DIOLUHTAN. Stagnasi bahkan kemunduran kelompok
peternak terjadi karena peternak tidak disiapkan terlebih dahulu sebelum
berdiri atau sebelum menerima bantuan ternak dari pemerintah. “Seringkali kami
temui kelompok peternak sapi potong pertemuannya masih jalan, berbentuk arisan.
Tetapi populasi sapi dibandingkan jumlah anggotanya lebih banyak anggotanya,”
ungkap Agung Budiyanto, Dosen bagian Reproduksi dan Kebidanan Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Jogjakarta (FKH UGM). Ia sempat
menemukan satu kelompok yang anggotanya 28 orang namun sapinya hanya 5 ekor.
Agung dibantu tim Laboratorium
Reproduksi dan Kebidanan FKH UGM dan mahasiswa koass melakukan pembinaan
kelompok-kelompok sapi pembibitan dengan menitik beratkan pada pembenahan pakan
dan reproduksi. “Reproduksi merupakan kunci penambahan populasi. Peternak
pembibit juga mendapat penghasilan dari menjual pedet. Pakan yang salah juga
bisa berakibat reproduktivitas buruk,”jelas alumni post doctoral University
of Perth – Australia ini.
Ahli reproduksi ternak lulusan
Yamaguchi University – Jepang ini menerangkan membuntingkan sapi pada kondisi
aktual kelompok yang belum maju. Keterbatasan itu antara lain tidak tahu
manajemen pakan yang benar sehingga induk kekurangan nutrisi. Ketidak mampuan
memdeteksi birahi secara tepat membuat interval kelahiran molor berbulan-bulan.
“Maka peternak rugi karena IB (inseminasi buatan) dilakukan hingga lebih dari 3
kali, bisa dihitung jika ongkosnya Rp 50.000 per IB,” kata pria yang
memiliki binaan 25 kelompok peternak sapi ini. Kemunduran bunting satu periode
birahi saja (21 hari) akan menyebabkan peternak rugi biaya pakan setidaknya Rp
210 ribu, jika biaya pakan perhari diasumsikan Rp 10 ribu saja.
Keberhasilan pembinaan, kata Agung,
ditentukan oleh intensitas interaksi. Orang yang terpanggil untuk membina akan
berhadapan dengan masyarakat desa, yang tidak bisa begitu saja berubah tanpa
pendekatan yang tepat. Pendekatan itu seringkali masuk ke ranah sosial bahkan
personal. “Mereka sangat mungkin biasa mendapatkan penyuluhan verbal. Tetapi
pembinaan langsung masuk ke kandang oleh sosok yang kapabel itu yang efektif
mengubah mereka,” ungkapnya.
Agung memberi contoh, saat mendekati
kelompok peternak untuk dibina pernah ia masuk dari pengajian kampung. Bahkan
turut partisipasi pada kegiatan sosial maupun acara personal pengurus kelompok.
“Nanti kalau sudah percaya, didampingi untuk berubah, kemudian perlahan dilepas,
diteruskan oleh pendamping lapangan dan mahasiswa koass,” tuturnya.
Berkembang Pesat
Salah satu kelompok yang berhasil
dibina Agung dan tim FKH UGM adalah kelompok peternak sapi potong Mergo Andhini
Makmur (MAM) Dusun Bolu, Desa Margokaton, Kecamatan Seyegan – Sleman. Ketua
MAM, Poniman Siswo Sudarsono menerangkan kelompok berdiri pada 2001 dengan
anggota 20 orang dan populasi induk 25 ekor. Kini telah berkembang menjadi 49
indukdan 13 pejantan. Sedangkan pedet berubah-ubah jumlahnya karena ada yang lahir
dan dijual. Saat ini ada 16 ekor pedet dan masih ada 16 ekor induk yang
bunting. Anggota kelompok bertambah menjadi 32 orang, dan mayoritas berusia
muda. “Setiap tahun mampu menjual 20 ekor sapi. Jumlah kelahiran 19 – 25 ekor
pedet per tahun,”jelas Poniman.
Manajer Kelompok MAM, Mulyono
mengatakan tim FKH UGM masuk setelah beberapa mahasiswa koass praktik
reproduksi (jaga partus/ kelahiran sapi) di kandang kelompok. “Mereka
melaporkan masalah di kelompok ke kampus. Waktu itu induk harus di IB sebanyak
3 – 7 kali untuk bisa bunting. Jarak beranak bisa sampai 2 tahun. Pemberian
pakan juga seadanya, sering hanya jerami saja,” ungkapnya.
Setelah itu, kata Mulyono, Agung
Budiyanto melakukan pendekatan dan secara intensif membina langsung dan
hasilnya kelompok berkembang pesat. Indikatornya, adalah jarak beranak (calving
interval) yang kian pendek menjadi 1 tahun saja. “Tiga bulan setelah
beranak, induk sudah bunting lagi. Tidak ada lagi pedet lemah dan terinjak
karena penanganan kelahiran (partus) yang salah,” terangnya.
Selain itu, kandang kelompok
individual juga diubah bersama-sama menjadi kandang koloni pada 2013. Awalnya
hanya satu unit, dibangun dengan paket bantuan pemerintah untuk membangun rumah
produksi kompos Rp 360 juta. “Tak lama kemudian karena banyak pedet yang lahir,
kelompok membangun 3 unit lagi dengan biaya dari penjualan pedet. Sehingga
semua sapi anggota masuk kandang koloni berkapasitas total 106 ekor,” papar
Mulyono.
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Livestock
Edisi 186 / Maret 2015
Sumber : Trobos Livesstock (Model Pembinaan Kelompok Ternak Sapi)