DIOLUHTAN-suluhtani. Spesies hewan dan tumbuhan
yang cantik, unik, dan aneh terungkap lewat ketekunan taksonom Indonesia dalam
mengidentifikasi. Dari ragam spesies yang ditemukan, berikut beberapa yang
paling menarik.
Katak Baru dari Sulawesi Mengejutkan
Dunia karena Bisa Melahirkan
Katak jenis baru dari Sulawesi mengejutkan dunia. Bila
biasanya katak berkembang biak dengan cara bertelur, katak ini berkembang biak
dengan melahirkan. Katak itu ditemukan oleh ahli herpetologi dari Institut
Teknologi Bandung (ITB), Djoko Tjahjono Iskandar, serta rekannya, Ben J Evans
dari McMaster University di Kanada dan Jimmy A McGuire dari Universityy of
California, Berkeley.
Spesies katak baru itu dinamai Limnonectes larvaepartus,
sesuai dengan sifatnya, mampu melahirkan larva (larvae: larva atau kecebong,
partus: melahirkan).
Dalam publikasinya di jurnal PLOS ONE pada Rabu (31/12/2014) lalu, Djoko
menyatakan bahwa jenis ini sudah dijumpai sejak dirinya melakukan survei
keragaman katak di Sulawesi pada tahun 1996 lalu.
Namun demikian, identitas katak ini sebagai spesies baru
belum bisa ditetapkan sebab belum ada bukti perilaku melahirkan. Perilaku
melahirkan kemudian berhasil dilihat saat Djoko dan tim melakukan studi
lapangan di Sulawesi tahun ini. Satu kali kesempatan, Djoko menyaksikan
langsung katak melahirkan di genggaman tangannya.
Dalam kesempatan lain, Djoko dan tim menjumpai adanya
kecebong hidup dalam bagian sistem reproduksi bernama oviduk serta dalam tas
plastik tempat tim mengoleksi katak.
Hingga kini, perilaku melahirkan ini
masih misteri. Bagaimana bisa katak yang biasanya melakukan pembuahan eksternal
(tidak ada penyatuan antara sel sperma dan sel telur dalam tubuh) bisa
melahirkan?
Limnonectes larvaepartus disebut sebagai satu-satunya
jenis katak yang mampu melahirkan dan satu dari 12 jenis katak yang mengalami
evolusi fertilisasi internal. Jenis katak ini ditemukan di wilayah Sulawesi
Tengah, dinyatakan sebagai spesies endemik. Penyebarannya belum diketahui
secara pasti sebab survei keragaman dan populasi katak di pulau itu hingga kini
masih minim.
Katak ini biasanya hidup dalam
rentang jarak 2 - 10 meter dari perairan. Secara fisik, katak unik karena
memiliki tonjolan serupa taring dan warna emas di area punggung.
Sulawesi dipercaya merupakan rumah
bagi sekitar 25 jenis katak bertaring. Di tengah eksploitasi hutan di Sulawesi,
katak endemik ini perlu dilindungi. Kepunahan jenis ini dan jenis lain yang
belum ditemukan mengancam bila perusakan lingkungan terus dilakukan.
Katak
Rawa "Kekar" Ditemukan di Riau
Satu lagi jenis
katak baru ditemukan di Indonesia, menandakan bahwa Indonesia kaya akan beragam
jenis amfibi. Spesies yang ditemukan kali ini dinamai Hylarana rawa. Penelitian ini dipublikasikan di jurnal Current
Herpetology edisi Juni 2012.
Penemuan spesies
ini melalui proses panjang. Pada tahun 2007, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) dan beberapa pihak menginventarisasi biodiversitas Suaka Margasatwa Giam-Siak
Kecil. Tujuannya, sebagai acuan pengajuan suaka margasatwa sebagai cagar
biosfer.
Dalam proses
inventarisasi, peneliti dan teknisi herpetologi LIPI, Ir Mumpuni dan Mulyadi,
berhasil mengambil satu spesimen katak yang kemudian dideskripsikan sebagai Hylarana rawa ini. Jumlah spesimen yang berhasil dikoleksi hanya
satu. Spesimen itu kemudian dibawa ke Museum Zoologi Bogor. Identifikasi
morfologi saat itu hanya berhasil mengidentifikasi hingga tingkat genus, yakni Rana.
Rana sebelumnya adalah
marga yang juga menaungi Hylarana. Karena perkembangan taksonomi, maka Rana sekarang terbagi menjadi beberapa marga baru, di mana Hylarana hanya salah satunya.
Identifikasi secara
molekuler pada spesimen baru dilakukan Amir Hamidy dari Museum Zoologi Bogor
bersama pembimbing S-3-nya di Kyoto University, Masafumi Matsui, pada tahun
2012.
"Dari hasil
analisis molekuler dari mitokondria DNA, gen 16S rRNA, bisa diketahui bahwa MZB
Amp 14656 (kode spesimen) merupakan jenis baru, dengan perbedaan jarak genetik
yang cukup besar 13,9–15,7 persen dari jenis-jenis lain sekerabatnya,"
urai Amir.
Peneliti juga
membandingkan spesimen dengan tiga jenis katak segenus lain, Hylarana baramica, Hylarana laterimaculata, dan Hylarana glandulosa. Ciri-ciri yang membedakan jenis-jenis tersebut
diidentifikasi. "Karena MZB Amp 14656 merupakan spesimen jantan, maka kami
berhasil mengidentifikasi salah satu karakter seks sekunder, yaitu memiliki humeral
gland (kelenjar di lengan atas) yang
sangat besar dibandingkan dengan ukuran badannya," jelas Amir. Kelenjar
tersebut membuat lengan katak terkesan kekar.
Selain
karakteristik itu, Amir juga mengatakan bahwa Hylarana rawa memiliki selaput kaki
yang minimal, tak seperti katak jenis lain. Tentang nama "rawa"
sendiri, Amir mengatakan, nama itu dipilih sesuai habitatnya di rawa.
Menurutnya, tak banyak jenis katak yang bisa beradaptasi dan hidup di
lingkungan rawa gambut yang asam.
Setelah deskripsi Hylarana rawa sebagai spesies baru, pencarian lagi spesies itu masih
perlu dilakukan. Hingga saat ini, informasi biologi seperti populasi dan status
konservasinya belum diketahui.
"Jangan sampai
penemuan kali ini menjadi yang terakhir ditemukannya Hylarana rawa. Kekhawatiran ini cukup beralasan karena amfibi
merupakan hewan yang sangat rentan dengan perubahan lingkungan, termasuk
pemanasan global," ungkap Amir.
Di Bali,
Ditemukan Katak Jenis Baru Sebesar Kuku
Peneliti katak dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Amir Hamidy, mengabarkan lewat surat elektronik penemuan
spesies baru katak dari pulau para dewa, Bali.
Spesies katak yang
ditemukan berukuran kecil. Pejantan dewasanya saja berukuran hanya 16 - 17 mm
atau cuma sebesar kuku manusia. Amir dan rekan penelitinya menamai spesies
tersebut Microhyla orientalis.
Analisis DNA
mitokondria menunjukkan bahwa M.
orientalismemiliki kekerabatan dekat dengan M.
mantheyi, M. borneensis, dan M. malang. Ketiganya dimasukkan dalam sub-grup dari spesies M.
borneensis.
Katak sub-grup M. borneensis memiliki karakteristik berkembang biak di wilayah air
tenang, kecuali M. borneensis sendiri yang berkembang biak di tempat unik, kantung tumbuhan kantung
semar.
Sub-grup M. borneensis ditemui dari wilayah Thailand, Sumatera, dan
Kalimantan. Spesies M. oroentalis sendiri merepresentasikan penyebaran di wilayah paling
timur dari sub-grup ini. Karenanya, spesies katak dari Bali ini dinamai
"orientalis".
Dalam publikasi di
jurnal Zootaxa yang terbit Jumat (14/6/2013), tim peneliti yang
dipimpin Masafumi Matsui dari Kyoto University mengutarakan bahwa M.
orientalis memiliki ciri-ciri khas.
Ciri-ciri uniknya
antara lain memiliki corak garis pada punggung, corak garis hitam pada bagian
samping yang memanjang dari mata hingga setengah badan, dan moncong bulat.
Sementara, perbedaan jari kaki cukup ekstrem. Jari pertama tak sampai seperlima
dari jari ketiga.
Sejauh ini, spesis
baru ini hanya ditemui di wilayah Wongaya Gede dan Batukaru, Bali, di
persawahan berketinggian 435 - 815 meter di atas permukaan laut. Di Wongaya
Gede, suara riuh katak jenis ini sering ditemui di bulan Juli, sementara di
Batukaru jarang ditemui di awal Agustus.
Bali diketahui
merupakan batas barat dari garis Wallace, garis yang memisahkan wilayah hewan
Asia dan Australasia. Garis ini dideskripsikan oleh Alfred Wallace saat datang
ke Indonesia pada abad 19 dan menyadari perbedaan fauna Indonesia antara
wilayah yang terpisah garis itu.
Karena memiliki
beberapa spesies Microhyla, Bali dipercaya menyimpan rahasia evolusi katak
golongan tersebut. Sejauh ini, spesies microhyla lain yang ditemukan di Bali
adalah M. palmipesdan M. achatina.
Katak Pohon di Sumatera, Punya
"Tanduk"
Spesies baru katak unik ditemukan di
hutan wilayah Sumatera. Masuk golongan katak pohon, spesies baru tersebut
memiliki tonjolan di dekat telinga, menyerupai tanduk. Katak yang kemudian
dinamai Polypedates pseudotilophus itu ditemukan oleh peneliti
amfibi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Amir Hamidy.
Awalnya, saat mengambil studi
program doktoral di Jepang, Amir melakukan analisis genetik pada katak pohon
bertanduk dari Kalimantan dan Sumatera. Sebelumnya, katak pohon bertanduk dari
Kalimantan (Polypedates otilophus) dan dari Sumatera (Polypedates
pseudotilophus) dikategorikan sebagai spesies yang sama. "Hasil
analisis menunjukkan bahwa katak dari Borneo dan Sumatera berbeda sehingga bisa
dinyatakan sebagai spesies yang berbeda juga," terang Amir.
Amir kemudian melakukan analisis
morfologi pada spesimen katak pohon bertanduk yang ada di Museum Zoologi Bogor
di Cibinong. Dari analisis itu, Amir mengetahui bahwa katak pohon bertanduk
dari Kalimantan dan Sumatera memang memiliki perbedaan yang signifikan.
Katak pohon bertanduk memiliki ciri
khas berupa struktur serupa tanduk di dekat telinga. "Tanduk" itu
merupakan tonjolan tulang. "Katak dari Sumatera memiliki tanduk yang jauh
lebih pendek daripada yang dari Borneo," ungkap Amir saat dihubungi Kompas.com’
Spesies P otilophus memiliki
tonjolan tulang sepanjang 3 mm, sementara jenis P pseudotilophus punya
"tanduk" sepanjang 1,5 mm.
Amir bersama rekan peneliti dari
Jepang menyatakan kebaruan spesies P pseudotilophus dalam
jurnal Species Diversity pada 25 Mei 2014. Nama spesies pseudotilophus dipilih
karena jenis tersebut sempat dianggap spesies yang sama dengan P
otilophus.
Amir mengungkapkan, katak pohon
bertanduk adalah spesies khas Indonesia. "Hanya ditemukan di Borneo,
Sumatera, dan Jawa," katanya. Untuk jenis yang hidup di Jawa, ilmuwan
belum melakukan riset sehingga belum diketahui apakah merupakan jenis yang sama
atau berbeda dengan di Sumatera dan Kalimantan.
P pseudotilophus dan P otilophus adalah
jenis katak yang telah lama hidup di pohon dan mampu beradaptasi dengan baik.
Karakteristik katak yang menunjukkan adanya adaptasi antara lain jari kaki.
"Jari-jari katak ini memiliki bantalan sehingga bisa merekat dengan
pohon," ungkap Amir.
Ciri lain adalah "tanduk"
itu sendiri. "Saya menduga ini berguna sebagai anti-predator," tutur
Amir. Lanjut Amir, tonjolan tulang membuat ular pohon menjadi lebih sulit
memangsa kedua jenis katak itu.
Kedua jenis katak itu bisa
ditemukan, baik di hutan primer maupun sekunder, tetapi hampir tak pernah
ditemukan di wilayah yang memungkinkan kontak langsung dengan manusia.
Dengan adanya perusakan hutan, katak spesies baru ini juga menghadapi ancaman. "kalau hutan Sumatera hilang, katak baru ini juga tidak bisa hidup," kata Amir.
Dengan adanya perusakan hutan, katak spesies baru ini juga menghadapi ancaman. "kalau hutan Sumatera hilang, katak baru ini juga tidak bisa hidup," kata Amir.
Source: Y.W. Utomo
(Kompas.com)
Editor : Y.A. Yahya