DIOLUHTAN-suluhtani. Wakil
Presiden Jusuf Kalla (JK) saat menghadiri Rapat Koordinasi Ketahanan Pangan, 16 September lalu memberikan empat strategi jangka pendek untuk menjaga program swasembada pangan
kepada Menteri Pertanian, yakni memperbaiki kualitas benih, memberi pupuk tepat
waktu, rehabilitasi irigasi, dan memberi penyuluhan kepada petani.
Bahkan
Wapres mengatakan cuma empat hal itu saja tugas Menteri Pertanian, tak ada cara
lain dalam menjaga produktivitas hasil pertanian. Kementerian Pertanian diminta untuk
meningkatkan produksi melalui intensifikasi secara menyeluruh, meliputi: perbaikan kualitas benih, pemerataan
distribusi pupuk, serta memperkuat jaringan penyuluh.
Penyuluhan
kepada petani dijadikan JK sebagai salah satu hal dari empat strategi untuk bisa meraih swasembada pangan dalam
jangka pendek. Apa yang disampaikan JK mengingatkan kita kepada sejarah panjang
Indonesia mengupayakan peningkatan produksi pangan. Sebelum digulirkannya program Bimbingan
Massal (Bimas) dan Intensifikasi Massal (Inmas), pemerintah pernah melibatkan
tentara dalam meningkatkan produksi padi.
Pada
era tahun 70-an, pemerintah mengangkat puluhan ribu penyuluh pertanian lapangan
(PPL) untuk melakukan bimbingan massal dan intensifikasi massal, hingga
akhirnya pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras. Munculnya program
otonomi daerah pada era tahun 1990-an, program Bimas dan Inmas tidak lagi bisa
dipertahankan. Penyuluhan yang sentralistik pun ditiadakan. Urusan penyuluhan
diserahkan kepada daerah.
Baca Pula : JK : Tingkatkan Kinerja Penyuluh untuk Dukung Intensifikasi
Kementan pun melakukan otonomisasi penyuluhan pada era 90-an. Sayangnya kesiapan daerah dan sistem penyuluhan yang berbasis otonomi belum siap. Akibatnya penyuluhan untuk petani mengalami stagnasi. Petani kehilangan teman untuk berbicara dan mengembangkan usaha taninya serta meraih kesejahteraannya.
Baca Pula : JK : Tingkatkan Kinerja Penyuluh untuk Dukung Intensifikasi
Kementan pun melakukan otonomisasi penyuluhan pada era 90-an. Sayangnya kesiapan daerah dan sistem penyuluhan yang berbasis otonomi belum siap. Akibatnya penyuluhan untuk petani mengalami stagnasi. Petani kehilangan teman untuk berbicara dan mengembangkan usaha taninya serta meraih kesejahteraannya.
Pada
era tahun 2000-an, tepatnya tahun 2006 telah lahir UU No. 16 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). UU ini diharapkan bisa
menata kelembagaan penyuluhan di daerah, sistem penyuluhan, programa penyuluhan
dan meningkatkan kualitas penyuluh di daerah agar petani memiliki teman untuk
meningkatkan produksi dan kesejahteraannya.
Sayangnya,
hingga kini UU No.16/2006 tentang SP3K itu belum bisa diterapkan secara
sempurna, karena masih adanya ego sektoral di dalam lingkungan Kementerian
Pertanian maupun antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Dalam Negeri.
Adalah tugas Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman untuk melakukan harmonisasi
agar kejayaan sistem penyuluhan di era Bimas dan Inmas pada saat pemerintahan
masih desentralisasi bisa dijalankan dalam kondisi otonomisasi. Untuk itu,
tentulah perlu pendekatan penyuluhan yang berbeda, yakni penyuluhan yang lebih
partisipatif dan berbasis lokal spesifik.