Banyak tanaman asli Indonesia yang berpotensi sebagai
anti-HIV/AIDS, tetapi belum diuji skrining hingga menjadi obat yang diakui. “Justru skrining terhadap tanaman herbal tropis anti-HIV
banyak dilakukan negara-negara maju seperti AS atau Eropa,” kata pakar
biomedik, Suprapto Ma`at dalam lokakarya “Upaya Biomedik dalam Eksplorasi Obat
Alternatif/ Komplementer bagi Pasien HIV/AIDS” di Jakarta.
Suprapto mengatakan skrining itu diawali dengan penentuan
sitotoksisitas ekstrak terhadap kultur sel yang telah diinveksi HIV, hingga
skrining terhadap fraksi ekstrak tanaman untuk diketahui yang mana yang
memiliki aktivitas mantap sebagai anti-HIV.
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu
mencontohkan, dari hasil penelitian Barat terhadap kunyit (curcuma
domestika/longa) diketahui pigmen berwarna kuningnya ternyata memiliki efek
farmakologik seperti antitumor, aktivitas anti infeksi, anti-inflamasi dan dapat
menghambat aktivitas enzim integrase HIV-1.
Acemannan yang merupakan polisakarida asetilasi dari lidah
buaya (aloe vera) yang diteliti oleh laboratorium di AS dan di Kanada ternyata
bersifat antitumor, imunostimulan, dan antiviral.
Demikian pula diterpenoid lakton yang terdapat pada sambiloto
(andrographis paniculata) dapat menghambat pertumbuhan virus HIV-1 maupun virus
HIV-2 dan dipatenkan di Universitas Bastyr dengan nama AndroVir.
Demikian pula penelitian terhadap akstrak meniran
(phyllanthus niruri) bekerja sebagai anti-viral dan imunostimulator (perangsang
imunitas) pada penderita HIV/AIDS. Juga ekstrak buah mengkudu (morinda
citrifolia) telah dipatenkan oleh sejumlah peneliti di negara maju sebagai
antiinfeksi dan antikanker.
Sedangkan ekstrak Bratawali (tinospora cordifolia) mampu
menurunkan gejala yang terjadi pada infeksi HIV seperti mual, muntah, anoreksia
dan lemah. Sementara itu ekstrak jambu biji (psidium guajava) sebagai
penghambat virus HIV dan meringankan efek samping penderita HIV, seperti diare.
Menurut dia, agar peneliti Indonesia bisa lebih aktif
melakukan pencarian obat anti-HIV dari berbagai tanaman asli tropis, perlu
dibangun laboratorium khusus virus dan laboratorium kultur sel, meski lab ini
membutuhkan investasi sangat besar.
Ia mengatakan China yang sudah melakukan skrining terhadap
tanaman anti-HIV terhadap 5.000 spesies tanaman obat, hanya menghasilkan
sekitar 90 spesies yang menunjukkan aktivitas anti-HIV atau hanya sekitar 13
persen saja.
Sejauh ini penanganan HIV/AIDS mengandalkan HAART (Highly
active antiretroviral therapy) yang diperkenalkan sejak 1996 yang mencakup
kombinasi sedikitnya tiga obat kimia yang berasal dari sedikitnya dua jenis
agen antiretroviral.
HAART membuat adanya stabilisasi gejala dan meningkatkan
waktu bertahan penderita antara 4-12 tahun, tetapi tidak menyembuhkan pasien
dari HIV dan bisa kambuh kembali setelah perawatan berhenti. “Dengan demikian
pasien HIV membutuhkan obat alternatif pendamping dan potensi obat herbal perlu
terus digali,” katanya.(ant/waa)
http://www.kabarsehat.com/indonesia-kaya-tanaman-obat-aids.html/