DIOLUHTAN. Kebahagiaan
bagi kita semua bahwa Upaya Khusus (Upsus) Kementerian Pertanian berhasil
menekan impor cabai dan bawang, bila dibandingkan dengan volume impornya pada
tahun 2014 yang lalu. Tahun 2014 bawang merah impor 87,526 Ton dan tahun 2015
sebesar 17,402 Ton hingga Oktober 2015. Lalu ekspor tahun 2014 sebesar 4,439
ton, dan 2015 meningkat sebesar 14,149 ton.
Kebijakan Upsus cabai dan bawang
merah juga dilakukan di pasar seperti pengendalian supply dan demand,
pengendalian rekomendasi impor, mendorong ekspor bawang merah,
operasi pasar. Upsus pasar tersebut menghasilkan nilai ekspor
hortikultura naik 5,82% meliputi cabai naik 43,54% dan bawang merah
204,74% dan mampu menstabilkan harga cabai dan bawang di pasaran. Saya
mengapresiasi keberhasilan kerja kita bersama dalam menekan impor dan menaikkan
ekspor hortikultura ini.
Memang
awal tahun 2016, sempat terjadi kenaikan beberapa harga komoditas pangan
khususnya komoditas hortikultura di antaranya cabai dan bawang merah. Kenaikan
ini menimbulkan isu langkanya ketersediaan dua komoditas tersebut. Padahal di
lapangan berlimpah. Mengenai kenaikan harga ini, sebenarnya tidak
dinikmati oleh para petani. Harga di petani berkisar Rp 10 – 15 ribu/kg. Petani
hanya meraih 10 – 20% keuntungan dari hasil tanamnya. Jika di pasar harga
berubah naik menjadi 100% maka hal ini terletak pada mekanisme harga di
tingkat pedagang.
Masalah
pokoknya pada rantai pasok yang terlalu panjang dari petani hingga di konsumen.
Untuk itu saya telah berkoordinasi dengan Kemendag dan Bulog. Supply
chain (rantai pasokan) harus dipotong, semua komoditas. Nanti Bulog
yang beli, nanti kita juga beli. Kementerian Pertanian mendukung, yang biasanya
dari 8 titik menjadi 3 atau 4 titik, artinya kita potong menjadi 50%. Mekanisme
yang terjadi akan berurutan, mulai dari petani. Petani menjual ke Bulog. Bulog
akan jual ke pasar. Dari pasar inilah titik terakhir sampai ke tangan
konsumen. Artinya kita mengangkat harga di tingkat petani, tapi kita menekan
harga di tingkat konsumen.
Seperti
diketahui gejolak harga cabai selalu biasanya terjadi saat memasuki musim
hujan. Untuk mengatasi gejolak harga cabai, terutama saat musim hujan
pemerintah akan mendorong petani menanam cabai saat musim kemarau. Artinya
mengubah pola tanam cabai.
Selama
ini petani cabai menanam pada musim hujan dan panen saat kemarau. Karena jika
menanam cabai pada musim kering, maka petani akan menghadapi kelangkaan
air/sumber air terbatas. Petani juga membutuhkan lebih banyak modal untuk
bisa membangun sumur atau menyewa pompa air. Alasan lainnya adalah biasanya
saat kemarau banyak hama penyakit dan pertumbuhan vegetatif terganggu, sehingga
berpengaruh terhadap daya tahan tanaman. Padahal saat musim hujan serangan
penyakit meningkat seperti virus kuning, fusarium, antraknosa dan lalat
buah. Pada musim hujan, bunga tanaman juga bisa rontok dan buah mudah busuk.
Kecenderungan
petani yang lebih suka menanam cabai pada musim hujan tersebut membuat
harga cabai saat musim hujan naik tinggi. Pola tanam petani cabai harus di
ubah, tidak lagi menanam pada musim hujan tapi saat musim kemarau.
Kementerian
Pertanian mencoba menjaga kestabilan harga cabai, tidak merosot tajam karena
kelebihan pasokan dan begitu juga sebaliknya. Langkah yang coba dilakukan
adalah dengan membuat manajemen pola tanam cabai. Tahun 2016 kita sudah membuat
manajemen baru untuk tanam cabai, termasuk untuk produksi minimal per bulan.
Dalam penetapan manajemen pola tanam cabai tersebut, Kementerian Pertanian
melalui Dirjen Hortikultura telah melakukan pemetaan atau mapping pola tanam,
agar pasokan tidak berlebih yang berdampak jatuhnya harga cabai di pasaran.
Petani
harus melakukan pola tanam yang baik sehingga tidak terjadi kelebihan atau
kekurangan produksi di bulan-bulan tertentu. Peran dinas pertanian dalam hal
ini juga sangat penting untuk mengajak petani mentaati pola tanam, agar menjaga
ketersediaan stok dan harga. Selain itu, Kementerian Pertanian mulai
memprogramkan gerakan tanam cabai musim kemarau untuk di produksi di musim
hujan.
Ini
tentu menjadi tantangan, karena itu program pemerintah adalah membantu
ketersediaan air untuk pertanaman pada musim kemarau dan termasuk juga
memperkenalkan penggunaan teknologi agar saat musim hujan bunga cabai tidak
rontok terlalu banyak.
Gerakan
mengubah pola tanam ini dilakukan dengan menggeser waktu tanam cabai ke musim
kemarau agar ketersediaan cabai dapat dirasakan setiap tahun. Waktu tanam
nantinya pada Juli-Oktober, sehingga panen pada Nopember-Maret. Dengan begitu
kita berharap penghasilan petani jauh lebih tinggi, karena panen cabai terjadi
saat musim hujan.
Untuk
petani yang masih menanam di musim hujan, tentu saja kita juga memiliki
teknologinya mulai dari bagaimana perbaikan saluran pembuangan air, pembuatan
bedengan tanaman yang lebih tinggi, pengaturan jarak tanam yang lebih lebar,
penggunaan mulsa plastik hitam perak, pemantauan perkembangan OPT secara
intensif, pembersihan sekitar areal pertanaman, penggunaan
pestisida sampai penggunaan naungan plastik atau paranet sebagai
pelindung tanaman. Semua ada pedomannya.
Perubahan
iklim, keanekaragaman hayati, dan ketahanan pangan merupakan persoalan yang
terkait satu sama lainnya. Dan harus ditangani secara keseluruhan karena
berpengaruh terhadap usaha tani dan keamanan pangan. Oleh karenanya mengapa
kita membutuhkan inovasi teknologi. Petani kita harus menggunakan teknologi tanam,
dengan menggunakan pupuk berimbang, pemilihan varietas yang adaptif, dan
kalender tanam. Ada penyuluh yang akan memberikan bantuan dan arahan. Saya kira
ini akan semakin mempermudah pekerjaan para petani kita dalam menghadapi
berbagai macam kondisi dan musim.
Sumber : http://tabloidsinartani.com/read-detail/read/ubah-pola-tanam-cabai/