Sebuah pernyataan
Gubernur Bali, Made Mangku Pastika sedang hangat di pemberitaan media lokal
atas seruannya kepada petugas Dinas Peternakan agar memusnahkan langsung
anjing-anjing yang ditemukan berkeliaran di jalanan. Di pemberitaan tersebut ia
mengeluarkan statement “Pokoknya ketemu anjing di jalan, langsung
eliminasi. Kalau dianggap dosa, saya yang tanggung, dari pada gigit orang, jadi
ribut lagi”. Pernyataan Gubernur Bali ini berdasarkan masalah
penanggulangan wabah Rabies di Bali yang memang tidak mudah dilaksanakan. Salah
satu kendalanya adalah, populasi HPR
(Hewan Pembawa virus Rabies) yang terus meningkat, khususnya Anjing
& Kucing. Metode yang digunakan pemerintah hingga kini adalah dengan
program Vaksinasi, Edukasi dan
Eliminasi dan sampai saat ini masih terbilang giat melaksanakan
program-program tersebut.
Yang menjadi
permasalahan para pecinta satwa adalah, prosedur pelaksanaan program yang
dianggap kurang tepat, atau bisa dikatakan keluar jalur. Ketakutan kebanyakan
warga akan virus dari hewan patut ditanggapi serius, namun statementnya dalam
pemberitaan tersebut jelas menyalahi aturan kesejahteraan hewan, utamanya dalam
penggunaan metode Eliminasi. Perda No.15 Tahun 2009 jelas
menyatakan untuk melaksanakan pemusnahan “harus” secara selektif dan
terarah pada Hewan Pembawa Virus Rabies (HPR) yang tidak teregistrasi atau
menunjukan gejala penyakit yang tidak terobati dan, atau pada hewan yang diduga
atau yang teridentifikasi penyakit rabies dan sudah kontak dengan HPR yang
terinfeksi. Disana juga disebutkan, HPR yang berkeliaran di jalan-jalan umum
dan yang tidak memakai tanda vaksinasi, ditangkap dan dimasukkan ke tempat
penahanan dinas kabupaten/kota.
Menambahkan aturan
tersebut, Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Udayana juga pernah mengeluarkan studi kajian
pada Tahun 2011 dijelaskan,
bahwa pelaksanaan Eliminasi dilakukan dengan cara sebelum disuntik mati,
anjing-anjing tersebut terlebih dahulu diberi pakan yang telah dicampur obat
bius, setelah anjing itu tidak berdaya, petugas kemudian menyuntikkan cairan
racun hingga mati. Anjing mati dikumpulkan selanjutnya dibuatkan galian dan
dibakar. Artinya, tidak bisa seenaknya langsung bunuh ditempat tanpa melalui
tahap seleksi terlebih dahulu, dan dengan tidak mengindahkan cara-cara yang
lebih manusiawi. Pernyataan Gubernur Bali tersebut sama dengan menyamaratakan
seluruh anjing di jalanan adalah wabah, dan menurut para pecinta satwa itu “sangat
kejam”.
Jika itu sampai
terjadi, maka tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai kejahatan terhadap
satwa. Undang-undang tindakan mengacu pada:
- Undang-undang Peternakan dan Kesehatan
Hewan no. 18 Tahun 2009 (Pasal 66, Ayat2):
Jika memang hewan tersebut bukan hewan yang dilindungi negara, maka pada dasarnya undang-undang di Indonesia mewajibkan setiap orang untuk melakukan pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan.
Jika memang hewan tersebut bukan hewan yang dilindungi negara, maka pada dasarnya undang-undang di Indonesia mewajibkan setiap orang untuk melakukan pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan.
- KUHP Pasal 302 (Ayat 1), Tentang
Perlindungan Hewan : Barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui
batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya,
diancam dengan hukuman mulai dari 2 – 7 tahun penjara, dan denda maksimal Rp.
10.000.000,-.
Lembaga dan pecinta
satwa setempat mempertanyakan apa yang sebenarnya yang ingin ditanggulangi di
Bali? Virusnya atau anjing-anjingnya?? Karena kalau jawabannya ternyata ingin
mengurangi populasi anjing di Bali, ada cara Sterilisasi (atau pengebirian), yaitu
praktek pengobatan secara permanen yang dapat mencegah reproduksi.
Jika tolak ukur
Gubernur adalah mengutamakan perekonomian serta keamanan masyarakat Bali, maka
tolak ukurnya adalah mengutamakan hak-hak hidup dan kesejahteraan satwa. Bila
itu terjadi, para aktifis pecinta satwa itu yakin akan menemukan titik temu
yang menguntungkan semua pihak. Dan finalnya, wabah Rabies di Bali akan dapat
teratasi dengan baik.
Dari pernyataan
ekstrem Gubernur Bali tersebut, maka para pecinta Satwa Bali mengajak seluruh
sahabat/teman/kerabat yang menjunjung tinggi Hak-Hak Hidup serta Kesejahteraan
Satwa untuk menggalang suara, agar Gubernur Bali, Made Mangku Pastika mencabut
pernyataannya tersebut, sebelum menjadi keputusan yang fatal. Semoga bisa
memberikan perubahan.
Sumber : www.kabarkami.com