"Kalau mau macul,
ya sepatunya dilepas," kata seorang guru "kelas sawah" sekolah
dasar di lereng Gunung Merapi Fransiskus Xaverius Riyadi.
Empat anak pun bergegas
melepas sepatu dari kaki masing-masing, sebelum kemudian bergantian memegang
cangkul untuk mengaduk-aduk berbagai bahan guna pembuatan kompos, di belakang
sekolah mereka.
Mereka adalah Ponidi,
Eka, Raras, dan Bela, siswa SD Kanisius Prontakan, Dusun Braman, Desa
Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang
bersama-sama lainnya, sedang mengikuti pelajaran pertanian sebagai muatan lokal
di sekolah tersebut.
Kawasan itu terletak
sekitar tujuh kilometer barat daya dari puncak Gunung Merapi. Pembukaan pelajaran "kelas sawah", pagi itu, dimulai oleh Riyadi
dengan menjelaskan tentang berbagai jenis sayuran, seperti caisim, loncang,
cabai, selada yang ditanam di teritis sekolah menggunakan beberapa batang pot
bambu dan puluhan "polybag".
Para siswa kelas III,
IV, V, dan VI sekolah itu terlihat secara saksama memperhatikan penjelasan yang
selain menyangkut usia pertumbuhan, juga saat yang tepat menanamnya, dan
berbagai hama serta penyakit yang sering menyerang komoditas hortikultura
tersebut dengan cara mengatasinya.
Beberapa di antara
mereka juga diminta Riyadi yang guru kelas IV sekolah itu untuk mengitung
jumlah biji sayuran yang bisa ditangkar menjadi bibit tanaman.
Pegiat Tim Edukasi
"Tuk Mancur", sekelompok masyarakat Desa Ngargomulyo untuk pendidikan
cinta alam Merapi, Bernadus Parno menyebutkan bahwa muatan lokal berupa
pelajaran pertanian di sekolah dasar itu sebagai "kelas sawah".
Pelajaran tersebut untuk
mendekatkan anak-anak sejak dini, dengan lingkungan alam dan pertanian di
kawasan Gunung Merapi. Apalagi sebagian besar masyarakat setempat hidup dari
pengelolaan pertanian, terutama aneka hortikultura.
Tim itu, sejak beberapa
tahun terakhir mendampingi para siswa berasal dari berbagai sekolah kota,
khususnya di Pulau Jawa, menjalani program "mendiami lingkungan"
(live in) di desa setempat, di kawasan Gunung Merapi.
"Kelas sawah"
dijalani siswa SD Kanisius Prontakan mulai Tahun Ajaran 2012/2013. Saat ini,
jumlah total murid sekolah tersebut tercatat 56 anak dengan enam guru,
sedangkan pelajaran "kelas sawah" setiap Jumat dan Sabtu.
Pada pelajaran seminggu
lalu, mereka diajak berkeliling pekarangan dan sawah sekitar gedung sekolah
itu, untuk menyiapkan media tanam dari lingkungan setempat, antara lain
mengumpulkan pupuk kandang, serasah, dan tanah.
Tim Edukasi "Tuk
Mancur" kali ini memberikan bantuan berupa bakteri pengurai bahan-bahan
untuk praktik pembuatan kompos dalam muatan lokal pelajaran "kelas
sawah" yang dijalani para siswa tersebut.
Tak berkesudahan
"Pelajaran
pertanian ’ora ono pedhote, donya pertanian niku ora umum’ (Tidak berkesudahan,
dunia pertanian itu luas, red.). Segudang," kata Parno yang panggilan
akrab oleh masyarakat kampung itu, Sibang seperti dikutip dari Antara, Senin
(29/7/2013).
Parno yang juga Ketua
Kelompok Tani "Sedulur Merapi" Dusun Gemer, Desa Ngargomulyo itu,
menjadi pengampu utama muatan lokal "kelas sawah" di sekolah
tersebut, tanpa bayaran.
Seraya berseloroh, ia
menyatakan tidak akan mengajarkan anak-anak tentang bagaimana mencari kayu
bakar atau menambang pasir Gunung Merapi.
"Kalau cuma cari
kayu bakar, terlalu gampang dan setiap anak langsung bisa. Pergi ke hutan,
kumpulkan kayu dan ranting kering. Selesai. Kalau menambang pasir, merusak
lingkungan, tidak sesuai dengan yel-yel mereka ’Anak Merapi, semangat budaya
punya harga diri’," katanya.
Dalam berbagai agenda
kebudayaan pertanian yang dijalani anak-anak kawasan Gunung Merapi selama ini,
mereka sering mengumandangkan yel-yel "Anak Merapi, semangat budaya punya
harga diri".
Kepala SD Kanisius
Prontakan Suster Maria Rosary mengatakan keputusan menerapkan pelajaran muatan
lokal "kelas sawah" untuk para siswa melalui pembicaraan intensif
antara pihak sekolah dengan orangtua murid dan Tim Edukasi "Tuk
Mancur".
"Lingkungan di sini
berupa areal pertanian subur karena Gunung Merapi, budaya masyarakat adalah
budaya pertanian. Kelak anak-anak itu yang akan meneruskan menggarap pertanian
di sini. Sejak dini kami pikirkan untuk pengembangan diri mereka terkait dengan
pertanian," katanya.
Sekolah itu memiliki
areal pertanian seluas sekitar 1.000 meter persegi yang bakal dimanfaatkan
untuk pengembangan praktik pelajaran "kelas sawah".
Pihaknya juga
merencanakan studi banding ke SD Pangudi Luhur Kalirejo, di kawasan pegunungan
Menoreh, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa
Yogyakarta, yang konon telah lebih dahulu menerapkan pelajaran pertanian kepada
para siswanya.
Pelajaran "kelas
sawah" membumikan anak-anak itu sebagai bagian masa depan komunitas petani
Gunung Merapi.
Sumber : Abdi Susanto, Liputan6.com