Diorama Penyuluhan Pertanian-Selayang Pandang. Program peningkatan
populasi yang telah dilakukan pemerintah melalui berbagai
kegiatan antara lain : meningkatkan angka kelahiran dan impor ternak.
Salah satu cara meningkatkan angka kelahiran adalah melalui penggendalian
pemotongan sapi betina.. Namun fakta di lapangan membuktikan bahwa
pengendalian pemotongan betina sulit untuk dilakukan karena peternak rakyat
relatif miskin, penjualan ternak merupakan sumber penghasilan. Pencegahan
pemotongan hanya dapat dilakukan jika ada yang membeli untuk dipelihara lagi
dan itu hanya mungkin oleh pemerintah. Perlu adanya program yang
bertujuan untuk meningkatkan bisnis peternak melalui pola-pola Bantuan
Langsung Masyarakat (BLM). Pola ini akan memunculkan
beberapa implementasi diterapkannya prinsip-prinsip participatory
planning, pelayanan yang terdesentralisasi dan sesuai dengan kebutuhan petani (local
spesific). Bantuan langsung masyarakat tersebut dikelola
oleh kelompok peternak yang prinsipnya bergulir
(revolving) dan dapat memberikan perkuatan modal kelompok serta
dapat digunkan untuk membeli sapi betina produktif yang akan dipotong.
Peningkatan angka
kelahiran dapat juga dilakukan dengan meningkatkan jumlah kebuntingan pada
ternak betina produktif, baik melalui intensifikasi
program inseminasi buatan (IB) maupun mengimpor ternak betina
yang telah dikawinkan.. Pelaksanaan peningkatan angka kebuntingan dan
produktivitas melalui IB pada ternak sapi potong dan
kerbau di lapangan menghadapi beberapa kendala (Tolihere
2004) , antara lain: (1) Sistem beternak sapi potong dan kerbau umunya
ekstensif / liar digembalakan / dilepas di padang rumput luas atau di hutan,
sehingga menyulitkan untuk pelaksanaan IB. (2). Sistem
peternakan sapi potong dan kerbau bersifat tradisionil dan individual,
sehingga sulit untuk diubah pola pikirnya untuk mengikuti sistem
peternakan modern dan dihimpun dalam suatu sistem kerjasama kelompok atau
organisasi sosial. (3). Penyediaan pakan ternak sangat
tergantung kepada alam, dalam hal ini, pada waktu musim tertentu
dimana kuantitas dan kualitas kurang baik akan
berdampak negatif terhadap kondisi tubuh ternak dan akhirnya juga berdampak buruk terhadap aspek reproduksinya. (4).
Inseminator yang mengelola IB pada sapi potong adalah umunya
tenaga teknis yang kurang terlatih ( jam terbangnya rendah)
dibanding inseminator pada sapi perah. (5). Saran dan
prasarana yang belum memadai , seperti motor, akan menghambat
kelancaran pelaksanaan IB.
Pada beberapa daerah di
Sulawesi, adanya usaha – usaha penggemukkan menyebabkan
sapi dan kerbau jantan muda langsung dipelihara secara
intensif atau diikat di bawah pohon sehingga kawanan sapi betina
berahi yang digembalakan tidak bisa kawin secara alam dan hal
ini menyebabkan jarak kelahiran panjang ( 2 – 3 kali beranak per 5
tahun ) dan tingkat kelahiran rendah ( Sonjaya dan Thamrin, 1996, Sonjaya
2007). Pembentukan kelompok IB mandiri merupakan
usaha yang perlu dikembangkan terus pada berbagai
kabupaten, karena hanya kelompok peternak yang sadar akan perlunya
teknologi inseminasi buatan yang dapat menunjang peningkatan
populasi pada peternakan rakyat.
Impor sapi betina yang bertujuan
menambah populasi betina produktif ternyata tidak mencapai
sasarannya, karena setelah dipelihara oleh peternak sebagian
besar sapi betina impor tersebut memperlihatkan gangguan reproduksi
yang mengarah ke infertilitas sampai sterilitas. Impor ternak
bakalan untuk memenuhi kebutuhan daging berhasil menekan pemotongan
sapi local pada beberapa daerah, tetapi berdampak negatif terhadap usaha
penggemukkan sapi lokal, terutama peternak rakyat dan perusahaan
peternakan serta pedagang antar pulau. Hal ini berdampak buruk
terhadap usaha peternakan sapi lokal, Demikain juga ,
impor offal / jeroan sapi yang mencapai 90% dari total
Bahan Asal Hewan (BAH) merupakan ancaman yang sangat besar bagi usaha
peternakan sapi potong di Indonesia. Harga offal impor yang
murah saat ini digunakan untuk mensubstitusi daging yang pada akhirnya membuat
harga daging sapi terdistorsi Dampaknya menciptakan kurang
bergairahnya usaha peternakan ternak potong pada peternakan
rakyat.
Pada proyek PUKATI yang bertujuan
untuk mendistribusikan dan pengembangan ternak, khususnya
sapi tidak banyak membantu peningkatan populasi , yang
terjadi terjadi hanya perpindahan ternak antar kabupaten dalam satu
propinsi atau perpindahan ternak antar propinsi dalam satu kawasan regional.
Program Gerakan Optimalisasi
Sapi ( GOS) mempunyai tujuan yang sama dengan proyek
PUKATI bertujuan untuk meningkatkan populasi sapi dan
distribusi di kantong-kantong produksi sapi di berbagai kabupaten,
keberhasilannya masih belum sesuai dengan harapan. Permasalahan di
lapangan mulai dari kualitas bibit sapi yang disebarkan
kurang memenuhi persyaratan bibit, calon penerima kurang
berpengalaman , kesiapan kelompok tani dalam menyediakan
pakan ternaknya dan memeliharanya sampai kurangnya pendampingan
(penyuluhan) menyebabkan terlambatnya bibit sapi
melahirkan dan tingkat kelahiran rendah.
Berdirinya Balai
Inseminasi Buatan Daerah (BIB-D) pada awalnya adalah merespon kebijakan
Pusat dalam rangka mendekatkan produsen semen dengan pengguna dalam
memenuhi semen secara Tepat Waktu, Tepat Breed dan Tepat Jumlah (3T),
sehingga diharapkan dapat meningkatkan jangkauan pelayanan IB kepada para
peternak. Namun peran BIB-D Sulawesi Selatan yang ada
di Puca, Kabupaten Maros belum mencapai target tujuannya secara
optimal karena berbagai kendala teknis dan dukungan biaya operasional
dari pemerintah daerah belum maksimal. Kuantitas dan kualitas
produk semen beku masih belum dapat memenuhi sasaran yang
diinginkan. Pejantan unggul bangsa sapi impor (Limousin, Simmental,
Brahman ) tidak semuanya dapat bereproduksi, demikian juga pejantan
sapi Bali asal NTB dan Brahman Cross belum berproduksi karena
kendala teknis. Namun demikian, permasalahan lain
adalah belum dilakukannya sistem penjaminan mutu untuk
meningkatkan kualitas produk semen beku, sehinga tingkat kepercayaan
inseminator masih rendah dan lebih suka menggunakan bibitr semen
beku dari BIB Singosari atau Lembang.
Kelembagaan
kelompok peternak pada masa lalu berdiri bukan atas kesadaran
sendiri untuk memperjuangkan kebutuhan sarana produksi ternak secara
berkelompok, tetapi lebih ditekankan untuk memenuhi kebutuhan proyek. Hal
ini disebabkan pembangunan peternakan sebagai bagian integral dari pembangunan
di Indonesia, lebih mengikuti kebijakan top down, masyarakat
peternak / petani kurang diberi penyuluhan tentang pentingnya
berkelompok dalam menangani masalah pembangunan peternakan. Hal ini menyebabkan
sikap masyarakat selalu tergantung pada pemerintah, kurang kreatif dan bersifat
menunggu, sehingga pembangunan peternakan sulit berkelanjutan, meskipun
sumberdaya ternak dan daya dukung bersifatrenewable. Oleh karena
itu, agar berkelanjutan diperlukan peran nilai kearifan dan kualitas sumberdaya
manusianya yang bisa dilakukan melalui penguatan sosiokultural. Penguatan
sosiokultural pembangunan peternakan bisa dilakukan dengan penataan, pemantapan
dan pengembangan ide, nilai, norma, gotong royong, cognitive
social capitaldan jaringan sosial ekonomi.
Y.A.Y dari berbagai sumber