupa ampas sagu dalam jumlah yang besar dengan perbandingan
tepung sagu dan ampas sagu 1 : 6. Hal ini berarti potensi ampas sagu tersedia
cukup besar yaitu 1.320 kg per pohon yang terdiri dari campuran ampas dan sisa
pati yang tidak terekstraksi (Rumalatu 1981).
Tanaman yang
memiliki nama Latin Metroxylon sp.
ini merupakan salah satu sumber karbohidrat yang penting bagi kehidupan. Untuk
mengolah tanaman sagu agar menghasilkan pati, diperlukan proses ekstraksi. Pada
dasarnya proses ekstraksi pati adalah pemisahan pati dari empulur batang sagu
dengan bantuan air. Dengan media air ini, pati sagu dapat dipisahkan dari
seratnya. Akibatnya, air mengandung pati setelah proses ekstraksi. Proses
penghancuran empulur ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni penghancuran
empulur dengan menokok (menggunakan nani) dan dengan cara mekanik (penghancuran
empulur dengan menggunakan mesin).
Industri
pengolahan sagu ini mampu menyerap tenaga kerja dan menghasilkan pendapatan
asli daerah. Apalagi, di Indonesia, potensi pati kering dari tanaman sagu di
areal seluas 1,4 juta hektare mencapai enam juta ton per tahun.
Produk pati dari
sagu ini juga berpotensi menjadi ekspor unggulan. Apalagi komoditas ini banyak
dibutuhkan industri di negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan China
untuk bahan baku mi, tepung, bahkan obat-obatan. Secara keseluruhan, kebutuhan
pati dunia mencapai 50 juta ton per tahun. Angka itu terus meningkat sebesar 7
persen setiap tahun.
Pada industri
pengolahan sagu berkapasitas besar, air sungai akan terakumulasi dengan sisa
pati sagu hasil pengolahan sagu tersebut. Jika berlangsung terus-menerus, hal
ini akan mengakibatkan akumulasi limbah sagu yang membuat air sungai tercemar.
Kenyataan ini
dilematis. Di satu sisi, proses pengolahan sagu menghasilkan limbah, baik
padat, cair, maupun gas. Biasanya, limbah ini dibuang ke sungai di sekitarnya,
terutama limbah cair yang dapat mengganggu kondisi air sungai. Tingkat
pencemaran air sungai sebagai tempat penerima limbah bergantung pada kuantitas
dan kualitas dari buangan. Pencemaran air ini dapat menyebabkan penurunan
kualitas air yang bisa membahayakan kesehatan. Selain itu, limbah cair yang
mengandung bahan organik memberikan bau dan rasa tidak sedap pada perairan
penampung.
Ampas sagu merupakan limbah yang didapatkan pada proses
pengolahan tepung sagu, dimana dalam proses tersebut diperoleh tepung dan ampas
sagu dalam perbandingan 1 : 6 (Rumalatu 1981). Jumlah limbah yang banyak
tersebut, sampai saat ini belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya hanya
dibiarkan menumpuk pada tempat - tempat pengolahan tepung sagu sehingga
menyebabkan pencemaran lingkungan. Nah, untuk meminimalisasi pencemaran tersebut, kita bisa
memanfaatkan limbah sagu. Misalnya sebagai berikut.
Limbah Sagu
untuk Pakan Ternak
Nutrien yang
terkandung dalam ampas sagu umumnya sangat rendah karena rendahnya protein
kasar dan tingginya serat kasar. Walaupun kandungan nutrien terutama
protein kasar rendah berkis ar antara
2,30-3,36%, pati dalam ampas sagu masih cukup tinggi yaitu 52,98% (Ralahalu,
2012). Hal ini memungkinkan ampas masih bermanfaat sebagai pakan
ternak.
Pemanfaatan ampas
sagu sebagai pakan ternak dari beberapa hasil penelitian dalam ransum
monogastrik (ayam dan babi) dapat mengurangi penggunaan bahan makanan lain
seperti jagung dan dedak padi disebabkan cukup tingginya kadar pati dalam ampas
sagu (Tabel 1). Selain itu untuk meningkatkan kualitas ampas sagu dilakukan
biofermentasi ampas sagu menggunakan kapang Aspergillus niger.
Tabel 1.
Penggunaan Ampas sagu Mengurangi Penggunaan Jagung dan Dedak padi
Pada Babi Fase Grower
|
Ampas Sagu Tanpa Fermentasi
|
|||
R0
|
7,5%
|
15%
|
22,5%
|
|
Jagung (kg)
|
65,75
|
53,50
|
52,00
|
40,50
|
Dedak padi (kg)
|
7,00
|
7,75
|
1,00
|
0,50
|
Pada Ayam kampung
Fase Starter
|
Ampas sagu Fermentasi (ASF)
|
|||
R0
|
5%
|
10%
|
15%
|
|
Dedak padi (kg)
|
18,25
|
15,75
|
13,75
|
10,50
|
Ayam Kampung fase Grower
|
17,5
|
16,00
|
14,00
|
12,00
|
Dedak padi (kg)
|
Sumber: Ralahalu (1998)
Kondisi seperti
ini sangat menguntungkan peternak yang berada didaerah surplus ampas sagu.
Selain itu tingginya harga jagung dan dedak padi yang menyebabkan bahan-bahan
makanan ini tidak dapat diberikan kepada ternak secara kontinyu.
Limbah Sagu
untuk Kompos
Limbah sagu,
terutama bagian sisa perasan ampasnya, ternyata juga bisa diolah menjadi kompos
yang mampu meningkatkan produksi lada perdu hingga 100-200 persen. Proses
pengomposannya melalui proses anaerob (sedikit oksigen). Proses ini terbilang
sangat sederhana, murah, dan mudah.
Cara
Pembuatannya:
1. Campurkan
ampas sagu dengan kompos matang. Fungsi kompos matang sebagai starter
(aktivator) saja.
2. Masukkan
campuran itu ke dalam lubang (diperam dalam tanah) selama minimal dua bulan.
3. Bila keberatan
dalam penggunaan kompos matang, kita bisa mensubstitusi dengan pupuk kandang,
karena hasilnya pun tak jauh beda.
4. Dalam
penelitian disertasi Muhammad Syakir dari IPB, diperoleh kesimpulan : (a) Kompos
sagu, komposisi limbah sagu 50-75 persen dengan dekomposisi dua bulan
memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan tanaman lada perdu muda (umur
satu tahun); (b) Limbah 50-100 persen yang didekomposisi dua bulan mampu
meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman lada perdu umur tiga dan empat
tahun; (c) Kandungan tertinggi unsur hara N, P, Ca diperoleh pada perlakuan 75
persen limbah sagu 25 persen kompos.
Selain menyuplai
unsur hara bagi tanaman lada perdu, limbah sagu terkomposkan bersifat
herbisida. Penguraian bahan organik anaerob apalagi ampas sagu yang memiliki
kandungan selulosa tinggi menghasilkan senyawa-senyawa asam-asam organik
seperti fenol. Senyawa fenol atau asam fenolat inilah yang berperan sebagai
herbisida gulma. Asam fenolat mempunyai pengaruh langsung terhadap proses
biokimia dan fisiologi tanaman. Berbagai penelitian menunjukkan asam-asam
fenolat bersifat racun (fitotoksik) bagi tanaman.
Limbah Sagu
sebagai Bioetanol
Bioenergi adalah bahan bakar alternatif
yang diturunkan dari biomassa, yaitu
material yang berasal dari makhluk
hidup (tanaman, hewan dan mikroorganisme). Pengembangan
bioenergi ini sangat cocok diaplikasikan di Indonesia karena didukung oleh potensi sumber daya alam hayati yang melimpah dan ketersediaan
lahan. Salah satu jenis bioenergi yang dapat dikembangkan adalah bioetanol yang
dapat
digunakan sebagai pengganti bensin.
Energi
biomassa berasal dari bahan organik dan sangat beragam jenisnya. Sumber energi biomassa dapat berasal dari tanaman
perkebunan atau
pertanian, hutan, atau
bahkan
limbah, baik limbah domestik maupun
limbah pertanian. Biomassa dapat digunakan
untuk
sumber
energi langsung maupun
dikonversi menjadi bahan
bakar.
Teknologi pemanfaatan energi biomassa yang telah dikembangkan terdiri dari pembakaran langsung
dan konversi
biomassa menjadi
bahan bakar.
Penggunaan
biomassa langsung sebagai bahan bakar
kurang efisien sehingga konversi biomassa dianggap lebih baik dalam pemanfaatannya. Hasil konversi
biomassa ini dapat berupa
biogas,
bioetanol,
biodiesel, arang dan sebagainya. Bioetanol dan biodiesel dalam
jangka panjang dapat
dijadikan sebagai pengganti bahan bakar minyak.
Secara lebih spesifik bioetanol adalah cairan yang dihasilkan melalui proses fermentasi
gula dari penguraian
sumber
karbohidrat dengan bantuan mikroorganisme.
Bioetanol dapat juga diartikan
sebagai bahan kimia yang memiliki
ada sifat kesamaan dengan minyak premium, karena terdapatnya unsur–unsur seperti karbon
(C) dan hidrogen
(H).
Bahan baku pembuatan bioetanol dibagi menjadi tiga kelompok yaitu bahan bersukrosa (nira, tebu, nira nipah, nira sargum
manis,
nira kelapa, nira aren, dan
sari
buah
mete); bahan berpati (bahan
yang
mengandung
pati) seperti tepung ubi, tepung ubi ganyong, sorgum biji, jagung,
cantel, sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan
lain-lain; dan bahan
berserat selulosa/lignoselulosa
(tanaman yang mengandung selulosa dan lignin
seperti
kayu, jerami, batang
pisang, dan
lain-lain.
Bioetanol dianggap lebih ramah lingkungan karena CO2 yang dihasilkan oleh
hasil buangan mesin akan
diserap
oleh tanaman,
selanjutnya tanaman tersebut digunakan sebagai bahan
baku
pembuatan bahan bakar
mesin,
dan seterusnya sehingga tidak terjadi akumulasi karbon di atmosfer seperti yang ditimbulkan oleh penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar. Keunggulan lainnya adalah bioetanol mempunyai angka oktan tinggi 135. Angka oktan premium yang dijual sebagai bahan bakar hanya 98, makin tinggi bilangan
oktan, bahan bakar makin tahan untuk tidak
terbakar
sendiri
sehingga menghasilkan kesetabilan proses pembakaran untuk memperoleh daya yang lebih stabil. Proses pembakaran dengan daya yang lebih sempurna akan mengurangi emisi gas karbon monoksida. Campuran
bioetanol 3% saja, mampu menurunkan
emisi karbon monoksida menjadi
hanya 1,35% (Aisyah dan
Sembiring,
2010).
Penambahan bahan
bakar ethanol dalam bensin pada sepeda motor 4 tak dapat menimbulkan penurunan
emisi gas formaldehid sebesar 42.1 % untuk BE5 dan 79.7 % untuk BE10. Sedangkan
kecepatan mesin dapat meningkatkan emisi formaldehid, terutama pada bahan bakar
BE0 yakni 0.02125 mg/m3 pada 2800 rpm. Penambahan bioethanol kedalam
bahan bakar memberikan pengaruh penurunan temperatur gas buang (Christina dan Irsyad, 2010).
Salah satu
penghasil bioetanol adalah pohon sagu. Pati sagu disebut juga poliglukosa, karena unit monomernya glukosa. Kemurnian sagu pada pati sangat tinggi karena rendahnya kandungan lemak, protein dan senyawa lain, sehingga
pati sagu sangat cocok digunakan sebagai bahan baku pembuatan turunan pati seperti dekstrin,
dekstrose, gula, dan produk turunan lainnya. Pati sagu yang diekstrak dari empulur
batang pohonnya mengandung pati (27-31%), serat (20-24%) dan air (45-53%). Ekstraksi dilakukan dengan metode aliran air, sehingga air ikut berpengaruh terhadap kualitas mutu sagu. Bioetanol
dari
sagu
berasal
dari
dua bagian yaitu pati sagu dan
serat sagu.
Sedangkan prosesnya berlangsung dalam empat tahapan yaitu: a. hidrolisa bahan menjadi oligosakarida; b.
hidrolisa oligosakarida
menjadi gula (monosakarida); c. konversi gula menjadi bioetanol, d. pemurnian bioetanol.
Pembuatan etanol dari pati dapat dilakukan secara kimia
ataupun biologis. Akan tetapi jika
berbicara “bioetanol” tentunya
proses
yang
dipakai adalah secara biologis dengan menggunakan enzim alfa dan glucoamilase yang mampu mengurai pati menjadi
gula
(sakarifikasi) dan selanjutnya fermentasi gula menjadi bioetanol.
Bioetanol dapat pula diperoleh dari serat berselulosa
dengan menggunakan enzim selulase. Efektivitas
proses ini dipengaruhi
oleh jenis enzim, kekentalan bahan (ratio pati dan air), presentase enzim dan kondisi proses fermentasi. Proses fermentasi berlangsung beberapa jam setelah semua bahan dimasukkan ke dalam fermentor. Proses ini
berjalan ditandai dengan keluarnya gelembung-gelembung udara kecil-
kecil Gelembung-gelembung udara ini adalah gas CO2 yang dihasilkan selama proses fermentasi.
Selama proses fermentasi diusahakan agar suhu tidak melebihi 36oC dan pH nya dipertahankan 4.5 – 5. Proses fermentasi berjalan kurang lebih selama 2 sampai 3 hari. Salah satu tanda bahwa fermentasi sudah selesai adalah tidak terlihat
lagi adanya gelembung-gelembung udara.
Setelah proses fermentasi selesai, cairan fermentasi dimasukkan ke dalam evaporator atau
boiler. Panaskan dengan suhu dipertahankan sekitar 79 – 81oC. Pada suhu ini bioetanol sudah menguap, tetapi air tidak menguap. Uap etanol dialirkan ke distilator. Bioetanol akan keluar dari
pipa pengeluaran distilator. Pada distilasi tahap
pertama, biasanya kadar bioetanol masih di bawah 95%. Apabila kadar bioetanol masih di bawah 95%, distilasi perlu diulangi lagi (reflux) hingga kadar bioetanolnya 95%.
Jika kadar bioetanolnya sudah 95% dilakukan dehidrasi atau
penghilangan air.
Untuk menghilangkan air bisa menggunakan kapur tohor atau zeolit sintetis.
Tambahkan kapur tohor pada etanol, biarkan semalam. Setelah itu didistilasi lagi hingga kadar airnya berkurang, dan kadar bioetanol yang diperoleh dapat mencapai 98-99%. Sagu berpotensi menjadi bioetanol
bahan bakar nabati (BBN) karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi,
sekitar 85% dan kandungan kalori 357 kalori. Jadi diperkirakan kalau menggunakan tepung sagu tersebut dari
6,5 kg tepung akan dihasilkan 3,5 liter bioetanol
(Tarigan,
2001 dalam Komarayanti 2010).
Tahapan awal proses produksi bioetanol yaitu praperlakuan. Praperlakuan bertujuan menghilangkan
hemiselulosa dan lignin, sehingga memudahkan proses hidrolisis selulosa. Hal
ini disebabkan selulosa terlindung dalam matriks hemiselulosa dan lignin.
Selanjutnya tahap hidrolisis enzimatik menggunakan enzim selulase yang dapat
menguraikan selulosa menjadi monomer gula. Monomer gula yang
terbentuk difermentasi menggunakan ragi untuk mengubah gula menjadi etanol.
Kemudian etanol dimurnikan dengan cara distilasi dan penguapan untuk
menghilangkan pengaruh pelarut. Setelah itu, dilakukan pencucian dan penanganan
limbah agar tidak mencemari lingkungan.
Jadi, budi daya
tanaman sagu harus terus ditingkatkan karena pencemaran lingkungan yang
diakibatkannya dapat diminimalisasi dengan temuan tersebut. Apalagi tanaman
sagu juga bisa sebagai alternatif pengganti beras. Bahkan, sagu cocok digunakan
untuk bahan bakar bioetanol. Apalagi proses pemanenannya sangat cepat, sehingga
tidak sampai mengganggu ketahanan pangan nasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Cahyani, Rizki Dwi dkk.,
2009. Pemanfaatan Limbah Sagu sebagai Bahan Baku Produksi Bioetanol.
Christina,
C. N. N., dan M. Irsyad, 2010. Pengaruh
Penambahan Bioethanol dalam Bensin terhadap Emisi Gas Formaldehid. Program Studi Teknik
Lingkungan FTSL ITB. Bandung
http//google.com/ Ampas Sagu
yang Terbuang Masih Bermanfaat - Poultry Indonesia.htm
Komarayati, Sri dan
Gusmailina, 2010. Prospek Bioetanol Sebagai Pengganti Minyak Tanah. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Limbongan,
Jermia. Morfologi Beberapa Jenis Sagu di Papua. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Papua
Singhal R. S., et al. 2008.
Industrial production, processing, and utilization of sago palm-derived
products.
Sumber: Jurnal Industri Hasil
Perkebunan Vol. No. Juni 2010, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan
Indonesia, Lembar Informasi Pertanian LPTP Koya Barat, Papua No. 07/200, dan
merdeka.com –
Widaryanto, Eko, 2011.
Peluang dan Tantangan Kemandirian Energi
Berbasis Tanaman Jarak Pagar
(Jatropha Curcas L) yang Ramah Lingkungan. Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar. Ilmu Ekologi Tanaman. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Sumber Original silahkan Klik Disini