Salah satu bentuk ritual dalam penyembelihan hewan udhiyah adalah
waktu pelaksanaan yang tentunya telah diatur oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala
hanya pada waktu tertentu. Konsekuensinya, bila dilakukan pada waktu yang
sesuai dengan ketetapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka sembelihan itu hukumnya
sah dan diterima di sisi-Nya.
Sebaliknya, bila penyembelihan itu dilakukan di luar waktu yang
telah ditentukan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, hukumnya tidak sah dan tidak
diterima di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, serta tidak bisa dijadikan ibadah qurban.
C. Batas Waktu Memakan Daging
Ada sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik yang pernah
disampaikan kepada penulis, yaitu apa hukum memakan daging hewan qurban, bila
telah lewat dari hari tasyrik, apakah boleh atau tidak boleh? Dan bagaimana
pula hukumnya bila daging yang disembelih di Hari Raya Idul Adha itu tidak
habis dimakan selama hari Tasyrik, apakah sah penyembelihannya?
Pertanyaan seperti ini berangkat dari sebuah hadits yang shahih
dimana Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah melarang menyimpan daging hewan
udhiyah lebih dari tiga hari. Lengkapnya teks hadits itu sebagai berikut:
“Siapa di antara kalian berqurban, maka janganlah ada daging
qurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga.” (HR. Bukhari)
1. Larangan Sudah Dihapus
Jawaban atas pertanyaan ini mudah saja, bahwa larangan itu sifatnya
sementara saja, dan kemudian larangan itu pun dihapus.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama atas dihapuskannya
larangan ini, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdil Bar di dalam kitab Al
Istidzkar. (Al Istidzkar, jilid 15 hal. 173)
Memang di jalur riwayat dan versi yang lain disebutkan bahwa Ibnu
Umar tidak mau memakan daging hewan udhiyah, bila sudah disimpan selama tiga
hari.
Dari Salim dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang kamu memakan daging hewan udhiyah yang
sudah tiga hari. Salim berkata bahwa Ibnu Umar tidak memakan daging hewan
udhiyah yang sudah tiga hari (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun Ibnu Hajar Al Asqalani di dalam Fathul Bari mengutip
penjelasan Asy Syafi’i, beliau menyebutkan bahwa kemungkinan Ibnu Umar belum
menerima hadits yang menasakh larangan itu.
Dihapusnya larangan ini termasuk jenis nasakh atas
sebagian hukum yang pernah disyariatkan. Sebagaimana dihapuskannya larangan
untuk berziarah kubur.
Memang kalau membaca potongan hadits di atas, seolah-olah kita
dilarang untuk menyimpan daging udhiyah lebih dari tiga hari.
Tetapi kalau kita lebih teliti, sebenarnya hadits di atas masih
ada terusannya, dan tidak boleh dipahami sepotong-sepotong. Terusan dari hadits
di atas adalah:
Ketika datang tahun berikutnya, para sahabat mengatakan, ”Wahai
Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu?” Maka beliau
menjawab, ”(Adapun sekarang), makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada
orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang
mengalami paceklik sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka
dalam hal itu.”(HR. Bukhari)
Jadi semakin jelas bahwa ‘illat kenapa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa
Sallam pada tahun sebelumnya melarang umat Islam menyimpan daging hewan udhiyah
lebih dari tiga hari. Ternyata saat itu terjadi paceklik dan kelaparan
dimana-mana. Beliau ingin para shahabat berbagi daging itu dengan orang-orang,
maka beliau melarang mereka menyimpan daging, maksudnya agar dagingdaging itu segera
didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Tetapi ketika tahun berikutnya mereka menyimpan daging lebih dari
tiga hari, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam membolehkan. Karena tidak
ada paceklik yang mengharuskan mereka berbagi daging.
Dalam hadits di atas juga dikuatkan dengan hadits lainnya, sebagai
berikut:
“Dulu aku melarang kalian dari menyimpan daging qurban lebih dari
tiga hari agar orang yang memiliki kecukupan memberi keluasan kepada orang yang
tidak memiliki kecukupan. Namun sekarang, makanlah semau kalian, berilah makan,
dan simpanlah.” (HR. Tirmizi)
2. Larangan Tidak Berpengaruh Pada Penyembelihan
Selain itu yang perlu juga dipahami bahwa kalau Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wa Sallam melarang menyimpan lebih dari tiga hari, bukan berarti daging
itu menjadi haram, juga bukan berarti penyembeliahnya menjadi tidak sah. Sebab
ritual ibadah udhiyah ini intinya justru pada penyembelihannya, dan bukan pada
bagaimana cara dan waktu memakan dagingnya.
Ekstrimnya, bila seseorang telah melakukan penyembelihan dengan
benar, sesuai dengan syarat dan ketentuannya, maka ibadahnya telah sah dan
diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara hukum fiqih. Ada pun urusan mau
diapakan dagingnya, tidak ada kaitannya dengan sah atau tidak sahnya
penyembelihan.
Dahulu di Mina, tepatnya di tempat penyembelihan hewan (manhar),
ada ribuan hewan ternak yang disembelih di Hari Raya Idul Adha, lalu dibiarkan
begitu saja tubuh-tubuh hewan itu, tidak dimakan dan tidak pula diurus oleh
panitia macam di negara kita. Lalu tubuh-tubuh hewan itu pun membusuk,
sebagiannya dimakan hewan-hewan pemakan bangkai. Dan sebagiannya mengering atau
terkubur di pasir menjadi tanah dan debu.
Apakah ritual ibadah para jamaah haji itu sah? Jawabnya sah.
Apakah diterima Allah? Jawabnya tentu saja diterima. Lalu kenapa dagingnya
‘dibuang’ begitu saja? Jawabnya karena yang menjadi titik pusat dari ritualnya
hanya sebagai penyembelihan, bukan bagaimana membagi daging itu kepada
mustahik, sebagaimana dalam syariat zakat.
Sunnahnya, daging itu dimakan sendiri sebagian, lalu sebagiannya
dihadiahkan, dan sebagian lainnya, disedekahkan kepada fakir miskin. Tetapi
semua itu sunnah dan bukan syarat sah. Berbeda dengan zakat, zakat harus
disampaikan kepada para mustahik dengan benar. Bila diserahkan kepada mereka
yang bukan mustahik secara sengaja dan lalai, maka zakat itu tidak sah
hukumnya.
Daging hewan qurban, hukumnya boleh dimakan kapan saja, selagi
masih sehat untuk dimakan. Sekarang di masa modern ini, sebagian umat Islam
sudah ada yang mengkalengkan daging qurban ini, sehingga bisa bertahan dengan
aman sampai tiga tahun lamanya. Dan karena sudah dikalengkan, mudah sekali
untuk mendistribusikannya kemana pun di dunia ini, khususnya buat membantu
saudara kita yang kelaparan, entah karena perang atau bencana alam.
Walau pun afdhalnya tetap lebih diutamakan untuk orangorang yang
lebih dekat, namun bukan berarti tidak boleh dikirim ke tempat yang jauh tapi
lebih membutuhkan.
Jadi silahkan saja memakan daging qurban, walau pun sudah tiga
tahun yang lalu disembelihnya, yang penting belum melewati batas kadaluarsa.
D. Tempat
Apakah
boleh hewan udhiyah disembelih di tempat yang jauh
dari posisi orang yang berniat untuk menjalankan ibadah udhiyah ini?
Jawabannya adalah diperbolehkan.
Sumber: Risalah Qurban Rumah Fiqih Indonesia