DIOLUHTAN-suluhtani. Bogor - Guru Besar
Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Prof Iman Supriatna, mengatakan populasi kerbau
Indonesia terganggung, menurut data BPS terjadi penurunan populasi sebesar satu
juta dalam kurun waktu tiga tahun, diperkirakan populasi hewan tersebut
mendekati kepunahan pada 2031. "Kalau
kita ekstrapolasikan data dari BPS, maka pada tahun 2031 populasi ternak kerbau
mendekati zero, istilah lainnya punah. Anak cucu kita tidak akan melihat kerbau
lagi," kata beliau.
Ilustrasi by Dioluhtan
Dijelaskankan,
konsumsi daging di Amerika paling tinggi yakni 120,2 kg per kapita per tahun,
Indonesia hanya 11,6 kg per kapita per tahun. Rasio ternak yang dimiliki per
penduduk tertinggi diraih Australia yakni 1,2 dan Indonesia 0,065. Artinya
seribu penduduk Indonesia hanya punya 65 ekor sapi. Data Badan Pusat Statistik
(BPS) sejak 2011 hingga 2013 terjadi penurunan populasi sapi potong hingga 2,5
juta ekor dan ternak kerbau sebesar satu juta ekor. "Namun situasi ini dapat kita cegah dengan memanfaatkan ilmu
pengetahuan untuk membantu mengembangkan populasi hewan ternak kerbau maupun
sapi potong," katanya.
Upaya
mengembalikan populasi hewan ternak dapat dilakukan karena Indonesia memiliki
bioteknologi reproduksi. Teknologi tersebut adalah inseminasi buatan (IB),
transfer embrio (TE), in vitro fertilizer (IVF) dan transgenik (masih skala
penelitian). IB untuk program pemuliabiakkan ternak memanfaatkan gen unggul.
Semen atau mani disimpan dan diaplikasikan saat sapi kerbau sedang birahi. "Teknologi ini untuk meningkatkan
kapasitas pejantan unggul," katanya.
Dijelaskannya,
pejantan alami hanya bisa memberikan anak 80 ekor per tahun. Dengan IB, satu
pejantan bisa memberikan 10 ribu hingga 25 ribu dosis semen. Dari angka
tersebut, akan dihasilkan 13 ribut pedet pejantan unggul. "Untuk mendapatkan pejantan unggul, diperlukan enam generasi atau
sekitar 25 tahun," katanya.
Menurutnya, saat
ini Balai Inseminasi Buatan memiliki 25 juta dosis semen sapi dan kerbau
sebanyak 100 ribu dosis semen. Namun, perlu ada evaluasi kualitas terhadap IB. "Program ini sangat potensial, tetapi
jika pengelolaan tidak terkendali akan menyebabkan inbreeding depression,"
katanya.
Ilustrasi by Dioluhtan
Dikatakannya,
aplikasi dan pengembangan IB di Indonesia sudah dilakukan secara massal dan
mencapai tahap swadaya dan tahapan komersialisasi. Tranfer embrio dan IVF belum
dapat dilakukan secara massal karena baru sampai tahap penyediaan bibit
berkualitas untuk memenuhi kebutuhan kekurangan bibit unggul. "Pelaksanaan program transfer embrio
secara tunggal masih menghadapi kendala dalam mencukupi resipie yang laik transfer
dan angka kebutuhan baru mencapai 20 hingga 25 persen," katanya.
Solusinya, lanjut
dia, dengan melakukan program twinning (kembar-red) melalui program transfer
embrio, di antaranya transfer embrio duplet dan transfer embrio pada akseptor
IB yang telah diinseminasi. Misalnya sapi yang sudah diaplikasi IB kemudian
diaplikasi transfer embrio selama tujuh hari. "Sehingga lahir kembar. Program ini menghasilkan pedet 20 persen
lebih banyak dibanding jika menggunakan aplikasi kelahiran tunggal menggunakan
IB saja atu TE saja," katanya.
Iman menambahkan,
program kembar bisa menghasilkan jika memenuhi persyaratan seperti faktor
biologis-fisiologis ekseptor atau resipien, lingkungan dan kondisi peternakan.
Pokok pikiran Iman
tersebut terangkum dalam materi orasi ilmiah Guru Besar IPB berjudul "Aplikasi Bioteknologi Reproduksi dalam
Upaya Peningkatan Populasi dan Mutu Ternak Sapi dan Kerbau di Indonesia" yang
telah dipaparkannya desember 2015 lalu.
Sumber : www.beritasatu.com