Majunya sektor
pertanian akan tergantung juga inovasi teknologi yang diterapkan petani.
Sayangnya, hingga kini sebagian besar petani di Indonesia masih menggunakan
cara konvensional dalam mengembangkan usaha.
Keterbatasan
akses petani terhadap fasilitas pembinaan dan pendidikan menjadi salah satu
faktornya. Hal itu dirasakan Yulianus Pirso, petani berprestasi asal Maluku. Di
daerah tempat tinggalnya petani masih bercocok tanam dengan cara tradisional
dan sangat bergantung pada kondisi alam.
“Sebagian
besar petani di Maluku tidak memperoleh pendidikan untuk menemukan inovasi dan
teknologi yang tepat guna untuk memanajemen komoditas yang mereka usahakan,”
ujar Yulianus usai menerima Penghargaan Petani Perkebunan Berprestasi 2013 saat
Hari Perkebunan Nasional ke 56 di Semarang, Jawa Tengah beberapa waktu lalu.
Yulianus
sendiri merupakan sarjana akuntansi yang memilih profesi sebagai petani. Saat
ini dia memegang amanah sebagai ketua kelompok tani dari Kelompok Tani Saptani
Ulung, Pulau Seram, Kabupaten SPB Maluku. “Saya merasa terpanggil untuk membina
adik-adik saya yang petani notabene pendidikannya kurang,” ujarnya.
Yulianus
bersama kelompoknya sama mengusahakan tanaman cengkeh, coklat dan pala.
Komoditas ini merupakan komoditas yang diusahakan secara turun menurun oleh
warga Pulau Seram, Maluku. “Untuk kakao sendiri kami masih dalam masa
pengembangan,” katanya.
Namun
untuk komoditas cengkeh dan pala sudah menampakkan peningkatan hasil dan
harganya bagus di pasaran. Dua komoditi tersebut telah memberikan kontribusi
kepada masyarakat pedesaan karena harganya menjanjikan.
Yulianus
mengatakan, waktu jaman Orde Baru, penanaman sempat terhenti karena petani
tidak termotivasi karena harga cengkeh anjlok di pasaran. Namun setelah dibina
dan diyakinkan secara konsisten, petani kini mau lagi menanam. Apalagi harga
cengkeh kering bisa mencapai Rp 130 ribu per kilogram.
Yulianus
yang memiliki 1 ha lahan, selain mengembangkan ketiga komoditas tersebut, juga
mengusahakan komoditas sayuran. Untuk pemasukan per hari, dia bergantung pada
produksi sayuran seperti kangkung. Dalam satu hari dirinya mampu menjual 80
ikat sayuran dengan harga rata-rata Rp 3.000 per ikatnya kepada tengkulak.
“Satu hari bisa menghasilkan Rp. 240 ribu,“ ujarnya.
Yulianus
mengatakan, sebenarnya masih banyak potensi yang bisa dikembangkan di Pulau
Seram mengingat sebagian besar daerah ini masih berupa hutan yang belum
terjamah. “Potensi yang ada di Pulau Seram ini hanya akan bisa terjamah dengan
teknologi dan ilmu pengetahuan. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan
terjadi hari esok jika kita sangat bergantung pada alam saja. Karena itu
petani harus terus dibina dan diberikan pengetahuan,”
ujarnya.
Sumber : Suara Tani, Dinamika Petani | Penulis : Nuraini Ekasari sinag, Editor : Julianto