Oleh : dr. Salma Oktaria
Bagaikan sebuah virus, metoda pengobatan menggunakan
herbal telah beredar luas di penjuru dunia. Dan tidak sedikit stasiun televisi
yang memiliki program khusus untuk membicarakan metoda pengobatan tersebut,
bahkan ada yang mengobati pasien hanya dengan mendengarkan keluhan melalui
saluran telepon.
Metoda Pengobatan Herbal Ditinjau Aspek Medis
Sejarah pengobatan di dunia sebenarnya telah dimulai
sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Pada awalnya, metoda pengobatan dilakukan
menggunakan berbagai jenis tumbuhan dan hewan. Hal ini merupakan pencerminan
dari kebudayaan dan kepercayaan magis mereka saat itu, yaitu adanya kemampuan
sihir, animisme, dan kehadiran dewa-dewi.
Kini, bahkan ketika ilmu pengetahuan telah
berkembang sangat pesat, pelayanan kesehatan menggunakan metoda pengobatan
tradisional masih banyak dimanfaatkan, baik di negara yang sedang berkembang
maupun negara maju. Menurut WHO, hingga 80% penduduk di negara berkembang dan
65% penduduk di negara maju telah menggunakan obat herbal.
Disebutkan juga bahwa faktor pendorong terjadinya
penggunaan obat herbal di negara maju antara lain adalah usia harapan hidup
yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronis meningkat, adanya
kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu (seperti kanker),
serta meluasnya akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia. Dan data
dari sekretariat Convention on Biological Diversity (CBD) menunjukkan angka
penjualan global obat herbal dapat menyentuh angka 60 miliar dollar AS setiap
tahunnya.
Di Indonesia sendiri, obat herbal telah digunakan
sejak berabad-abad yang lalu. Hal ini dapat dibuktikan dari penemuan naskah
lama pada daun lontar husodo (Jawa), Usada (Bali), lontarak pabbura (Sulawesi Selatan),
dokumen serat primbon Jampi, serat racikan Boreh Wulang Ndalem, dan relief
candi Borobudur yang menggambarkan seseorang yang sedang meracik obat (jamu)
dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa obat-obat modern
yang ada saat ini lahir dari sebagian obat tradisional. Sebut saja quinine®
yang berasal dari tanaman kina sebagai obat malaria, dan vincristine® (dari
tanaman tapak dara) sebagai salah satu obat kanker. Kedua obat ini sebenarnya
telah digunakan sejak dahulu sebagai obat tradisional, namun dosisnya belum
dapat ditentukan. Baru setelah ditemukan suatu teknik pemurnian substansi yang
efektif, takaran dan khasiatnya dapat diukur dan dikembangkan menjadi obat
modern.
Kategori Obat Tradisional
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia (Permenkes RI) nomor 246/Menkes/Per/V/1990, yang dimaksud dengan obat
tradisional adalah setiap bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut,
yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman.
Obat tradisional tersedia dalam berbagai bentuk yang
dapat diminum (bubuk, kapsul, tablet), ditempelkan pada permukaan kulit atau
mukosa (suppositoria/yang dimasukkan ke dalam lubang kemaluan atau lubang
anus), tetapi tidak dalam bentuk obat suntik atau gas.
Pengobatan Tradisional = Ilmu Kedokteran Modern ?
Ilmu kedokteran modern berkembang pada akhir abad
ke-18 dan awal abad ke-19 di Inggris, Jerman, dan Perancis. Disebut juga ilmu
kedokteran ilmiah dimana setiap pengobatan yang diberikan harus dibuktikan
melalui proses uji klinis. Kedokteran berdasarkan bukti (evidence-based
medicine) ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan cara kerja yang efektif
dengan menggunakan metode ilmiah serta informasi sains global yang modern.
Begitupun dengan obat tradisional. Agar setara
dengan obat modern, obat tradisional harus melalui berbagai tingkatan uji
klinis. Berdasarkan tingkatan uji klinisnya, obat tradisonal dapat digolongkan
menjadi jamu (empirical based herbal medicine), obat ekstrak alam (obat herbal
terstandar/scientific based herbal medicine), dan fitofarmaka (clinical based
herbal medicine). Jamu adalah jenis herbal yang belum melalui proses uji
kelayakan, hanya berdasarkan pengalaman masyarakat, sedangkan obat tradisional
telah diuji khasiat dan toksisitasnya (kandungan racun), namun belum
diujicobakan penggunaannya pada pasien.
Tingkat herbal yang saat ini telah diakui oleh ilmu
kedokteran modern adalah yang telah melalui tiga uji penting, yaitu uji
praklinik (uji khasiat dan toksisitas), uji teknologi farmasi untuk menentukan
identitas atau bahan berkhasiat secara seksama hingga dapat dibuat produk yang
terstandardisasi, serta uji klinis kepada pasien. Agar setara dengan obat
modern, obat tradisional harus melewati berbagai proses tersebut. Apabila telah
lulus uji klinis, obat herbal tersebut kemudian disebut fitofarmaka yang layak
diresepkan oleh dokter dan dapat beredar di pusat pelayanan kesehatan.
Sejauh ini telah beredar 5-7 obat fitofarmaka yang
sesuai standar farmasi modern, kesemuanya memiliki logo fitofarmaka pada
kemasannya, yaitu tanda "akar hijau" menyerupai tanda salju dengan
latar belakang berwarna kuning muda, dikelilingi lingkaran berwarna hijau muda.
Logo ini merupakan tanda sertifikat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan
POM).
Departemen Kesehatan sendiri telah mengadopsi
pengobatan herbal dalam pelayanan medis dengan sebutan pengobatan komplementer
melalui Kepmenkes 1109/Menkes/Per/IX/2007 mengenai Penyelenggaraan Pengobatan
Komplementer Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan Kepmekes
1076/Menkes/SK/VII/2003 mengenai Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional.
Bahkan sejak tahun 2003 telah dibentuk Asosiasi
Pengobatan Tradisional Ramuan Indonesia (ASPERTI), dan saat ini Universitas
Indonesia (UI) sedang mempersiapkan Fakultas Kedokteran Herbal (Komplementer)
sebagai jurusan baru yang rencananya akan dibuka pada tahun 2012. Sebenarnya
ilmu kedokteran modern tidak menyangkal efektivitas metoda pengobatan
tradisional untuk penyakit tertentu, selama telah dibuktikan melalui uji klinis
yang memadai, atau pengobatan dengan metoda konvensional sudah tidak
bermanfaat.
Bagaimanapun, pengobatan tersebut sebaiknya
diberikan setelah melalui pertimbangan-pertimbangan mengenai data pasien dan
hasil pemeriksaan fisis yang memadai, mengingat fungsi tubuh yang berbeda
setiap individu. Jadi tidak dapat diputuskan hanya melalui perbincangan di
telepon.
Sebenarnya prinsip obat tradisional tidak jauh berbeda
dengan obat modern. Apabila tidak digunakan secara tepat juga dapat
mendatangkan efek buruk, sehingga tidak benar pernyataan yang beredar di
masyarakat bahwa obat tradisional sama sekali tidak memiliki efek samping. Dan
perlu diketahui bahwa tidak semua herbal memiliki khasiat dan aman untuk
dikonsumsi, sehingga kembali lagi kepada para konsumen agar lebih teliti dalam
memilih obat tradisional yang digunakan. Harus pula dibedakan antara istilah
pengobatan komplementer dengan pengobatan alternatif.
Maksud pengobatan komplementer adalah bahwa obat
tradisional tidak digunakan secara tunggal untuk mengobati penyakit tertentu,
tetapi sebagai obat pendamping yang telah disesuaikan dengan mekanisme kerja
obat modern agar tidak terjadi interaksi yang merugikan, sedangkan istilah
pengobatan alternatif menempatkan obat tradisional sebagai obat pilihan
pengganti obat modern yang telah lulus uji klinis. Bahkan pasien kanker yang
mencari pengobatan ke Guangzhou mendapat obat modern dengan dibekali herbal
cina sebagai suplemen. Jadi jangan hanya karena meletakkan harapan yang begitu
besar kepada metoda pengobatan tradisional sehingga metoda pengobatan modern
dilupakan begitu saja. Terkadang pengobatan tradisional yang tidak tepat guna
hanya akan menunda proses pengobatan yang lebih optimal, sehingga alih-alih
sembuh justru membuat penyakit semakin memburuk dan terlambat ditangani.