DIOLUHTAN-Bone-Sulsel.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulsel menggelar Edukasi
Elektronifikasi dan Keuangan Inklusif kepada Petugas Penyuluh Lapangan (PPL)
dan Kelompok Tani se-Kabupaten Bone bertempat di Hotel Novena, Watampone,
Jum’at (13/3/15).
Kegiatan
yang dibuka langsung oleh Bupati Bone, H A Fahsar M Padjalangi ini selain
dihadiri oleh para PPL dan Petani, juga Hadir dari kalangan perbankan (Bank
Mandiri dan BRI). Kepala Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K)
Kab. Bone, Ir. H. A. Arsal Achmad juga mengikuti kegiatan sosialisasi tersebut.
Moh.
Dady Aryadi selaku Kepala Kantor Perwakilan BI Sulsel mengemukakan di tahun ini arah kebijakan sistem
pembayaran 2015 yang dikeluarkan oleh BI adalah mendorong pembayaran nontunai.
BI berupaya mewujudkan less cash society yakni masyarakat yang menggunakan
instrumen dan sarana pembayaran non tunai dalam melakukan transaksi keuangan. “Kami menganggap penggunaan uang elektronik di Indonesia
masih rendah. Sejak dicanangkan di tahun 2013 penggunaan uang elektronik
tersebut masih belum mencapai 50 persen di tingkat perkotaan dan jauh dibawah
itu di tingkat pedesaan” Hal itu diakui oleh Deputi Divisi Advisory dan
Pengembangan Ekonomi Daerah, Miyono saat memaparkan materi transaksi non tunai.
Menurutnya potensi ekonomi yang akan dihasilkan oleh
penggunaan uang elektronik sangat tinggi sehingga BI terus mendorong penggunaan
uang elektronik ditengah masyarakat petani terutama di daerah terpencil. “maksud elektronifikasi
yakni kita menggunakan e-commerce untuk produk-produk pertanian, UMKM
dan informasi tentang produk-produk UMKM” paparnya.
Lebih lanjut Miyono mengatakan BI menargetkan program yang
melibatkan penyuluh dan kelompok tani untuk transformasi proses
elektronifikasi, dimana diharapkan seluruh aktivitas pembayaran perbankan akan
berubah dari proses tunai menjadi non tunai.
Tidak
saja dari sisi efisiensi, sistem ini dapat membuka akses masyarakat untuk
terhubung dalam layanan keuangan serta mendekatkan lembaga keuangan kepada petani
hingga area terpencil. “Kami mendorong kepada
Pemkab untuk bisa menerapkan kebijakan pembayaran non-tunai ini. Nantinya penyaluran
bantuan sosial-pertanian, bantuan usaha, dan lain sebagainya dapat disalurkan
dengan transaksi non-tunai”, terangnya.
BI Galakkan Layanan Keuangan Digital
Bank Indonesia (BI) gencar promosi
Layanan Keuangan Digital (LKD) guna mendongkrak jumlah masyarakat khusunya
petani untuk menggunakan uang elektronik (e-money). Karena itu, semua pihak di
Provinsi Sulel khususnya di Kabupaten Bone diharapkan bisa menyukseskan program
layanan keuangan digital (LKD) karena potensinya cukup besar. “LKD adalah kegiatan
layanan jasa sistem pembayaran dan/atau keuangan terbatas yang dilakukan tidak
melalui kantor fisik. Namun dengan menggunakan sarana teknologi antara lain
telepon seluler atau website dan jasa pihak ketiga (agen) dengan target layanan
masyarakat belum tersentuh perbankan”
Deputi Divisi Advisory dan Pengembangan Ekonomi Daerah,
Miyono mengatakan, program LKD ini sudah
ada sejak beberapa tahun lalu namun hingga sekarang realisasi dari program ini
belum seperti yang diharapkan. Sebab, penggunaan uang tunai masih cukup tinggi
di tengah masyarakat. “Kemungkinan karena masih banyak kekurangan baik infrastruktur
maupun lainnya bahkan sosialisasi juga kurang. Karenanya sekarang kami kembali
lagi ke daerah-daerah melibatkan para penyuluh lapangan serta ketua-ketua kelompok
tani untuk menyampaikan program ini kepada semua masyarakat” katanya
Potensi pengembangan LKD di Kab.
Bone, kata dia, sangat besar. Sebab biasanya jumlah peredaran dana pada daerah sentra
peternakan dan perkebunan itu sangat tinggi. Karenanya, akan lebih baik jika
perputarannya tidak tunai melainkan melalui elektronik. “Biasanya perkebunan
terletak di daerah-daerah yang akses keuangannya minim. Apalagi ranch
peternakan. Dengan LKD sudah bisa dilayani penggunaan elektronik baik untuk
menabung, transfer, pembayaran bahkan mungkin lebih luas lagi bisa mengajukan
kredit hanya melalui handphone. Hal ini seharusnya menjadi perhatian bank
untuk terus gencar menyampaikan program ini kepada petani dan semua pihak yang
ada di daerah perkebunan,” jelasnya.
Menurutnya, pada dasarnya kesulitan mendorong
penggunaan non tunai adalah persoalan kebiasaan. Sebab jika bicara dari
keuntungan, sangat sering disebutkan sangat besar manfaatnya baik itu
berkaitan dengan keamanan, terhindar dari penipuan dan lain sebagainya. “Berbeda dengan di luar negeri,
masyarakatnya memang lebih mau untuk pakai kartu dalam bertransaksi daripada
tunai. Sedangkan di sini masih sebaliknya yang tentunya membuat toko tidak
tertarik untuk memiliki alat elektroniknya,” ucapnya.
Keuangan Inklusif
Miyono
menjelaskan bahwa istilah financial inclusion atau
keuangan inklusif menjadi tren paska krisis 2008 terutama didasari dampak
krisis kepada kelompok in the bottom of the pyramid (pendapatan rendah
dan tidak teratur, tinggal di daerah terpencil, buruh yang tidak mempunyai
dokumen identitas legal, petani miskin dan masyarakat pinggiran) yang umumnya
unbanked yang tercatat sangat tinggi di luar negara maju.
Berbagai alasan menyebabkan
masyarakat dimaksud menjadi unbanked, baik dari sisi supply (penyedia jasa)
maupun demand (masyarakat), yaitu karena price barrier (mahal), information
barrier (tidak mengetahui), design produk barrier (produk yang cocok) dan
channel barrier (sarana yang sesuai). Keuangan inklusif mampu menjawab alasan
tersebut dengan memberikan banyak manfaat yang dapat dinikmati oleh masyarakat,
regulator, pemerintah dan pihak swasta, antara lain yaitu meningkatkan
efisiensi ekonomi, mendukung stabilitas sistem keuangan, berkontribusi positif
terhadap pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional yang sustain dan berkelanjutan
serta mengurangi kesenjangan (inequality) dan rigiditas low
income trap, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada
akhirnya berujung pada penurunan tingkat kemiskinan.
Kepala
BP4K Kab. Bone, Ir. H. A. Arsal Achmad disela-sela kegiatan ini mengatakan
sangat mendukung upaya yang dilakukan BI serta bersama para penyuluh dan petani
akan membantu menyebarluaskan informasi edukasi ini karena berdampak pada
kesejahteraan masyarakat khususnya petani di pelosok desa. “Perlu sosialisasi
agar elektronifikasi dan keuangan inklusif ini dapat teraplikasi di masyarakat
desa, sehingga proses transaksi ekonomi saat pemasaran hasil pertanian dapat
dilakukan secara non-tunai, sehingga kekhawatiran petani akan uang palsu, uang tak
layak ataupun uang berkurang, bahkan hilang dapat diminimalisisr”
paparnya.
Dalam kegiatan Edukasi
Elektronifikasi dan Keuangan Inklusif ini, juga
disosialisasikan kredit-kredit untuk usaha di bidang pertanian, peternakan dan
perikanan seperti KKPE dan sebagainya serta cara membedakan uang asli dan uang
palsu. (Y.A.Yahya)