DIOLUHTAN. Hypocalcaemia dapat disebut juga paresis puerpuralis,
milk fever, calving paralysis, parturient paralysis, parturient apoplexy adalah penyakit metabolisme pada hewan yang terjadi pada
waktu atau segera setelah melahirkan yang manifestasinya ditandai dengan
penderita mengalami depresi umum, tak dapat berdiri karena kelemahan bagian
tubuh sebelah belakang dan tidak sadarkan diri (Hardjopranjoto 1995).
Hypocalcaemia yaitu
suatu kejadian kelumpuhan yang terjadi sebelum, sewaktu atau beberapa jam
sampai 72 jam setelah partus (Achjadi tidak dipublikasikan). Biasanya kejadian ini menyerang sapi pada masa
akhir kebuntingan atau pada masa laktasi. Kasus ini sering dialami sapi
yang sudah melahirkan yang ketiga kalinya sampai yang ketujuh (Girindra
1988). Tetapi di beberapa daerah ternyata penyakit ini ditemui juga pada
sapi-sapi dara yang produksi tinggi dan terjadi ditengah-tengah masa laktasi.
Hardjopranjoto (1995) mengatakan bahwa biasanya kasus ini terjadi pada sapi
perah setelah beranak empat kali atau lebih tua, jarang terjadi pada induk yang
lebih muda atau sebelum beranak yang ketiga. Subronto (2001) mengatakan
bahwa beberapa kejadian disertai syndrom paresis yang terjadi dalam beberapa
minggu atau beberapa bulan sesudah melahirkan. Pada kasus yang ditemukan
dilapangan terjadi pada sapi perah yang melahirkan ketiga, tetapi berdasarkan
anamnese (cerita) dari pemiliknya pada partus yang kedua juga pernah mengalami
kasus ini.
Ditinjau dari bangsa sapi, bangsa Jersey paling sering
menderita penyakit ini disusul kemudian sapi Holstain Frisian dan bangsa sapi
yang lain. Di negara yang maju peternakan sapi perahnya kejadian penyakit
mencapai 3-10% dan kadang-kadang di dalam satu peternakan dapat berupa sebagai
suatu wabah dengan angka kejadian mencapai 90% dari populasi sapi
perah dikelompoknya. Kasus ini dapat bersifat habitualis artinya
penyakit paresis puerpuralis ini pada induk sapi dapat terulang pada partus
berikutnya.
Penyebab yang jelas belum ditemukan, tetapi biasanya ada
hubungannya dengan produksi yang tinggi secara tiba-tiba pada sapi yang baru
melahirkan. Sapi yang menderita penyakit ini di dalam
darahnya dijumpai adanya hipocalcaemia yaitu penurunan kadar kalsium yang cepat
di dalam serum darah penderita (Hardjopranjoto 1995; Girindra 1988; Fraser 1991; Wondonga 2002; Carlton 1995).
Subronto (2001) mengatakan bahwa dahulu
gangguan ini diduga disebabkan oleh adanya bendungan pada sistem syaraf,
alergi, penyakit neuro muskuler, penyakit keturunan, penyakit ketuaan, penyakit
infeksidan penyakit defisiensi makanan yang menyangkut kalsium, fosfor, vitamin
A, vitamin D dan protein. Pada keadaan normal kadar Ca dalam darah adalah
9-12 mgram persen. Pada keadaan subklinis kadar Ca dalam darah 5-7 mgram
persen dan pada kejadian hypocacaemia kadar ion Ca dalam
darah 3-5 mgram persen. Girindra (1988) mengatakan bahwa jumlah kalsium
yang terdapat dalam darah dan cairan ekstra sel hanya kira-kira 8 gram,
sedangkan untuk keperluan laktasi dalam satu hari dibutuhkan 3 x jumlah
itu. Jadi kekurangan kalsium jelas merupakan predisposisi kejadian
hypocalcaemia.
Dalam kenyataannya hypocalcaemia sering diikuti dengan
hipofosfatemia, hipermagnesemia atau hipomagnesemia dan hiperglicemia.
Penurunan kadar kalsium dan posfor ini adalah sebagai akibat dari pemakaian
mineral terutama kalsium dan posfor secara besar-besaran untuk sintesa air susu
dalam ambing dalam bentuk kolostrum secara tiba-tiba menjelang kelahiran.
Subronto (2001) mengatakan bahwa adanya hypocalcaemia akan diikuti oleh
perubahan kadar fosfor dan gula dalam darah. Kadar fosfor plasma yang
rendah diakibatkan oleh penurunan penyerapan fosfor anorganik dari usus.
Mungkin pula disebabkan oleh meningkatnya sekresi parathormon, hingga ekskresi
fosfor meningkat. Pada sapi yang baru melahirkan terbukti kadar hormon
tersebut meningkat, sebanding dengan penurunan kadar fosfat di dalam
darahnya. Kenaikan parathormon akan diikuti oleh kenaikan pembongkaran
kalsium dalam tulang, yang dalam hal ini dapat dilihat dari ada tidaknya
kenaikan hidroksi prolin di dalam kemih. Hidroksi prolin merupakan hasil
pemecahan kalogen.
Dalam hal ini kadar magnesium dalam serum darah
mempengaruhi gejala yang timbul pada sapi perah. Jika kadar
magnesium dalam serum normal atau lebih tinggi maka gejala tetani dan eksitasi
akibat hipocalcaemia akan diikuti oleh relaksasi, otot lemah, depresi dan
koma. Jika kadar magnesium rendah dalam serum maka akan terlihat
kekejangan selama beberapa waktu. Berkurangnya kadar magnesium dalam
plasma darah disebabkan oleh beberapa faktor antara lain karena pembebasan
magnesium bersama air susu yang besarnya 0.1 g dan berkurangnya penyerapan
magnesium lewat dinding usus.
Gangguan terhadap metabolisme karbohidrat juga dapat
menyebabkan berkurangnya kadar magnesium dalam plasma darah. Bila kadar
magnesium dalam serum hewan yang menderita hypocacaemia tidak menurun atau
lebih tinggi maka gejala eksitasi dan tetani akan segera diikuti oleh
relaksasi. Otot-otot kelihatan melemah, depresi dan pada akhirnya
koma. Perbandingan Ca:Mg bisa berubah dari 6:1 menjadi 2:1 dan dalam
perbandingan ini efek narkase magnesium nyata dapat dilihat.
Hypocalcaemia dapat menghambat ekskresi insulin sehingga
pada kasus ini biasanya selalu diikuti kenaikan kadar glukosa darah (Girindra
1988). Subronto (2001) mengatakan bahwa kenaikan moderat kadar glukosa
dalam darah (hiperglisemia) dijumpai pada sapi yang baru melahirkan dan hewan
tidak memperlihatkan gejala klinis. Pada sapi yang menderita paresis
berat kadar glukosanya dapat mencapai 160 mg/dl. Hal ini disebabkan oleh
terhambatnya sekresi insulin oleh karena turunnnya kadar kalsium darah.
Selain itu hyperglisemia juga dapat disebabkan oleh meningkatnya produksi
hormon glukagon yang dihasilkan oleh sel A dari pankreas dan berfungsi untuk
menaikkan kadar glukosa darah serta meningkatkan pembongkaran glikogen hati.
Glukagon juga mampu merangsang enzim adenil siklase
di dalam hati, hingga proses glikogenolisis ditingkatkan dan menghambat sintesa
glikogen dari UDP-glukosa (UDP, uridin difosfat). Kadang-kadang dalm milk
fever juga terjadi penurunan kadar potassium. Penurunan kadar ion K
tersebut sebanding dengan lamanya sapi tidak dapat berdiri. Makin lama
berbaring makin besar penurunan ion K. Sapi yang terlalu lama berbaring
oleh rusaknya sel-sel otot akan diikuti kenaikan kadar SGOT. Pada kasus milk
fever kadang-kadang kenaikan enzima tersebut mencapai 10%. Kemungkinan faktor
genetis yang berhubungan dengan produksi susu yang tinggi merupakan penyebab
lain dari penyakit paresis puerpuralis. Pada sapi perah yang pernah
menderita penyakit ini dapat menurunkan anak yang juga mempunyai bakat
menderita paresis puerpuralis.
Paresis puerpuralis biasanya terjadi 18-24 jam post
partus. Akan tetapi dari laporan bahwa penyakit ini dapt juga terjadi
beberapa jam sebelum partus atau beberapa hari setelah partus. Penyakit
ini juga dapat terjadi pada induk sapi yang mengalami kelahiran yang sukar (dystokia)
karena kurangnya kekuatan untuk mengeluarkan fetus. Kasus yang terjadi di
lapangan mulai terjadi sejak dua minggu post partus dan sapi benar-benar ambruk
baru lima hari.
Hardjopranjoto (1995) mengatakan bahwa ada beberapa
teori, mengapa sapi perah yang baru melahirkan dan produksi susu tinggi sering
terjadi hipocalcaemia sehingga mendorong terjadinya kasus paresis puerpuralis.
a. Hormon parathyroid yang kadarnya mengalami penurunan
dalam darah (defisiensi), karena stres kelahiran dapat mengganggu
keseimbangan mineral dalam darah khususnya kalsium disusul adanya hipokalcaemia
dan selanjutnya timbul kasus paresis puerpuralis. Berkurangnya aktivitas
parathormon pada saat kelahiran disebabkan oleh defisiensi vitamin D.
b. Stres melahirkan menyebabkan hormon
tirokalsitonin yang mengatur glukosa usus dalam menyerap mineral kalsium dari
pakan menurun dan mempengaruhi kadar kalsium dalam darah. Bila hormon
tirokalsitonin menurun dapat diikuti menurunnya kadar kalsium dalam
darah. Hormon tirokalsitonin atau kalsitonin dihasilkan oleh sel
ultimobranchial C dari kelenjar tiroid.
c. Waktu proses kelahiran, kalsium dibutuhkan
terlalu banyak oleh air susu, khususnya dalam kolostrum. Kebutuhan ini
dapat dicukupi dari ransum pakan ternak, dari tulang dalam tubuh induk atau
dari darah. Rendahnya penyerapan kalsium dalam ransum pakan atau absorbsi
kalsium dalam saluran pencernaan, dapat disebabkan adanya gangguan pada dinding
usus. Penurunan nafsu makan pada induk yang sedang bunting
mengakibatkan masuknya bahan pakan menurun, menyebabkan penyediaan kalsium
dalam alat pencernaan yang rendah diikuti oleh penyerapan kalsium juga
rendah. Daya menyerap dinding usus terhadap kalsium dapat menurun pada
induk sapi yang sudah tua. Pada sapi yang masih muda 80% kalsium dalam
usus dapat diserap, makin tua umurnya makin menurun daya serap usus terhadap
kalsium, karena pH usus yang tinggi dan kadar lemak yang tinggi dalam makanan
dapat menghambat penyerapan kalsium. Pada sapi yang sudah tua, penyerapan
kalsium hanya mencapai 15% dari kalsium yang ada dalam pakan.
d. Persediaan kalsium dalam tulang yang dapat
dimobilisasi, bervariasi menurut umur sapi. Pada anak sapi, 6-20%
kebutuhan normal akan kalsium dapat disediakan oleh tulang, sedang pada sapi
yang telah tua kemampuan tulang dalam menyediakan kalsium hanya 2-5%.
e. Vitamin D berperan dalam menimbulkan kasus
paresis puerpuralis. Gangguan terhadap produksi pro vitamin D dalam tubuh
dapat mengurangi tersedianya vitamin D dan dapat mendorong terjadinya
penyakit ini, karena vitamin D mengatur keseimbangan kalsium dan posfor dalam
tubuh dan proses deposisi atau mobilisasi kalsium dari tulang yang masih
muda. Vitamin D yang aktif di dalam metabolisme kalsium dan fosfor adalah
vitamin D3 (25-Hydroxycholecalciferol).
f. Hormon estrogen dan steroid yang lain baik
yang dihasilkan oleh plasenta maupun kelenjar adrenal bagian korteks dapat
menurunkan penyerapan kalsium dari usus atau mobilisasi kalsium dari tulang
muda. Pada sapi bunting aktifitas estrogen plasma meningkat sampai satu
bulan sebelum melahirkan. Peningkatan berlangsung dengan cepat satu
minggu sebelum melahirkan untuk kemudian menurun tajam 24 jam sebelum
melahirkan.
Hardjopranjoto (1995) mengatakan bahwa ada beberapa
faktor yang mempermudah terjadinya paresis puerpuralis yaitu :
a. Produksi susu
tinggi. Sapi perah
yang mempunyai produksi susu yang tinggi membutuhkan kalsium dari darah untuk
produksi susu yang tinggi. Akibatnya kadar kalsium dalam darah dalam
waktu singkat menjadi rendah (hypocalcaemia), diikuti gejala paresis
puerpuralis.
b. Umur. Produksi susu secara normal, grafiknya akan meningkat
mulai laktasi keempat sampai umur-umur berikutnya dan diikuti dengan kebutuhan
kalsium yang meningkat pula. Sedangkan kemampuan mukosa usus untuk
menyerap kalsium makin tua umurnya makin menurun.
c. Nafsu makan. Pada kira-kira 8-16 jam sebelum partus induk sapi
akan menurun nafsu makannya swampai pada tidak mau makan sama sekali. Hal
ini mengakibatkan persediaan kalsium dalam pakan yang siap dicerna menjadi
menurun, akibatnya kekurangan kalsium diambil dari darah sehingga kalsium dalam
darah menjadi turun dan diikuti oleh hypocalcaemia. Penurunan nafsu makan
mungkin juga disebabkan meningkatnya kadar estrogen dalam darah pada fase
terakhir dari kebuntingan menjelang terjadinya kelahiran. Keadaan ini dapat
mengganggu keseimbangan kalsium dalam tubuh sehingga kadar kalsium dalam darah
merosot dari keadaan normal yaitu 9-12 mgram persen menjadi 4-5 mgram
persen.
d. Ransum makanan. Ransum yang baik adalah bila imbangan antara Ca dan
P mempunyai perbandingan 2 dan 1. Ransum pakan semacam ini adalah ransum
yang dianjurkan sapi untuk sapi perah menjelang partus. Sapi bunting tua
yang diberi ransum kaya akan Ca dan rendah P cenderung mengalami paresis
puerpuralis sesudah melahirkan.
Pada
awal penyakit hewan mula-mula terlihat gelisah, ketakutan dan nafsu makan
menghilang. Kemudian terlihat gangguan pengeluaran air kemih dan
tinja. Kadang-kadang terlihat tremor dan hipersensitivitas urat daging di
kaki belakang dan kepala (Girindra 1988). Hardjopranjoto (1995)
mengatakan gejala pertama yang terlihat pada penderita dalah induk sapi
mengalami sempoyongan waktu berjalan atau berdiri dan tidak adanya koordinasi
gerakan dan jatuh. Biasanya hewan itu selalu berusaha untuk berdiri.
Matanya mejadi membelalak dan pupilnya berdilatasi,
kelihatan anoreksi, moncongnya kering dan suram, hewan tidak peka terhadap
sakit dan suara, suhu rektal umumnya sub normal walaupun terkadang masih dalam
batas normal, rumen dan usus mengalami atoni, anggota badan dingin, denyut
jantung meningkat, defekasi terhambat dan anus relaksasi. Bila pengobatan
ditunda beberapa jam kemudian induk berubah menjadi tidak sadarkan diri dan
kalau tidak ada pertolongan hewan bertambah depresi urat daging melemah dan
berbaring dengan posisi lateral (tahap komstose). Hewan tidak dapat
bangun lagi dan akibat gangguan berbaring terus terjadi timpani. Pulsa
meningkat (sampai lebih dari 120 x), pupil mata berdilatasi, kepekaan
terhadap cahaya menghilang dan akhirnya beberapa jam terjadi kematian.
Subronto
(2001) mengatakan bahwa gambaran klinis milk fever yang dapat diamati
tergantung pada tingkat dan kecepatan penurunan kadar kalsium di dalam
darah. Dikenal 3 stadia gambaran klinis yaitu stadium prodromal,
berbaring (rekumbent) dan stadium koma.
1. Stadium 1 (stadium
prodromal).
Penderita jadi gelisah dengan ekspresi muka yang tampak beringas. Nafsu
makan dan pengeluaran kemih serta tinta terhenti. Meskipun ada usaha
untuk berak akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil. Sapi mudah
mengalami rangsangan dari luar dan bersifat hipersensitif. Otot kepala
maupun kaki tampak gemetar. Waktu berdiri penderita tampak kaku, tonus
otot alat-alat gerak meningkat dan bila bergerak terlihat inkoordinasi.
Penderita melangkah dengan berat, hingga terlihat hati-hati dan bila dipaksa
akan jatuh, bila jatuh usaha bangun dilakukan dengan susah payah dan mungkin
tidak akan berhasil.
2. Stadium 2 (stadium
berbaring/recumbent).
Sapi sudah tidak mampu berdiri, berbaring pada sternum dengan kepala mengarah
ke belakang hingga dari belakang seperti huruf S. Karena dehidrasi kulit
tampak kering, nampak lesu, pupil mata normal atau membesar dan tanggapan
terhadap rangsangan sinar jadi lambat atau hilang sama sekali. Tanggapan
terhadap rangsangan rasa sakit juga berkurang, otot jadi kendor, spincter ani
mengalami relaksasi, sedang reflek anal jadi hilang dengan rektum yang berisi
tinja kering atau setengah kering. Pada stadium ini penderita masih mau
makan dan proses ruminasi meskipun berkurang intensitasnya masih dapat
terlihat. Pada tingkat selanjutnya proses ruminasi hilang dan nafsu makan
pun hilang dan penderita makin bertambah lesu. Gangguan sirkulasi yang
mengikuti akan terlihat sebagai pulsus yang frekuen dan lemah, rabaan pada alat
gerak terasa dingin dan suhu rektal yang bersifat subnormal.
3. Stadium 3 (stadium
koma). Penderita
tampak sangat lemah, tidak mampu bangun dan berbaring pada salah satu sisinya
(lateral recumbency). Kelemahan otot-otot rumen akan segera diikuti
dengan kembung rumen. Gangguan sirkulasi sangat mencolok, pulsus jadi
lemah (120 x/menit), dan suhu tubuh turun di bawah normal. Pupil melebar
dan refleks terhadap sinar telah hilang. Stadium koma kebanyakan diakhiri
dengan kematian, meskipun pengobatan konvensional telah dilakukan.
Frekuensi
pernafasan juga naik drastis 3 kali lipat yaitu sebanyak 106 x/menit dimana
pada keadaan yang normal hanya 10-30 x/menit. Intensitas pernafasannya
dangkal dan cepat dengan dengan ritme aritmis. Auskultasi terhadap
terhadap jantung didapatkan hasil bahwa intensitas jantung lemah, ritme
reguler, frekuensi jantung 92 x/menit, frekuensi nadi 92 x/menit dan suara
sistol intensitasnya lemah serta suara diastol intensitasnya lebih lemah
daripada suara sistol. Intensitas jantung yang lemah dapat
menyebabkan kepenuhan dari vena jugularis. Kondisi ini disebut sebagai
pulsus jugularis yang negatif karena pada waktu sistol darah untuk sementara
waktu tidak dapat masuk ke dalam atrium sehingga darah akan didorong kembali ke
dalam vena jugularis.
Pulsus jugularis yang negatif ini merupakan dilatasi dari
vena jugularis pada waktu presistol yaitu sebelum jantung berdenyut. Kejadian
ini akan lebih jelas pada stenosis valvula tricuspidalis, pada heart block dan
pada pericarditis exudativa. Pemeriksaan regio abdomen secara inspeksi,
auskultasi, palpasi dan perkusi didapatkan hasil bahwa suara peristaltik
lambung tidak ada, palpasi rumen keras, uji tinju yang dilakukan mendapatkan
suara peristaltik yaitu air dan frekuensinya hanya 3 x/5 menit, dimana dalam
keadaan normal suara ini akan terdengar 5-8 x/menit. Palpasi rumen yang
keras dan tidak adanya suara peristaltik menunjukkan bahwa tidak adanya
aktifitas mekanik di dalam saluran pencernaan.
Aktifitas mekanik merupakan suatu keadaan yang
menggambarkan kontraksi sirkuler dinding usus. Kontraksi ini bertujuan
untuk menggerakkan bahan-bahan yang akan dicerna disepanjang saluran
pencernaan, untuk mencampur getah pencernaan dengan makanan dan membawa zat
makanan hasil pencernaan kearah membran mukosa untuk penyerapan berikutnya.
Pada sapi yang ditemui dilapangan kondisi ini tidak ditemukan, hal ini karena
kejadian kembung yang terjadi pada sapi. Kembung pada sapi ini sebagai
akibat penumpukan gas dalam lambung (rumen) karena tidak adanya aktivitas
mekanis sehingga rumen akan penuh dengan makanan yang tidak tercerna.
Kondisi ini membawa akibat kosongnya usus dan tidak adanya penyerapan
makanan. Pada pemeriksaan daerah anus dan uroginital didapatkan hasil
bahwa daerah sekitar anus kotor karena feses yang keluar lembek dan reflek
spincter ani yang tidak bagus.
Beberapa penyakit komplikasi dapat timbul mengikuti
kejadian hypocalcaemia, karena kondisi penderita yang terus berbaring
diantaranya :
1. Dekubites, kulit lecet-lecet. Luka ini disebabkan karena
infeksi yang berasal dari lantai, dapat menyebabkan dekubites.
2. Perut menjadi gembung atau
timpani, karena lantai yang selalu dingin mendorong terjadinya
penimbunan gas dalam perut pada penderita yang selalu berbaring.
3. Pneumonia. Kerena terjadi regurgitasi pada waktu memamah biak
disertai adanya paralisa dari laring dan faring. Sewaktu menelan makanan,
sebagian makanan masuk ke dalam paru-paru dan dpat diikuti oleh pneumonia pada
penderita.
Komplikasi kasus yang ditemukan dilapangan
yaitu terjadinya lecet-lecet yang terjadi di kulit sebagai akibat adanya
infeksi yang berasal dari lantai karena hewan lama berbaring (dekubitus) dan
terjadinya pneumonia karena makanan menumpuk di dalam rumen sebgai akibat tidak
adanya tonus dalam dalam rumen dan gerakan peristaltik usus
peristaltik. Kejadian pneumonia ini juga sebagai akibat sapi
terlalu lama berbaring di lantai sehingga banyak terjadi penimbunan gas, jika
kondisi berlangsung lama akan menyebabkan paralisa laring dan faring sehingga
sapi akan mengalami kesusahan pada waktu regurgitasi pada waktu memamahbiak
akibatnya sebagian makanan akan masuk ke dalam paru-paru.
Diagnosa banding perlu diadakan karena banyak penyakit
atau keadaan yang dapat menyerupai paresis puerpuralis, sehingga dapat
mengaburkan diagnosa yang bisa terjadi sebelum atau sesudah partus. Jika
kejadian kelumpuhan terjadi sebelum partus kemungkinan penyakit pembandingnya
diantaranya metritis septika, akut mastitis, milk fever dan hidrops, sedangkan
jika kelumpuhan setelah melahirkan kemungkinan penyakit pembandingnya yaitu
calving paralysis, calving injuri, ruptura ligamen sendi belakang, septic
metritis&vaginitis, ruptura uteri, paralysis obturatorius, ruptura tendon
dan otot, kekejangan otot, toxemia, arthritis akut, dan fraktura pelvis.
Prognosa terhadap kasus hypocalcaemia yaitu
fausta-infausta. Fausta jika kejadian hypocalcaemia cepat ditangani (95%
sembuh) dan infausta jika penanganan yang lambat dan pengobatan pertama yang
tidak menunjukkan perubahan ke arah kondisi yang membaik. Kecepatan dan
ketepatan diagnosis serta pengobatan sangat membantu kesembuhan. Kesembuhan
spontan hampir tidak dimungkinkan.
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan terhadap sapi
ini adalah melakukan pemeriksaan darah. Darah dapat diambil lewat vena
jugularis. Darah yang diambil diperiksa terhadap kadar kalsium
darah. Kalsium dalam serum dapat diukur dengan metoda sangat sederhana
sampai metoda yang mutakhir. Yang termasuk sederhana ialah dengan metoda Clark&Collib yang
menggunakan KmnO4 untuk titrasi. Lainnya ialah
dengan metoda “kolorimetri sederhana”, berdasarkan intensitas warna yang
kemudian dibandingkan dengan warna standar.
Pada kasus paresis puerpuralis yang disertai ketosis maka
pengobatan dilakukan dengan pemberian kalsium boroglukonat ditambah dekstrose
5% sebanyak 250-500 ml secara intravena. Bila pengobatan ini tidak berhasil
dapat dicoba pengobatan dengan menggunakan pemompaan (insufflasi) udar
ke dalam keempat kwartir ambing hingga tekanan intra-mamer meningkat dan
menghentikan pengeluaran air susu berikutnya yang berarti menghentikan
penghentian pengurasan unsur kalsium ke dalam ambing.
Pengobatan cara ini dapat diulangi setiap 6-8 jam.
Pengobatan dengan cara ini terbukti telah mengurangi kematian sebesar
15%. Untuk mencegah terjadinya komplikasi seperti dekubites, gembung
perut atau pneumonia maka induk penderita sebaiknya selalu dibolak-balik dan
diberikan jerami yang cukup tebal sebagai alas berbaring.
Evaluasi pengobatan dengan penyuntikan kalsium ini
diajurkan mendengarkan denyut jantung dengan stetoskop. Kalau tidak
digunakan stetoskop, secara visual dapat diikuti dengan melihat reaksi
penderita, kecepatan pulsus venosus, gerak bola mata, dan tidaknya
eksitasi. Jika terjadi keracunan sediaan kalsium yang harus segera
dilakukan adalah menghentikan penyuntikan, memberikan masase jantung,
memberikan sediaan yang berefek pada jantung (MgSO4, atropin),
dan sediaan yang dapat mengikat (chelating agent) kalsium misalnya
Na-EDTA.
Pencegahan terhadap kejadian milk fever sangat
dipengaruhi oleh jumlah kalsium yang dapat diserap dan bukan pada unsur fosfor
atau imbangan Ca:P. Pemberian kalsium hendaknya sekedar untuk memelihara
fungsi faali (2.5 g/100 lb). Yang ideal jumlah Ca dalam pakan sehari
adalah 20 gram saja. Banyak sapi yang mengalami milk fever oleh pemberian
kalsium yang tinggi, tidak terganggu oleh pembatasan pemberian unsur
tersebut. Di daerah yang cukup kandungan kalsiumnya dalam pakan
sehari-hari pemberian mineral blok yang mengandung kalsium-fosfat tidak
dianjurkan untuk sapi yang bunting sarat. Setelah melahirkan pemberian
garam kalsium harus ditingkatkan. Pemberian vitamin D2 20-30
juta IU/hari 3-8 hari pre partus mampu menurunkan kejadian milk fever.
Vitamin D3 sebanyak
10 juta IU yang disuntikkan intravena sekali saja 28 hari sebelum malahirkan
dapt pula menurunkan kejadian milk fever tanpa diikuti deposisi kalsium
dialat-alat tubuh.
Referensi :
Achjadi,
K. 2003. Penyakit Gangguan Metabolisme. Handout Kuliah. Bagian Reproduksi dan
Kebidanan. FKH-IPB
Carlton,
W.W and M.Donald. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. 2nd edition. Mosby. USA.
Fraser,
C. M. 1991. The Merck Veterinary Manual: Hand Book of Diagnosis, Therapy and
Disease Prevention and Control for The Veterinarian. 7th ed.
Merck & Co., Inc. USA.
Harjopranjoto,
S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya.
Subronto. 2001.
Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Wondonga,
N.F. 2002. Milk Fever (Hypocalcaemia) . http://www.petalia.com.au/Templates/StoryTemplate_Process.cfm?
Story_No=1600§ion=answers&specie=dairy.
[21 Pebruari 2006].