Tersisa
banyak cerita, mulai dari kesulitan kalangan kalangan petani hingga
permasalahan infrastruktur. Ternyata masyarakat dipedesaan belum bisa
melepaskan diri dari berbagai kesulitan elementer yang berhubungan dengan
kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Salah
satu daerah di sulawesi selatan terlihat bahwa ada kalangan petani belum mampu
melepaskan diri dari jeratan rentenir air yang sudah berlangsung bertahun-tahun
lamanya. Ketersediaan pengairan yang minim membuat petani harus berhubungan dengan pengusaha penyedia
air dengan sistem pompanisasi.
Bayarannya
bukan uang, tapi padi diukur dengan sebuah kaleng. Jika petani menuai 100
kaleng padi, maka pemilik pompa air mendapat 17 kaleng. Petani juga harus
mengambil pupuk pada pengusaha pompa atau pengusaha pupuk lainnya yang harus
dibayar dengan padi. Untuk satu zak pupuk, pemilik pompa mendapat lima kaleng.
Dengan
begitu, total kaleng padi yang diperoleh pengusaha itu sebanyak 22 kaleng dari
setiap 100 kaleng tersebut. “kalau
dihitung dalam nominal, ternyata nilai pupuk tadi sebesar Rp.150 ribu atau
lebih mahal Rp.60ribu dibanding harga pupuk dipasaran sebesar Rp.90ribu. Saya
tidak terlalu menyalahkan si pengusaha tadi, sebab dia juga membantu masyarakat
meski kesan rentenir kental terbaca. Namun, pemerintahlah yang paling dekat
untuk dikeluhkan perannya. Sebab disekitar tadi (sawah) ada sumber air yang
sebenarnya mampu mengairi ratusan areal sawah”
Yusran A. Yahya