Diorama Penyuluhan Pertanian. Untuk mencapai target sasaran sejuta ekor pada tahun 2013, dengan modal awal jumlah populasi pada tahun 2007 sebanyak 668.622 ekor, maka tingkat laju kenaikkan populasi secara alamiah (net natural increase) minimal harus 9 % per tahun. Dalam mencapai sasaran tersebut Pemda Sulawesi Selatan perlu memfokuskan pada langkah operasional, sebagai berikut: (1) Memacu kegiatan IB melalui optimalisasi akseptor, (2) Perbaikan kawin alam melalui distribusi pejantan unggul dan sertifikasi pejantan pemacek, (3) Pengamanan gangguan reproduksi dan kesehatan ternak sapi, (4). Penjaringan dan penyelamatan betina produktif., (5) Pengembangan dan pemanfaatan pakan lokal, (6) Pengembangan SDM dan kelembagaan, dan (7) Penyediaan induk/bibit.
Jumlah
akseptor sapi betina untuk inseminasi buatan perlu
ditingkatkan dari 6,8 % pada tahun 2006 harus
ditingkatkan lebih dari 50 % dari populasi betina akseptor
yang ada diseluruh provinsi Sulawesi Selatan. Sisanya akseptor sapi
betina bisa dikawinkan dengan pejantan secara kawin
alami, khususnya didaerah-daerah yang tidak terjangkau dengan program
IB.
Demikian juga, indikator-indikator keberhasilan IB seperti S/C
yang rata-rata 2,5 perlu diturunkan menjadi rataan 1,5,
dan tingkat kelahiran hasil IB harus ditingkatkan dari 30 %
menjadi lebih dari 70 %. Jumlah akseptor program kawin alami dan
kelahiran KA, persentase akseptor kawin alam untuk tahun 2006
belum terinventarisasi dengan baik demikian juga kelahiran hasil kawin alam,
tetapi diduga sangat rendah karena keterbatasan pejantan di lapangan.
Oleh karena itu perlu meningkatkan ketersedian pejantan berkualitas
pada daerah yang tidak terjangkau oleh program IB dan meningkatkan
kelahiran kawin alami.
Berdasarkan hasil
pemeriksaan sapi betina yang akan dipotong di Rumah Pemotongan
Hewan (RPH) , 4-5 % betina bunting dan 7 – 9%
betina produktif. Hal ini mengurangi jumlah sapi betina
akseptor IB sebanyak 15 % pertahun . Penyelamatan sapi betina
produktif masih relatif rendah jumlahnya, data tahun 2001 –
2004 , rata-rata yang diselamatkan sekitar 40 ekor betina
produkstif, tahun 2005 meningkat menjadi 247 ekor dan tahun 2006
sebanyak 600 ekor. Rendahnya betina produktif yang
diselamatkan karena ketersediaan dana APBD dan APBN yang sangat
terbatas, keterbatasan kemampuan petugas RPH, integritas aparat
keamanan dan lemahnya pengawasan pemerintah kabupaten dan
kota. Tindakan penyelamatan sapi betina produktif
sebaiknya dilakukan oleh kelompok peternak mandiri melalui
dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dengan sistem bergulir (
revolving) , tidak perlu oleh pihak Dinas Peternakan dan pihak dinas hanya
sebagai fasilitator saja, sehingga biaya anggaran proyek penyelamatan
lebih kena sasaran dan dapat membeli betina produktif yang lebih banyak.
Penyelamatan betina produktif juga harus menyentuh larangan
perdagangan sapi bibit betina ke daerah lain. Hasil survai
tahun 2007 memperlihatkan masih ada pedagang ternak yang
mengantongi izin untuk mengeluarkan sapi bibit betina ratusan
ekor ke Provinsi Gorontalo. Sebaiknya perdagangan sapi
antar Provinsi distop dulu sampai populasi sapi
melebihi satu juta ekor.
Pengamanan gangguan
reproduksi dan kesehatan ternak sapi betina di sentra-sentra produksi
sapi potong perlu dilaksanakan secara berkesnambungan, khususnya terhadap
penyakit Brucellosis, Anthrak Penyakit Ngorok (SE), Diare dll .
Dengan adanya penyakit gangguan reproduksi, maka tingkat kelahiran anak
akan rendah dan jarak kelahiran akan panjang. Penyebaran
vaksin dan biaya operasional perlu disiapkan setiap tahunnya,
khususnya pada daerah-daerah pusat endemi. Pada era otonomi daerah
sekarang, bibit vkasin sebagian disuplai oleh pemerintah provinsi, tetapi biaya
operasionil untuk program vaksinasi tidak disediakan dan pemerintah
kabupaten juga tidak menglokasikan dana tersebut, sehingga program vaksinasi
tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Berdasarkan
data survai limbah tanaman pangan sebagi sumber pakan
ternak menunjukkan jumlah produksi bahan kering limbah tanaman
pangan di Sulawesi Selatan adalah 5,883,996 ton bahan kering, dimana
produksi bahan kering jerami padi terbesar sebanyak 4,312.125
(73,29%) , disusul jerami jagung sebanyak 1.167,874 (19,68%), jerami kacang
tanah 113.028 Ton, dan jerami kacang hijau 113.028 ton ( 1,92 %)
(Jasmal 2006). Dari data tersebut, menunjukkan jerami padi
dan jerami jagung memiliki produksi yang cukup tinggi
dibanding limbah tanaman pangan lainnya. Dari data potensi total bahan
kering, jika seekor sapi dewasa mengkonsumsi 5 kg/ekor/hari bahan
kering, maka diperkirakan jumlah sapi yang dapat dipelihara sekitar
3.055 ribu ekor sapi per tahun. Belum lagi limbah yang
berasal dari perkebunan kelapa sawit dan coklat yang masih belum
dikaji pemanfaatannya secara maksimal. Permasalahan di lapangan
adalah masalah penyuluhan bagaimana pemanfaatan limbah
dengan memanfaatkan teknologi pakan dapat diadopsi oleh para
peternak.
Pengembangan Sumberdaya
Manusia dan kelembagaan peternakan merupakan faktor penentu
dalam program peningkatan populasi. Penguatan kelembagaan yang ada
dilakukan dengan mengubah paradigma kebijakan pembangunan
peternakan asalnya bersifat Top Down menjadi kebijakan
berasal dari akar rumput atau bottom up. Penataan,
pemantapan dan pengembangan ide untuk membangun peternakan berkelanjutan dapat
dilakukan dengan mengubah ide dan gagasan yang dulu dari pemerintah menjadi
dari masyarakat atau pendekatan top down menjadi bottom
up planning. Salah satu kasus yang menarik di lapangan
dan bersifat top down adalah pembuatan kandang
kelompok dalam program GOS ( Gerakan Optimalisasi Sapi Potong) ,
dimana setiap kelompok ternak mendapat 75 ekor sapi untuk
dipelihara secara kelompok dan mendapat kandang ternak kelompok
yang didanai dari program tersebut. Ternyata kandang kelompok
yang dibuat tidak sesuai dengan keinginan peternak, dibuat oleh kontraktor
tanpa konsultasi dengan kelompok peternak, didirikan ditanah pribadi (
kepala desa /ketua kelompok) bukan tanah negara /tanah wakaf,
akhirnya para peternak kembali seperti semula dipelihara di tempat
masing-masing ( di kolong rumah) , dengan berbagai alasan; terlalu jauh untuk
kontrol ternak, kesulitan jaga malam di kandang kelompok, tidak semua anggota
berkomitmen dalam memelihara ternak secara berkelompok dll. Fakta
tersebut merupakan kebijkan yang bersifat dari atas tanpa memerhatikan situasi,
kondisi dan kebutuhan kelompok peternak. Upaya-upaya yang perlu dilakukan
untuk penguatan kelembagaan kelompok peternak (1) Penataan, pemantapan
dan pengembangan cognitive social capital melalui pemahaman
arti hidup dalam hubungan dengan alam sekitar bersikap adi luhung, ( 2)
Penataan, pemantapkan dan pengembangkan jaringan struktur sosial ekonomi
peternak dilakukan dengan pembentukan modal, meningkatkan partisipasi dalam
pengelolaan koperasi, memotivasi kerja untuk meningkatkan produktivitas dan
melakukan penyambungan kembali hubungan antar kelembagaan terkait yang telah
terputus, dan (3) Penataan, pemantapan dan pengembangan penggunaan teknologi
peternakan melalui kelayakan teknis, meliputi keterjangkaun teknologi,
biaya terjangkau, dan bersifatcompatable dengan lingkungan sosial.
Penyediaan
induk/bibit sapi Sulawesi Selatan telah dilakukan dengan
berbagai program, seperti PUKATI, GOS, Penyelamatan Betina
Produktif dan telah
mencanangkan anggaran P2SDS 2010 untuk pengadaan sapi
betina bunting ex impor sebanyak 2100 ekor, pengadaan sapi
Bali betina 6000 ekor dan pembelian sapi Betina
produktif 4500 ekor selama periode 2008 –
2010. Dari data ini terlihat bahwa
pengadaan jumlah betina akseptor masih belum mencukupi
dari target tambahan yang telah ditetapkan dalam program
P2SDS, pengadaan jumlah sapi Bali dan pembelian sapi Betina
produktif kalau tidak berasal dari luar Sulsel tidak akan menambah
jumlah akseptor baik untuk akseptor IB maupun kawin alam.
Faktor yang lebih penting
yang menentukan keberhasilan program sejuta ekor sapi di Sulwesi Selatan
adalah partisipasi dan keterlibatan pemerintah kabupaten / kota dalam
melaksanakankegiatan program yang telah dicanangkan , baik oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah provinsi. Hal ini disebabkan beberapa fungsi pembangunan
peternakan berada pada posisi di departemen/sektor lain. Misalnya,
di sektor perdagangan, industri, perbankan, dan badan usaha logistik. Belum
lagi dengan kebijakan otonomi daerah, yaitu fungsi dan peran SKPD di daerah
sering kali "tidak terhubung" dengan dinas sejenis di tingkat
provinsi atau pusat. Dampaknya, kebijakan sektor pertanian, dhi Sub-sektor
peternakan, sering kali menjadi terkatung-katung. Beberapa contoh kasus,
antara lain program swasembada daging sapi, menurut beberapa hasil evaluasi,
dukungan pemerintah di tingkat kabupaten / kota / provinsi terhadap program
nasional ini hanya sekitar 30 persen. Kesimpulannya, program yang cukup baik
tersebut tentu tidak akan berhasil dengan baik karena tidak didukung (tidak
mengakar) di tingkat operasional (kabupaten/kota dan provinsi). Dengan
memperhatikan dan menjalankan langkah-langkah operasional
yang disebutkan diatas, Insya Allah program sejuta ekor pada
tahun 2013 bukan program mimpi tapi dapat terealisasi .