Di sejumlah besar daerah jerami masih
dianggap sampah bahkan akhirnya berakhir dengan dibakar karena tak bermanfaat.
Padahal, produk sampingan dari usaha pertanian padi tersebut sebenarnya punya
potensi besar sebagai bahan dasar biofuel, bahan bakar ramah lingkungan.
Tidak hanya akan memberikan nilai tambah,
pemanfaatan jerami juga mencegah pelepasan karbon ke atmosfer saat terbakar.
Siklus karbon ke atmosfer dapat diperpanjang dengan mengubahnya menjadi
biofuel.
Terobosan tersebut telah dilirik produsen
ethanol di China. Apalagi, sebagai salah satu negara terbesar, setiap tahun
sekitar 230 juta ton batang jerami dibuang begitu saja. Tiga fasilitas
pengolahan jerami menjadi biofuel telah dibangun sampai saat ini.
Namun, untuk mengolah jer ami bukan hal
yang mudah. Batang jerami yang kaya selulosa tidak mudah terurai bakteri yang
biasa dipakai dalam proses pembuatan biomassa. Para peneliti memanfaatkan
larutan alkali sodium hidroksida untuk melunakkannya sebelum proses fermentasi
atau peragian.
“Semuanya dilakukan pada suhu kamar, tanpa
energi tambahan, dan butuh sedikit air, sehingga secara keseluruhan prosesnya
sederhana, cepat, efektif biaya, dan ramah lingkungan,” ujar Xiujin Li dari
Universitas Teknologi Kimia Beijing.
Metode yang sama sebenarnya juga sudah
digunakan untuk memproduksi ethanol di lebih dari 30 negara. Namun, bahan yang
diolah adalah tebu, jagung, dan kedelai yang notebene merupakan sumber pangan
utama manusia, bukan bahan buangan.
Sementara di China, jerami diolah agar
menghasilkan biogas. Penggunaan larutan tersebut telah terbukti meningkatkan
produksi campuran gas methan dan karbon dioksida hingga 65 persen. Residu atau
sampah olahannya juga bermanfaat sebagai kompos.
“Dengan cara ini, jerami benar-benar
didaur ulang seluruhnya,” ujar Li. Memang masih ada gas karbon diosida yang
dilepaskan, namun kadarnya tak sebesar jika jerami dibakar.
Pilot proyek tiga pabrik dibiayai
sepenuhnya oleh Pemerintah China melalui Program Riset dan Pengembangan
Teknologi Tinggi. Sebagai negara agraris penghasil padi, bukankah teknologi
semacam ini sangat tepat di Indonesia daripada menggunakan singkong atau kelapa
sawit.