"Semakin besar kerusakan yang
terjadi di dalam jika tidak ada siapapun yang menghentikan aksi bullying
ini"
DIOLUHTAN. Seorang perempuan menemukan cara yang hebat untuk mengajarkan sesuatu
yang krusial. Rosie Dutton dari Relax Kids di Inggris, sebuah perusahaan yang menangani
relaksasi anak, mengajar kelas mingguan untuk usia 10 dan 11 tahun. Saat kelas
berlangsung, Dutton menggunakan apel untuk dengan brilian mengilustrasikan
sebuah poin efek dari kekerasan.
Guru lain yang mendokumentasikan pelajaran yang tersebar secara viral di
Facebook, mulai menunjukkan kepada para murid
dua apel yang terlihat sempurna. Namun tanpa sepengetahuan siswa-siswa,
dia berulangkali menjatuhkan salah satu apel ke lantai. Ia mengambil apel yang
terjatuh dan mulai melecehkan apel itu. “Saya....mulai
memberitahukan kepada anak-anak betapa saya tidak suka pada apel ini, karena
saya berpikir apel itu menjijikan, warna yang mengerikan, dan batangnya teralu
pendek,” tulis Dutton. “Saya memberitahu
mereka karena saya tidak menyukainya, saya mau mereka juga tidak menyukainya,
jadi mereka juga harus melakukan hal yang sama seperti saya.”
Mereka melempar apel itu dan anak-anak ikut berbuat kasar pada apel itu.
Setelah itu, Dutton melakukan yang benar-benar berbeda dengan apel yang lain. “Kita ambil apel yang lain dan mulai berkata mengenai hal-hal baik pada
apel itu, ‘kamu adalah apel yang manis’, ‘kulitmu cantik’, ‘betapa cantiknya
warnamu,” tulis guru berusia 31 tahun itu.
Meski keduanya terlihat sama, guru itu memotongnya menjadi dua untuk
membuktikan bagaimana apel yang diperlakukan dengan kasar menjadi lembek dan
memar. Hal yang sebaliknya justru pada apel yang diperlakukan dengan baik. “Ketika seseorang diintimidasi, terutama
anak-anak, mereka akan merasa sangat buruk dari dalam dan terkadang mereka
tidak menunjukkan atau memberitahukannya pada orang lain tentang apa yang
mereka rasakan,” tulis Dutton dalam postingannya, mencoba merangkut
pelajarannya tentang empati. “Jika kita
tidak memotong apel itu, kita tidak pernah tahu seberapa sakit yang disebabkan
oleh perilaku intimidasi seperti itu.”
Ia memberitahukan pada The Huffington Post lewat email bahwa ia ingin
mengajarkan murid-muridnya lewat kekuatan kata-kata dan pengalaman yang dilakukan
orang-orang jahat yang pernah melakukan intimidasi padanya. “Hal ini memberikan saya inspirasi yang
mungkin penting untuk ditunjukkan kepada anak-anak tentang bagaimana kita
berkata-kata pada sesama, kita bisa saling membangun satu sama lain, atau kita
bisa menyakiti satu sama lain,” ujar Dutton. “Penggunaan apel yang memar ini merupakan visualisasi yang sempurna
untuk membuat anak-anak mengerti, dan kekuatan dari perilaku tersebut”.
The 31-year-old noted that when she finally cut open the apples that day,
the lesson really sank in. “Hal itu
seketika menjadi momen dimana anak-anak maupu orang dewasa di dalam ruangan itu
berpikir,” kata Dutton. “Sebelum saya
memotong apel, saya berbicara mengenai bagaimana kedua apel itu menggambarkan
kita sebagai orang-orang. Mereka pun duduk kembali dan saya bisa melihat wajah
mereka mencoba menunjukkan bahwa mereka mulai menangkap maksudnya. Lalu hal itu
menjadi diskusi yang besar setelahnya.”
Kata-kata Duttons pun terlihat mencuri perhatian. Dia mengatakan dengan
jelas kepada anak-anak dan membuat anak-anak untuk belajar menggunakannya. “Mereka mulai membicarakan tentang hal
tersebut, mulai menghubungkannya dengan momen-momen yang ada dalam hidup
mereka.”
Dari semuanya, ia berharap hal tersebut mampu mengumpulnya rasa empati
dan sayang yang lebih baik, anak-anak mampu menggunakan pengetahuan mereka
untuk perbuatan yang baik. “Tidak seperti
apel, kita memiliki kemampuan untuk menghentikan perilaku seperti itu. Kita
bisa mengajarkan anak-anak bahwa berkatan hal yang tidak baik kepada sesama
adalah hal yang buruk dan mulai mendiskusikan tentang bagaimana perasaan yang
ada dalam diri orang lain,” ujarnya lewat post tersebut. Dia pun
menambahkan: “Semakin menyakitkan dan
kerusakan yang terjadi di dalam jika tidak ada siapapun yang menghentikan aksi
bullying ini. Mari kita menciptakan generasi yang baik, peduli terhadap
anak-anak.”
Referensi : Annisa / The Huffington Post, at www.nationalgeographic.co.id