DIOLUHTAN. Data
angka pengangguran BPS tahun-tahun sebelumnya menyebut, ada 7,24 juta orang menganggur di
negeri ini. Meskipun angka itu menunjukkan jumlah pengangguran yang cenderung
terus turun setiap tahun, namun bila dilihat jumlahnya tetap sangat besar.
Bayangkan, dari 121,87 juta potensi tenaga kerja yang ada, ternyata masih ada
7,24 juta orang atau 5,9 persen yang tidak bekerja. Mereka tidak memiliki
penghasilan dan mungkin sedang ‘berjuang’ untuk bisa mendapatkan pekerjaan
sebagai sumber penghasilan. Mungkin mereka masih bisa ‘hidup’ tetapi harus
bergantung pada orang lain.
Yang
menarik, sektor pertanian selalu menjadi ‘penampung’ tenaga kerja terbesar di
negeri ini. Tahun 2014 tercatat sektor pertanian menyerap 40,8 persen dari
jumlah tenaga kerja Indonesia. Artinya, sektor pertanian menjadi sektor ekonomi
yang menjadi tumpuan hidup sebagian besar rakyat. Demikian juga dengan angka
pengangguran, cenderung menumpuk di perkotaan. Tercatat tahun 2014,
pengangguran di kota mencapai 4,26 jiwa, sementara di desa hanya 2,9 juta jiwa.
Hal ini menunjukkan, lebih banyak orang bisa bekerja di pedesaan daripada di
perkotaan.
Fakta
di lapangan menunjukkan fenomena tingginya serapan tenaga kerja di pedesaan.
Saat ini banyak petani dan pemilik lahan pertanian kesulitan mendapatkan tenaga
kerja penggarap aktivitas pertanian. Tenaga kerja untuk mengolah tanah, menanam
bibit, menyiangi tanaman hingga panen dan mengelola pasca panen sangat sulit
didapat. Banyak petani harus antri untuk mendapatkan tenaga kerja penggarap
sawah, agar tidak ‘kehabisan’ tenaga kerja. Kalau pun ada mereka harus rela
membayar mahal agar bisa bersaing dengan petani lainnya.
Pengalaman
para petani di kawasan Kediri, Madiun, Nganjuk, Ngawi di Jawa Timur bisa
menjadi potret dari kondisi tenaga kerja di pedesaan. Untuk menanam padi hingga
panen mereka harus memesan pada ‘broker’ agar bisa mendapatkan tenaga kerja.
Pemesanan harus dilakukan jauh hari agar tidak kalah cepat dengan petani lain.
Karena keterbatasan tenaga kerja, para broker harus mendatangkan tenaga kerja
dari berbagai wilayah lain. Ada yang menyiasati dengan teknologi tanam dan
panen padi yang lebih hemat tenaga kerja, namun belum banyak tersebar di wilayah
tersebut.
Selain
semakin sulit mendapat tenaga kerja, para petani juga harus membayar mahal
tenaga kerja yang mereka butuhkan. Tenaga kerja pria mendapat honor Rp 25.000
untuk bekerja dari jam 07.00 sampai jam 10.00. Kalau sehari penuh bekerja
sampai jam 16.00 honor yang harus dibayar petani sebesar Rp 75.000. Jumlah itu
belum termasuk uang untuk makan siang, kopi dan rokok. Dijumlah total untuk
satu orang pekerja petani harus membayar Rp 100.000 per hari. Artinya, selain
sulit mendapat tenaga kerja, para petani juga harus menanggung beban biaya
tenaga kerja lebih mahal.
sumber : www.tabloidsinartani.com