DIOLUHTAN. Ketimpangan
hara (nutrient imbalances) muncul akibat pola tanam monokultur dan pemupukan
yang tidak berimbang. Sebagian besar lahan padi sawah hanya diberi Urea dan TSP
(di antaranya SP-36). Ada sebagian yang memberi N dalam bentuk Urea dan ZA ([NH4]2SO4) dalam dosis tinggi. Kondisi
demikian telah menyebabkan pengambilan hara selain N, P, Ca dan S (karena ada dalam bahan pupuk yang diberikan
petani) menjadi jauh lebih besar dibandingkan yang dapat disediakan oleh tanah.
Ini dikenal dengan istilah penambangan hara (nutrient mining) di lahan sawah.
Berdasarkan
hukum Liebig, hara yang terbatas jumlahnya akan menjadi faktor pembatas
pertumbuhan dan hasil panen yang akan diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh
produktivitas padi sawah (hasil dalam ton per hektar) yang terus menurun
terutama di Jawa pada dekade terakhir ini. Pemerintah menggalakkan penggunaan
pupuk berimbang dengan meningkatan produksi pupuk NPK. Jadi petani tidak hanya
memberikan hara N dan P, tetapi juga sekaligus K. Di masa depan yang diperlukan
adalah pupuk spesifik atau tematik. Artinya pupuk yang lengkap kandungan
haranya (hara makro dan hara mikro) yang telah disesuaikan dengan jenis tanaman
dan lokasi usaha taninya. Untuk membuat pupuk yang tematik sifatnya, diperlukan
database yang cukup tentang kadar dan serapan hara oleh setiap jenis tanaman
yang diusahakan, sifat tanah dan lingkungan yang mempengaruhi cadangan dan
efisiensi penyerapan hara.
Penggunaan
pupuk organik, seperti Petroganik telah terbukti mampu meningkatkan hasil panen
per hektar. Hal ini disebabkan di dalam pupuk organik tersebut terkandung hara
yang selama ini menjadi faktor pembatas dalam lahan tersebut. Pupuk organik
telah menjadi kebutuhan mutlak untuk lahan pertanian. Para petani pemilik lahan
dan yang menyewa lahan akan diuntungkan jika mendapatkan lahan yang masih cukup
tinggi kandungan bahan organiknya.
Sumber : www.nasih.wordpress.com