Pengawasan kawasan perairan di Sulawesi Selatan (Sulsel) lemah hingga
pengeboman ikan marak. Bahkan ada indikasi keterlibatan aparat
keamanan, sebagai backing pelaku hingga penyuplai detonator dan hulu ledak.
Idham Malik, Seafood Savers Officer for Aquaculture, WWF
Indonesia, dalam diskusi di Jurnal Celebes, Makassar, Senin (2/9/13)
menceritakan hasil penelusuran di sejumlah daerah di Sulsel terkait
praktik pengeboman ikan dalam beberapa bulan terakhir ini. “Saya
menemukan, antara lain, ada sindikasi dalam pengeboman ikan ini,
termasuk keterlibatan aparat keamanan dalam menyediakan detonator dan
hulu ledak,” katanya.
Bahan baku pembuatan bom ikan berupa pupuk matahari diduga diperoleh
dari penyelundupan oknum keamanan Malaysia dan Kalimantan Timur. “Mereka
bekerjasama menyuplai pupuk melalui Sungai Nyamuk. Setelah tiba di
Kalimantan, pupuk disebar ke seluruh kawasan penangkapan ikan di
Indonesia, termasuk Sulsel.”
Pupuk matahari dimasukkan ke jirigen atau botol ini sebenarnya hasil
didikan Jepang pada zaman revolusi dulu. Beberapa tahun lalu, katanya,
nelayan masih was-was menggunakan bom. Sebab, sebelum meledakkan, sumbu
harus dibakar dan dilempar. “Ceroboh sedikit, tangan dan tubuh bisa
terbakar dan hancur. Sudah banyak kejadian nelayan kehilangan tangan
atau meninggal akibat kesalahan menggunakan bom ikan ini,” ucap Idham.
Namun, kini kejadian kecelakaan jarang terjadi, karena nelayan sudah
lebih pandai menggunakan bom. Nelayan dimudahkan dengan detonator untuk
meledakkan bom dari jarak cukup jauh. Detonator mudah diperoleh di
toko-toko dengan harga bervariasi, Rp3–7 juta.
Pengeboman ini biasa melibatkan tim kecil. Dalam satu kapal tim ada delapan orang, terdiri atas nakhoda jolloro-kapal,
pengebom, pendayung, dan pengambil ikan di dasar kolam (penyelam). Tim
ini saling bekerjasama. Setiap orang mengerjakan peran masing-masing.
Para pengintai terlebih dahulu melihat posisi kedalaman kerumunan ikan,
kalau ikan terlihat mengkilat-kilat di kedalaman 10–15 meter ke bawah,
berarti ikan bisa dibom. Mereka juga diuntungkan pengalaman, telah
mengenal lalu lintas ikan.
Dalam sekali bom mereka biasa memperoleh 5–10 ton ikan. Guncangan bom
bisa mencapai radius 50 meter dan mematikan ikan yang terkena
guncangan. Ikan dipungut penyelam menggunakan keranjang yang diikat pada
badan. Ikan terhambur di dasar laut. Ikan hancur tidak diambil, biasa
sekitar 10-20 persen.
“Kadang masih banyak ikan tersisa, namun kapal sudah penuh. Terpaksa
ikan ditinggal di laut,” kata Idham menirukan pernyataan warga. Tanda
jika terjadi pengeboman berlangsung yaitu banyak burung-burung
beterbangan di tengah laut.
Ikan-ikan ini kemudian ditampung di kapal besar bermuatan 30 ton
bersama ikan-ikan dari kapal penangkap lain. Ikan dibongkar di sebuah
pulau, lalu disusun ulang ke kapal-kapal Jolloro untuk diangkut ke Makassar.
Idham menemukan indikasi kuat keterlibatan pemodal besar membiayai
nelayan mengebom. Bahkan para pemodal ini dibiayai lagi oleh pemodal
lebih besar. Ketika para nelayan mendapat masalah dengan aparat
keamanan, pemodal inilah yang menyelesaikan. “Jadi sulit memberantas
pengebom ini dan hampir semua tempat terdapat pengebom ikan. Alat
tangkap yang mereka bawa hanyalah kamuflase.”
Meskipun memperoleh ikan 5-10 ton per sekali ngebom, kehidupan
nelayan tidak beranjak dari keterpurukan. “Hasil terbesar pemilik modal.
Mereka selalu terlilit pinjaman, hingga hasil kerja biasa untuk
menutupi utang. Mereka pun bekerja tidak tiap hari, tapi hanya setengah
bulan dan maksimal 20 hari.”
Apa solusi bagi nelayan? Idham mengatakan, bisa dengan memberikan
alternatif mata pencarian, melalui usaha budi daya rumput laut.
“Sebenarnya ada beberapa contoh alternatif, yang dilakukan beberapa desa
di Sulawesi Tenggara. Sebagian besar masyarakat beralih ke usaha
budidaya rumput laut. Padahal itu sebelumnya termasuk daerah pengebom.”
Di Kabupaten Alor, NTT, masyarakat dan pemerintah berinisiatif
menetapkan wilayah atau zona bank ikan. Nelayan tidak boleh menangkap di
area itu
Sumber : Wahyu Chandra (http://www.mongabay.co.id)