Susu formula bukan satu-satunya
sumber omega-3, karena di sini sifatnya pun hanya ditambahkan, bukan alami ada
dalam susu itu. Saat ini, susu formula bayi memang didesain seilmiah mungkin.
Bahkan jika perlu, dibuat menyerupai atau mengungguli ASI baik dalam
kandungannya maupun performanya. Tapi bagaimana pun, seperti dituturkan Utami
Rusli, dokter anak yang juga penggiat ASI, tidak mungkin susu formula sama
persis dan sempurna seperti ASI. Zat-zat yang diconteknya, menurut Utami, boleh
sama atau bahkan lebih unggul. ”Tapi kemampuannya untuk diserap usus bayi,
nanti dulu,” ujarnya.
Docosahexaenoic Acid alias DHA kerap dijadikan bintang promosi karena diyakini mampu mendongkrak tumbuh kembang otak dan retina. Benarkah? Sejatinya, Omega 3, Omega 6, serta Omega 9 — yang sebetulnya sama saja dengan DHA.Untuk susu bayi 0 – 6 bulan, ‘senjata’ andalannya adalah laktoferin, zat yang hanya ada dalam ASI (Air Susu Ibu) untuk kekebalan bayi. Zat yang kedengarannya baru itu sebetulnya ‘barang lama’. DHA dan saudaranya, eicosapentaenoic (EPA), merupakan asam lemak Omega -3 yang sejatinya adalah jenis asam lemak tak jenuh rantai panjang. Berbeda dengan asam lemak non-esensial yang dapat diproduksi sendiri oleh tubuh, asam lemak ini harus disuplai dari luar tubuh. Sumbernya bisa macam-macam. Misalnya ikan laut sebangsa sarden atau salmon.
Menurut Utami, ASI dibuat dengan
komposisi sedemikian rupa sehingga semua zat yang terkandungnya terserap
sempurna oleh usus bayi. Zat-zat yang terkandung di dalamnya pun, adalah
zat-zat yang memang diperlukan untuk tumbuh kembang bayi secara optimal. Itu
sebabnya, kata Utami, penambahan DHA dalam susu formula bayi belum tentu
efektif. Pasalnya, DHA dan laktoferin dalam ASI dilengkapi dengan zat yang
membuat kedua bahan ini terserap sempurna oleh usus bayi. Tidak demikian dengan
susu formula. Pada susu ini, tidak ada satu zat pun yang mampu ‘memaksa’ usus
bayi untuk menyerap sempurna bahan tersebut.
Begitu juga zat besi dalam susu
formula. Kendati zat besi vital bagi bayi untuk mencegah anemia dan — lagi-lagi
— mendukung kecerdasan otak, namun susu formula bayi berzat besi tinggi tidak
selamanya bagus untuk bayi. ”Jika zat besi dalam ASI kendati sedikit tapi
diserap sempurna oleh usus bayi, tidak demikian dengan susu formula,” ujar
Utami.
Akibatnya, zat besi yang tidak
terserap itu akan tertinggal dalam usus bayi. Penimbunan zat besi yang terus
menerus, menurutnya, merupakan media yang ‘empuk’ bagi bakteri. Bisa
dibayangkan apa yang terjadi dengan usus yang dihuni banyak bakteri.
Menurut Utami, hampir semua iklan
susu ditanggapi secara ‘serius’ oleh konsumen. Sehingga, proses yang terjadi
kemudian bukan sekadar pengenalan produk tapi ‘pembodohan’ konsumen. Ia
mencontohkan seorang karyawati yang mengeluhkan gajinya tidak cukup untuk
membeli susu kaleng anaknya. ”Saat saya tanya ada apa dengan ASI-nya, ia jawab
ASI saja tidak cukup untuk membuat anak cerdas karena tidak mengandung DHA,”
ujarnya sambil geleng-geleng kepala.
Di atas usia enam bulan, katanya,
tanpa susu pun tidak masalah, asal asupan gizinya memadai. Hanya saja, di
Indonesia terjadi pengertian yang salah kaprah. Dalam piramida gizi yang
disosialisasikan, susu menduduki tempat utama sebagai penyempurna. ”Padahal
kalau di negara maju, kedudukan susu sejajar dengan bahan makanan lain,”
ujarnya.
Sumber : Livestockreview.com-June 4, 2013