DIOLUHTAN,
Jakarta - Meski memiliki areal pertanian dan perkebunan yang luas, namun
produk-produk hortikultura Indonesia belum mampu berkontribusi banyak di pasar
global.
Penyuluh Pertanian Kab. Bone saat Meninjau Dempolt Sayuran KWT Batari Toja, Kab. Bone
Ketua Asosiasi
Eksportir Sayur dan Buah Indonesia Hasan Johnny Widjaja mengatakan, ada
sejumlah permasalahan yang membuat pasar ekspor produk hortikultura nasional
masih rendah. Salah satunya ketersediaan areal khusus perkebunan dengan produk
khusus ditujukan ke pasar ekspor.
"Untuk ekspor kita sulit. Kita di Indonesia nggak punya suatu kawasan,
untuk ekspor kita masih ambil dari beberapa tempat untuk memenuhi satu
kontainer," ujarnya di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, di akhir
tahun 2015 lalu.
Dia mencontohkan,
sebenarnya produk manggis lokal punya potensi besar untuk diekspor ke negara
lain. Namun sayang Indonesia tidak memiliki kawasan khusus penghasil manggis
yang bisa panen dalam jumlah besar dan berkualitas baik untuk memenuhi
permintaan di negara lain. "Seperti
manggis, kita ambil dari petani-petani, ada pengepulnya. Jadi petani cuma punya
5 pohon kemudian kita harus jalan 10 meter baru ada yang punya 5 pohon lagi.
Jadi nggak punya suatu kawasan yang besar. Sehingga ekspor Indonesia sangat
terlambat dibandingkan Thailand. Mereka ekspor, mereka ada suatu kawasan,"
jelasnya.
Selain soal lahan,
Hasan juga mengeluhkan soal kebijakan pemerintah yang belum memihak pada
buah-buahan ekspor. Salah satunya soal kebijakan tarif pemeriksaan kargo dan
pos melalui agen inspeksi (regulated agent). "Di Indonesia ini tidak memihak pada eksportir, mereka mencoba
menambah biaya pada eksportir. Contohnya dengan ada regulated agent, sesuatu
yang tidak perlu. Harusnya pemerintah dukung eksportir bisa ekspor sebesar
besarnya. Bukan malah ditambah dengan regulated agent itu," tegas dia.
Menurut dia,
keberadaan regulated agent hanya menambah biaya bagi para eksportir sehingga
membuat harga produk asal Indonesia tidak bisa bersaing dengan produk dari
negara lain, seperti Malaysia dan China. "Barang
kita harus lewat xray kemudian ditambah biaya Rp 500 per kg. Kalau 1 ton saja
Rp 500 ribu. Jadi ini bukannya ditolong pemerintah malah dipersulit. Dengan
adanya Rp 500 itu ekspor sayuran jadi sulit sementara, kita hanya ekspor ke
Singapura. Dengan adanya regulated ini kita saingan dengan Malaysia dan China
juga sangat berat sekali. Kita tidak bisa tumbuh dengan keinginan kita,"
ungkapnya.
Oleh sebab itu,
jika pemerintah serius mendorong ekspor produk hortikultura lokal, maka
kebijakan-kebijakan yang merugikan eksportir seperti ini harus dihilangkan. "Regulated agent harus pemerintah yang
cabut karena pemerintah yang buat. Regulated agent itu katanya alasannya buat
safety tapi kenapa dibebankan buat eksportir. Ini buat saya tidak
mengerti," tandas dia.