Oleh:
Ir. Mulyono Machmur MS – (Ketua Dewan Pembina PERHIPTANI)
DIOLUHTAN. Akhir-akhir
ini penyuluhan pertanian ramai diperbincangkan terutama setelah terbitnya UU
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Berbagai pendapat yang pro dan
kontra terhadap UU tersebut muncul ke permukaan. Upaya penyelamatan eksistensi
penyuluhan pertanian sesuai dengan UU No 16 Tahun 2006 terus dilakukan baik
oleh Kementerian Pertanian maupun oleh PERHIPTANI sebagai organisasi profesi
para penyuluh pertanian. Peran penyuluhan pertanian dalam pembangunan pertanian
memberikan kontribusi sangat besar. Terutama mendorong terjadinya perubahan
dari pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Para petani dididik oleh
para penyuluh cara memilih benih/bibit yang baik, mengolah tanah yang benar, memupuk
dan memberi pakan ternak yang baik, memilihkan tanaman dan ternak yang benar,
mengakses sumber permodalan dan membantu memasarkan hasil.
Sejarah Panjang
Sejarah
panjang penyuluhan pertanian di Indonesia penuh dengan dinamika pasang surut
yang dimulai sejak pemerintahan Kolonial Belanda (1905). Dua windu pertama
sejak didirikannya Departemen Pertanian Pemerintahan Kolonial Belanda,
ditangani oleh 3 orang petinggi. Setingkat direktur yaitu : Prof. DR. Melchior
Treub (1905 -1910); DR. N.J Loving (1910-1918) dan Sidinga Mulder (1918-1922).
Perbedaan pandangan mengenai pendidikan dan penyuluhan pertanian di antara
ketiga pejabat tersebut tidak hanya berbeda tetapi lurus bertentangan.
Pada
Era Treub berpegang teguh pada pandangan bahwa para petani hanya dapat
dipengaruhi melalui Pangreh Pradja. Itu sebabnya pendidikan pertanian tidak
dipentingkan. Dianut juga pandangan bahwa petani bukan dasar yang kokoh untuk
pendidikan karena bercerai berainya pemilikan tanah, kecilnya lahan usaha tani
dan kurangnya modal di antara para petani.
Sebaliknya
Lovink berpendapat bahwa para Kepala Daerah Pertanian harus mempunyai posisi
yang bebas dan tidak merupakan sekedar penasihat. Dalam masa inilah (1911)
terbentuklah Dinas Penyuluhan Pertanian/(Lichbouw Voor/Ichtings denst/LVD).
Berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari Negeri Belanda, ia berkeyakinan
bahwa pendidikan merupakan salah satu cara yang paling bermanfaat untuk
memajukan dan memperbaiki pertanian.
Apabila
Lovink sangat menitikberatkan usahanya pada soal pendidikan, maka Sibinga
Mulder lebih menekankan pada koordinasi dalam penerapan paket teknologi
sehingga menjadikan "Pasklaar" (siap pakai) untuk kepentingan
setempat (teknologi tepat guna yang spesifik lokasi). Pada periode ini Dinas
Pertanian memberanikan diri untuk meminta bekerja lepas dari Pangreh Pradja.
Cara pemerintah tidak dipakai sama sekali, cara yang dilaksanakan adalah
mengajarkan agar petani melaksanakan perbaikan pertanian dengan penuh
tanggungjawab berdasarkan keinsyafan. Tekniknya adalah memberi kesempatan
kepada para petani untuk menyaksikan sendiri bukti nyata dari percobaan dan
percontohan. Periode ini dikenal sebagai jaman keemasan penyuluhan. Jaman
keemasan penyuluhan pertanian berakhir pada waktu pendaratan tentara dari
Nippon di Indonesia.
Pada
periode pemerintahan Kolonial Jepang (1942-1945) penyuluhan pertanian dapat
dikatakan tidak ada, karena para petani praktis diharuskan dengan ancaman
rohaniah dan badaniah untuk mengusahakan produksi bahan makanan. Aparatur
pertanian diperkuat dengan adanya Son Sidoing (Mantri pertanian di tiap
kecamatan) dan Nagyo Kumiai (Koperasi pertanian di tingkat kecamatan) untuk
memperlancar usaha produksi dan pengumpulan hasilnya bagi keperluan angkatan
perang Jepang.
memasuki
periode setelah Proklamasi Kemerdekaan (1945-1950) pembangunan pertanian
dimulai dengan adanya Rencana (Plan) Kasimo, yang merupakan rencana produksi
pertanian 3 tahun. Rencana tersebut tidak dapat dilaksanakan karena gejolak
revolusi fisik. Setelah tahun 1950 didirikan Balai Pendidikan Masyarakat Desa
(BPMD) yang mempunyai fungsi pada pendidikan masyarakat desa terutama di bidang
pertanian dibangun sebanyak 375 unit.
Impor Pangan dan
Penyuluhan
Periode
selanjutnya (1959) memasuki periode Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM)
dibentuk dengan Inpres 1/1959. Penyuluhan pertanian dalam periode segala
terpimpin mengalami banyak perubahan dari filsafat alon–alon asal kelakon
menjadi harus cepat dan tepat. Penyuluhan pertanian sebagai sistem pendidikan
non formal untuk petani dan keluarga di pedesaan mengalami penyimpangan dari
prinsip-prinsip dasar penyuluhan. Petugas lapangan menerima komando dari
atasannya untuk ditaati dan selanjutnya mengeluarkan perintah kepada para
petani untuk dilaksanakan. Para petani menerima teknologi baru tanpa pilihan dan
mereka diorganisasikan dalam kelompok dan himpunan tanpa kesadaran. Para petani
banyak menggantungkan diri pada pemerintah dan para petugas selalu menunggu
perintah dari atasannya.
Pada
waktu itu impor beras mencapai 800.000 ton. Produksi padi 15.950.000 ton dengan
luas panen = 7.153.000 ton. Produktivitas 22,3 kw/ha, swasembada beras (1963)
tidak tercapai malahan terasa efek negatif dari penyuluhan dengan sistem
komando itu. Para petani menjadi menjauhi para penyuluh pertanian.
Permintaan
kebutuhan beras di dalam negeri terus meningkat, seiring meningkatnya jumlah
penduduk dan meningkatnya konsumsi beras per kapita. Terjadilah gejolak
peningkatan harga beras, kemiskinan meningkat, kelaparan terjadi di mana-mana.
Kegagalan sistem terpimpin ini dan ditambah peristiwa G30S pada akhirnya
menyebabkan tumbangnya pemerintahan Soekarno dan timbulnya kekuasaan Orde Baru.
Pada akhir masa terpimpin dengan program SSBM ternyata gagal, maka timbul
gagasan untuk mengembalikan penyuluhan pertanian itu kepada azas-azas semula,
seperti kesukarelaan, otoaktivitas, demokratis, dan lain-lain. Upaya-upaya
membangun kembali penyuluh pertanian, antara lain: memprogresifkan pendekatan
dan cara penyuluhan pertanian, membangun organisai penyuluhan pertanian di
Indonesia, sedemikian rupa sebagai berbentuk suatu piramida besar dengan dasar
yang lebar dan luas di tingkat desa.
Dalam
suasana politik yang terus membaik setelah tahun 1965, penyuluhan pertanian
dikelola kembali berdasarkan prinsip-prinsip pendidikan yang demokratis.
Kondisi seperti ini terus berkembang sampai dengan penerapan sistem BIMAS yang
berhasil menghantarkan Negara Indonesia menjadi Swasembada Pangan/beras tahun
1984. Menurut hasil penelitian FAO kontribusi penyuluh pertanian pada waktu itu
di atas 60%. Sampai dengan tahun 1996 kita mampu mempertahankan swasembada
beras dengan produksi 51.101.506 ton, Luas panen 11.569.729 ha. Pada tahun 1993
melakukan ekspor beras tertinggi yaitu 561.000 ton.
Setelah
tahun 1995 sistem BIMAS mulai ditinggalkan, peran penyuluh pertanian semakin
menurun. Akhirnya pada tahun 1997 kita melakukan impor beras besar-besaran
sampai mendekati 2 juta ton. Pada periode ini kembali terjadi gejolak
meningkatnya harga beras, dan nilai tukar dolar terus meningkat, terjadilah
krisis moneter yang akhirnya menumbangkan pemerintahan Soeharto.
Memasuki
Periode Reformasi produksi beras nasional pada kisaran 50 juta ton. Untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri terus dilakukan impor.
Setelah
keluarnya UU No. 16 Tahun 2006 tentang SP3K, kembali para penyuluh pertanian
bergairah bekerja dengan penuh semangat. Namun demikian masih ada daerah-daerah
yang kurang merespon membentuk kelembagaan penyuluhan sesuai perintah UU
tersebut, dengan berbagai alasan bahwa Kelembagaan Penyuluhan itu tidak
menghasilkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) bahkan hanya membebani APBD. Hasil
nyata yang diraih setelah lahirnya UU No. 16 Tahun 2006, mulai tahun 2008
sampai tahun 2010 kembali menjadi negara swasembada beras. Prestasi tersebut
kembali menuntun ketika semangat para penyuluh kembali mengendor. Apabila
kondisi seperti ini dibiarkan terjadi maka akan sulit untuk menggapai
Kedaulatan Pangan.
Dua Kepentingan
Perjalanan
penyuluhan pertanian di Indonesia tidak terlepas dari adanya dua kepentingan
yang bersifat pragmatisme dan idealis. Yang beraliran pragmatis terbebani
adanya target-target produksi dalam jangka pendek yang harus tercapai
(swasembada). Peran penyuluhan pertanian diterjemahkan sebagai alat propaganda
pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk perintah-perintah kepada para petani,
dengan bahasa halusnya adalah proses alih teknologi demi meningkatkan produksi
semata. Sedangkan yang beraliran idealis berpegang teguh bahwa penyuluhan
pertanian adalah proses pembelajaran atau pendidikan non-formal bagi petani dan
keluarganya sehingga pengetahuan dan keterampilan petani meningkat dan sikap
petani berubah dalam meningkatkan produksi, pendapatan dan kesejahteraannya.
Untuk
terjadinya proses pembelajaran yang sistematis dan berkelanjutan maka
diperlukan penerapan sistem penyuluhan pertanian sesuai dengan UU No. 16 Tahun
2006 tentang sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
Editor
: Yusran Yahya
Sumber : www.tabloidsinartani.com