DIOLUHTAN. Malvin Tofler dalam buku 'The Third Wave' yang sangat terkenal
pernah meramalkan, di masa depan (abad 20-21) ada empat teknologi yang akan
sangat berperan, yaitu mikroelektronika, teknologi energi alternatif,
aeronautika dan bioteknologi.
Ramalan Tofler pada tahun 1980-an tersebut sebagian besar sudah mendekati
kenyataan. Bioteknologi berkembang sangat pesat bahkan dalam beberapa hal
dianggap melewati batas-batas etika. Dalam industri peternakan di mana ternak
dipandang sebagai industri biologis, peran bioteknologi sangat penting.
Sebagai suatu industri yang bergerak dari sektor hulu sampai hilir, peran
bioproses dan teknologi proses sangat penting. Bahkan menjadi pilar utama untuk
menopang efisiensi produksi, efisiensi ekonomi, dan efisiensi lingkungan (eco-efficiency)
yang menjadi tujuan utama industri peternakan.
Jika bioteknologi berkembang sangat pesat, maka tidak demikian halnya
dengan teknologi energi alternatif. Pengembangan dan pemanfaatan energi
alternatif, khususnya di bidang peternakan masih terbatas. Aplikasi
radioaktivitas dan radiasi pengion walaupun telah lama ditemukan, namun
secara umum penggunaannya di bidang peternakan masih relatif terbatas.
Di masa depan, pengembangan bioteknologi khususnya teknologi bioproses
akan sangat diwarnai dengan penggunaan teknologi energi alternatif, misalnya
dalam pengendalian bioproses dan sistem bioreaktor.
Instrumentasi dan sensor untuk pemantauan dan pengendalian bioproses akan
sangat efektif dan efisien dengan semakin meningkatnya pengembangan teknologi
nuklir di bidang pangan.
Sampai saat ini, produk pangan yang memanfaatkan bioteknologi dan
radioaktivitas atau radiasi pengion pada dasarnya masih memiliki kendala
yang sama, yaitu masih adanya keragu-raguan konsumen terhadap keamanan produk
pangan yang menggunakan teknologi tersebut. Selain itu, teknologi yang
dipergunakan masih dianggap belum ekonomis.
Rentan rusak
Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi semua umat manusia. Dalam UU No.
7/1996 tentang pangan dinyatakan, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang
pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber
daya manusia berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional.
Pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam, dan tersedia secara cukup
merupakan persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya
suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan,
serta dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Upaya pemenuhan amanah peraturan perundangan tersebut kenyataannya memang
tidak mudah. Ketahanan pangan nasional sangat rentan, antara lain karena sistem
pangan tidak diimbangi dengan produktivitas yang baik dan tingginya tingkat
kerusakan bahan pangan. Akibatnya? Keamanan pangan kita (termasuk produk
peternakan) masih harus ditingkatkan dan sebagian besar tidak cukup kompetitif
dengan produk luar.
Sebagai contoh, derajat mastitis subklinis pada sapi perah yang
sangat tinggi (diperkirakan 80%), mengakibatkan jumlah mikroba dalam air susu
masih di atas persyaratan normatif Codex Alimentarius. Di pasar
tradisional, hanya dalam waktu 2 jam setelah pemotongan, maka jumlah
mikroorganisme dalam daging ayam dapat mencapai 10 pangkat enam per gr/ml.
Kebiasaan ibu-ibu rumah tangga untuk memasak terlebih dahulu bahan pangan
tersebut memiliki andil yang sangat besar dalam menyelamatkan keluarga dari
ancaman mikroorganisme patogen.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi masalah keamanan
pangan. Kerusakan dan rendahnya keamanan pangan masih merupakan masalah besar
di setiap belahan dunia. Terutama di negara tropis, kondisi agriklimat sangat
mendorong percepatan pertumbuhan mikroorganisme, sehingga mengakibatkan
tingginya kerusakan produk pangan. FAO/WHO memperkirakan kehilangan akibat
pencemaran dan kerusakan pada berbagai produk pangan bervariasi antara 10%
hingga 50%.
Bukan hanya produk pangan asal ternak yang relatif mudah rusak sehingga
memerlukan penanganan dan pengolahan yang baik, tapi juga pada industri makanan
ternak. Pakan ternak dalam bentuk pellet, kubus dan lain-lainnya relatif mudah
rusak karena serangan jamur. Akibatnya toksin (racun) yang ada di
dalamnya menjadi ancaman bagi produktivitas ternak.
Kerusakan bahan pakan masih menjadi faktor pembatas dalam penyimpanan dan
penggunaan bahan pakan tersebut di samping kualitas zat gizi dan palatabilitas
ransum yang rendah.
Di berbagai negara, daging dan hasil olahannya ditengarai berperan
relatif besar dalam masalah infeksi penyakit Colibasilosis, Listeriosis,
Trichinosis, dan Toksoplasmosis. Begitu pula racun dari bakteri Clostridium
perfringens dan Clostridium botulinum.
Di Indonesia tidak ada data tentang hal tersebut, namun diperkirakan
biaya perawatan medis dan kehilangan produktivitas akibat penyakit tersebut
cukup besar.
Aplikasi teknologi nuklir
Iradiasi pangan pada awalnya merupakan salah satu metode dalam pengawetan
bahan pangan. Pada perkembangannya, metode penyinaran terhadap pangan, baik dengan
menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya
pembusukan, kerusakan, dan membebaskan pangan dari jasad renik patogen, semakin
meluas penggunaannya. Jadi, tidak semata-mata untuk pengawetan bahan pangan.
Melalui radiasi pengion yang terukur dan tepat, maka kerusakan
pangan dan pencemaran oleh mikroorganisme khususnya bakteri koliform dan
bakteri Gram negatif lainnya yang sering menyebabkan keracunan dapat
dihindari.
Iradiasi bahan pangan pada awalnya menggunakan elektromagnetik tertentu
yaitu energi dari radiasi pengion Sinar-X yang ditemukan oleh W.K.
Roentgen pada tahun 1895. Radioaktivitas dan radiasi pengion lainnya
adalah sinar Alfa, Beta dan Gamma.
Istilah radiasi pengion digunakan untuk ketiga sinar tersebut, di
mana saat menghantam materi atau bahan akan menyebabkan terjadinya partikel
bermuatan listrik yang disebut ion. Radiasi pengion tersebut dapat
membunuh mikroorganisme (bakteri, kapang dan khamir), bahkan juga mengurangi
risiko parasit seperti Trichinella spiralis dan lain-lainnya.
Iradiasi bahan pangan relatif lamban perkembangannya terutama karena
faktor ekonomis. Sumber sinar gamma seperti Cobalt-60 telah mendorong
penggunaan iradiasi sebagai alternatif pengembangan keamanan pangan produk
peternakan.
Penggunaan iradiasi pada produk peternakan terutama pada daging beku dan
susu telah dilakukan di beberapa negara termasuk di Indonesia. Namun kendala
utama masih terbatas pada sejauh mana modifikasi mesin, jenis dan harga
radionuklida yang digunakan dapat efisien dan efektif menembus cukup dalam pada
bahan yang akan di iradiasi. Pada bahan pangan, dosis radiasi yaitu jumlah
energi radiasi yang diserap ke dalam bahan pangan merupakan faktor kritis
proses iradiasi. Sinar Gamma sebenarnya memiliki kriteria untuk mengatasi
hal tersebut.
Jumlah energi diserap yang dinyatakan dalam gray (Gy) yaitu energi
yang dihasilkan radiasi pengion yang diserap bahan per satuan massa
sebaiknya sesuai dengan anjuran Komisi Codex Alimentarius FAO/WHO, yaitu
tidak boleh melebihi 10 kGy dan tergantung pada jenis pangan dan efek yang
diinginkan.
Suatu jumlah yang sebenarnya sangat kecil karena hanya setara dengan
jumlah panas yang diperlukan untuk meningkatkan suhu air 2,4 derajat Celsius.
Melalui proses ini, pangan tidak banyak berubah secara fisik dan aman untuk
dikonsumsi oleh manusia. Penetapan dosis tersebut telah diteliti di banyak
negara dan hasilnya menurut FAO/IAEA/WHO tidak diketemukan efek karsinogenik
dan efek toksik lainnya.
Saat ini, kekhawatiran konsumen terhadap produk iradiasi masih relatif
tinggi dan cukup beralasan. Iradiasi menggunakan sinar Gamma pada daging
ayam beku menggunakan dosis 58kGy atau hampir 6 kali lipat dari dosis yang
disarankan FAO/WHO ternyata tidak dijumpai efek buruk. Meskipun demikian
penelitian lain menunjukkan, susu dan hasil olahannya yang diiradiasi dengan
dosis 0,1 kGy menimbulkan bau yang tidak disukai konsumen. Begitu pula iradiasi
pada daging tak berlemak menimbulkan perubahan aroma dan rasa yang tidak
diinginkan.
Warna adalah sifat daging yang juga berubah karena iradiasi. Penggunaan
iradiasi dengan dosis lebih tiggi dari 1,5 kGy mengakibatkan timbulnya warna
coklat bila daging terkena udara. Dosis 2-7 kGy sudah cukup untuk membasmi
organisme patogen pada daging, telur, dan udang.
Metode pengolahan dan pemasakan pangan pada umumnya cenderung
mengakibatkan kehilangan zat gizi. Pada proses iradiasi dengan dosis rendah
sampai 1 kGy, kehilangan zat gizi pangan sangat rendah. Sedangkan dosis 1-10
kGy kehilangan vitamin dapat terjadi pada pangan yang terkena udara selama
iradiasi atau penyimpanan dan pada dosis tinggi 10-50 kGy, kehilangan vitamin
dapat dikurangi dengan upaya perlindungan radiasi pada suhu rendah dan
menghilangkan oksigen selama pengolahan dan penyimpanan.
Beberapa vitamin yaitu riboflavin, niasin dan vitamin D tidak
begitu peka terhadap iradiasi. Sedangkan vitamin A, B, B1, E dan K relatif
mudah rusak, oleh karenanya perlu pertimbangan dalam penentuan dosis.
Pengaruh iradiasi terhadap perkembangan mikrooganisme telah banyak
dibuktikan oleh para peneliti. Hanya saja bakteri yang berspora atau spora
bakteri memerlukan dosis yang lebih tinggi. Banyak juga kalangan yang khawatir
terhadap kemungkinan berkembangnya bakteri yang tahan terhadap radiasi atau
kemungkinan munculnya mikroorganisme mutan. Mikroorganisme mutan dikhawatirkan
sulit diberantas dengan berbagai metode pengolahan pangan atau tidak dapat
diatasi oleh sistem kekebalan tubuh. Risiko tersebut sebenarnya relatif kecil,
karena mikroorganisme yang selamat dari radiasi banyak dalam keadaan rusak,
susah tumbuh selama masa penyimpanan, dan mudah mati oleh pemasakan. WHO telah
menegaskan, bahan pangan iradiasi yang dihasilkan dengan berpedoman pada Good
Manufacturing Practices dinyatakan aman dan kualitasnya terjamin.
Ada dua bidang peternakan yang memiliki relevansi cukup tinggi untuk
pengembangan dan aplikasi teknologi nuklir yaitu industri makanan ternak
misalnya untuk meningkatkan kualitas bahan pakan, mengurangi kerusakan bahan
pakan, memperpanjang umur simpan ransum, teknologi proses dan bioproses dalam
pembuatan pakan dan enzim, serta mengetahui laju zat makanan di dalam saluran
pencernaan ternak, dan meningkatkan keamanan, dekontaminasi, mengurangi
infestasi insekta, dan memperpanjang masa simpan produk pangan asal ternak dan
produk olehannya seperti daging, telur dan susu.
Teknologi iradiasi pangan produk peternakan dan hasil olahannya merupakan
suatu paket terintegrasi, mulai dari penanganan produk sampai dikemas, sehingga
sangat cocok untuk dikembangkan pada sektor industri daging dan susu. Sangatlah
penting untuk memastikan, tingkat dosis yang diberikan tidak mengakibatkan
pangan, kemasannya, atau peralatan sarana iradiasi menjadi zat radioaktif yang
tidak terkontrol.
Beberapa perusahaan terkemuka di bidang iradiasi produk pangan sekarang
mengembangkan teknologi baru misalnya Rhodotron machine dan Intelli
Beam System dari Mitec (Gambar. 2). Sistem Barcode yang dikembangkan
dalam teknologi tersebut selain mampu secara efektif membunuh mikroorganisme,
juga dapat mendeteksi kontaminasi fisik secara lebih baik.
Karakteristik industri peternakan yang masih banyak mengandalkan bahan
segar adalah alasan utama mengapa peluang pengembangan teknologi iradiasi
sangat terbuka lebar dibanding cara konvensional seperti penggaraman,
pengasapan, pengeringan, fermentasi dan pembekuan.
Namun demikian input teknologi nuklir termasuk iradiasi memerlukan
persiapan yang baik, khususnya SDM dan peralatan yang akan digunakan karena
berkaitan dengan keamanan. Standar penyelenggaraan dan keamanan untuk iradiasi
produk pangan harus memenuhi standar internasional, sesuatu yang saat ini masih
sangat sulit dijalankan di Indonesia.
Laboratorium khusus untuk melakukan pengujian dosimetri untuk memastikan
terpenuhinya standar keamanan dan persyaratan pengawasan mutu masih harus
ditumbuhkembangkan. Rancangan perangkat peralatan iradiasi yang sesuai dengan
kebutuhan pasar domestik masih sulit diperoleh, sementara anggaran pemerintah
untuk mendorong dan memacu penelitian di bidang ini tampaknya masih sangat
terbatas.
Dalam Codex General Standard for Irradiated Foods (Codex
Alimentarius Commission, 1984), disyaratkan perlakuan iradiasi pada bahan
pangan harus dilakukan dengan fasilitas berlisensi dari otoritas yang berkompeten.
Fasilitas tersebut harus aman, efisien, dan mengikuti pedoman Good Hygienic
Practices untuk pengolahan bahan pangan.
Selain itu, harus didukung oleh tenaga terlatih, professional, dan
kompeten. Sarana iradiasi yang telah mendapat izin untuk mengiradiasi harus
mendapat pengawasan dan pemeriksaan mutu serta pengendalian keamanan secara
tepat dan teratur. Pada dasarnya mutu dan keamanan pangan produk hasil ternak
dan olahannya tidak dapat dikenali dengan panca indera.
Oleh karena itu, satu-satunya cara agar konsumen mengetahui dengan pasti
produk pangan iradiasi adalah dengan menyertakan label hijau yaitu lambang
untuk menunjukkan bahwa produk pangan tersebut diiradiasi (Gambar. 3). Melalui
pencantuman label pada produk dan sosialisasi, maka diharapkan konsumen akan
menentukan pilihannya atas dasar pertimbangan dengan pengetahuan yang
memadai.***
Dwi Cipto Budinuryanto, Drh., M.S dan Dr. Iwan Setiawan
Dosen Fakultas Peternakan Unpad.