Gerakan pelestarian lingkungan sudah sejak lama
dikumandangkan. Gebrakannya timbul tenggelam. Tidak pernah konsisten berapi-api
tetapi juga tidak pernah menghilang sama sekali. Kalau ada transfusi ‘dana
segar’ maka gelora dan teriakannya benar-benar membahana, menggetarkan langit
dan bumi, bahkan penghuni surga pun mungkin dibuat terkejut. Tetapi kalau dana
segar tidak ada, para penggerak tiba-tiba karena sesuatu hal tidak bisa
mengajak teman-temannya, atau negara tidak terlalu mendukung karena alasan
ekonomi dan lain sebagainya, gerakan ini menghilang dari panggung utama, walau
mungkin tetap bermain pada panggung yang lebih kecil dan tersembunyi.
Gerakan ini tentu saja penting dan tidak apa-apa
jika ada dan jumlahnya banyak. Mengapa? Karena sebagai selingan kegiatan ini
merupakan selingan kegiatan yang menarik untuk disimak, diperhatikan,
diapresiasi, atau bahkan jika perlu ya diikuti. Hanya saja jika paradigma
berpikir utama yang menjadi landasan gerakan ini tidak dibenahi maka seperti
yang menjadi salah satu pemikiran dalam catatan yang dibuat ini, akan ada
banyak tindakan yang kurang pas.
Pelaku utama pelestari lingkungan sebenarnya berada
di desa. Adalah orang-orang desa yang tahu persis bagaimana lingkungan harus
dilestarikan. Mungkin mereka tidak mendapat kesempatan mengikuti pendidikan
yang memadai, tetapi adakah ruang kelas atau ruang kuliah yang lebih hebat dari
alam sendiri? Pendidikan terbaik ada di alam. Bahkan guru terbaik pun alam
sendiri. Bukan yang lain.
Orang desa yang lugu dan sederhana jika ditanya
apakah mereka sudah melestarikan lingkungan mungkin akan melengak dan menatap
kembali pada si penanya. Bukannya tidak memahami makna pertanyaan itu cuma
mungkin merasa aneh saja mengapa pertanyaan semacam itu dapat terlontar? Pada
mereka lagi? Mereka mungkin tidak merasa melestarikan lingkungan dan segala
macam sebutan lainnya, tetapi yang jelas mereka tidak pernah mengambil dari
alam secara berlebihan. Yang diambil hanyalah sebatas yang diperlukan. Tidak
pernah lebih dari itu. Dan alam dengan senang hati menyediakan keperluan yang
diperlukan itu. Alam mungkin seperti ‘dirusak’ tetapi alam menyukai itu semua
karena dia dapat memulihkan dirinya sendiri tepat pada waktunya.
Itu orang desa. Sedangkan orang kota, dengan
pendidikan yang memadai, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berada
ditangannya, dengan slogan pelestarian lingkungan dan pembangunan
berkesinambungan yang selalu dikumandangkannya, justru melakukan sebaliknya.
Orang kota sepertinya ‘tidak merusak’, sepertinya sedang bergiat melestarikan
lingkungan, tetapi mereka mengambil terlalu banyak hal dari alam, sehingga alam
terengah-engah memulihkan dirinya sendiri dalam waktu yang cukup lama.
Lalu mana dari dua kelompok orang ini yang
benar-benar telah melestarikan lingkungan? Anda semua tahu jawabnya, kan?
sumber : green.kompasiana.com