Sudah sejak lama sekantung benih
berdiam di sudut ruang pada sebuah gubug diatas sepetak tanah milik seorang
petani tua. Terhimpit diantara lokasi perumahan real estate dan jejeran ruko.
Yaaa, 7 tahun tentu bukan waktu yang
pendek.
Sekantung benih itu sudah terlalu
lelah menantikan saat-saat indah, terbenam dalam gumpalan tanah beraroma humus
yang membangkitkan hasrat tumbuhnya.
Hari ke hari, minggu berganti bulan,
bulan menahun, tahun berganti…
Yang ada dihadapannya bukan hamparan
lahan, tapi wajah murung petani yang selalu memandangnya, menjumput, mengelus
lalu menaburnya ke dalam kantung untuk disimpannya kembali.
Pada tahun pertama, kedua dan
ketiga, di tengah penantian, benih-benih itu masih bisa tersenyum. Karena
selain mengelusnya, sang petani sering menciumnya, menghirup bau biji-bijian
yang membuat wajah keruh sang petani sedikit berseri. Tapi memasuki tahun
keempat, si benih tak lagi merasakan sentuhan pucuk hidung si petani tua. Dia
tak tahu mengapa, apakah karena petani itu sudah mulai bosan bermain benih atau
mungkin istrinya mencemburui keintiman mereka.
Hingga pada satu hari, di tahun
kelima, sang petani itu kembali menciumnya tapi sambil mengeluarkan kata-kata
yang menyinggung rasa si benih; ‘’aahhh,
aromamu semakin tak sedap saja, apek bercampur pesing.’’ Lalu petani tua
itu sedikit menghempasnya ke dalam kantung. Benih-benih itu marah, dia merasa
terhina dan tak terima dengan perlakuan petani tua. ‘’Aku memang bau, apek dan pesing,’’ ucapnya dengan kesal. ‘’Bertahun-tahun kecoak dan tikus singgah
diatas kantung yang melindungiku. Bahkan tidak jarang, cucu petani tua itu
ngompol ketika dia duduk diatas kantungku. Tapi, bukan berarti aku bisa dihina
dan diperlakukan semena-mena. Sebagai benih, aku punya harga diri, punya hak,
dan aku ingin menuntut hakku.’’
Begitulah, kemarahan si benih
semakin menggumpal dan kesedihan sang petani semakin membuat wajah murungnya
terpahat. Menegangkan syaraf di kedua ujung bibirnya, dan membuatnya semakin
sulit tersenyum.
Lalu pada satu malam, memasuki tahun
ketujuh dalam penantian yang sepi, benih itu terjaga dari tidur lelapnya.
Dirasakannya tetesan air menyusup hingga ke setiap lekuk tubuh dan lubang
pori-pori. Hampir dia bersorak, mengira tetesan itu adalah butiran hujan yang
lama dirindu. Matanya yang terbelalak membuat rangkaian huruf pada kata ‘’horeeeeeee’’ terburai, lalu jatuh
menumpuk di tenggorokannya, membuat nafasnya terhenti sejenak. Wajah petani tua
berada begitu dekat, butir-butir hujan kesedihannya membasahi seluruh permukaan
kantung. Si benih jatuh iba, hatinya adalah rasa yang bekerja, dan dia tahu
kesedihan adalah hati yang terluka.
Susah payah petani tua itu
membendung laju air dari matanya. Dia mengubah isak menjadi ratap. Diraupnya
benih dan digenggamnya erat. Hatinya terkaparrr.., tangannya gemetarrr..,
bibirnya bergetarrr... Ditatapnya benih itu lekat-lekat, ‘’Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Amarah ini sudah terlalu
menggumpal dan aku tak lagi mampu menahannya menjadi ratap duka.’’
Dilepaskannya benih-benih itu dari genggamannya. Diambilnya sejumput lalu
diburaikannya kembali, begitu terus dia lakukan sambil melanjutkan ratapannya
dengan air mata yang mulai mengering. ‘’Aku
tak tahu lagi, apakah masih mampu untuk bertahan. Pertaruhanku tinggal sepetak
tanah yang kutempati ini. Dengan sedikit halaman untuk menanam pisang dan
singkong agar aku, istri dan anakku bisa menyambung hidup.’’ Kini tangan
petani tua itu menggegam ujung-ujung pembungkus si benih. Lalu mendekatkannya
ke dada dan mendekapnya erat, sambil berkata; ‘’keinginanku untuk dapat menyemaimu pupus sudah. Rasanya aku sudah
terlalu tua untuk merebut kembali tanah tempat rumah-rumah gedong itu berdiri.
Terlalu kokoh untuk kurubuhkan dan terlalu senja waktuku tersisa.’’
Benih-benih dalam kantung itu
tertegun. Pahamlah dia kini, kenapa petani tua itu tak kunjung menyemainya. ‘’Bagaimana mungkin aku bisa menciumi bau
tanah, sedangkan lahan untuk bertanam tak lagi tersedia,’’ pikirnya.
Kini benih-benih yang masih terkurung
dalam kantung itu mengalami gejolak batin yang luar biasa. Hari-hari berikutnya
adalah hari-hari yang penuh kegelisahan. Dia memiliki kesadaran penuh, bahwa
sebagai benih dia punya hak yang harus dipenuhi, dan dia akan berjuang untuk
itu. Tapi di sisi lain, hatinya tersayat, luka sang petani adalah lukanya.
Perjuangan petani tua itu untuk mempertahankan lahannya adalah juga perjuangan
memenuhi hak si benih untuk disemai dan tumbuh.
Berhari-hari petani tua dan
sekantung benih saling menyapa dengan tatap, saling meraba dengan rasa, saling
bicara dalam diam. Komunikasi mereka adalah pertautan dua batin yang saling
bergolak. Kemarahan mereka melahirkan hasrat perlawanan yang semakin sulit
dibendung. Hingga kemudian lahirlah sebuah kesadaran baru dari keduanya.
Kesadaran untuk melakukan pemberontakan terhadap penindasan dan penderitaan
yang mereka rasakan.
Pagi masih berselimut kabut ketika
petani tua itu menjumput sebutir benih, dilekatkannya di kulit tangannya yang
keriput. ‘’Aku adalah benih, benih adalah
aku, aku dan benih adalah kehidupan,’’ begitu dia berucap. Jiwanya
mendengar kehendak dari sebutir benih yang menempel di kulitnya. Bergegas, sang
petani tua membawa benih-benih itu menuju sepetak lahannya. Dikeruknya
segenggam tanah basah dan membalurkannya ke tangan. Dikeruknya kembali dan
membalurkannya ke dada, begitu seterusnya. Hingga sekujur tubuhnya menghitam
berbalur tanah. Lalu, dia pun memercik-mercikkan air, dan membenam benih-benih
itu ke tanah di seluruh permukaan tubuh hingga menancap ke pori-porinya. Kulit
tubuhnya yang keriput terluka, luka itu mengalirkan darah, tapi dia tak lagi
merasakan derita.
Diatas sepetak tanah, dibawah
matahari pagi, tubuh petani tua itu terbujur. Matanya terpejam. Dengan doa dia
mengirimkan cahaya fajar untuk istri, anak, cucu dan orang-orang yang
dikasihinya. Lalu, dia mulai bermimpi memeluk istrinya, membelai dan menyentuh
bibirnya yang keriput. Perempuan tua yang cintanya jauh lebih besar dari
tubuhnya sendiri. Dalam kesadaran yang tinggal setengah, bibir petani tua itu
bergerak lemah, menyapa sang istri yang kini sudah bersimpuh disisinya, memeluk
dan meratap. Dengan lirih petani tua itu berkata; ‘’Maafkan aku istriku, tapi inilah caraku mencintaimu, mencintai anak
dan cucu kita, juga tanah kita.’’ Untuk terakhir kali, bibir petani tua
yang mulai membiru kembali bergerak dan berkata dengan sangat pelan kepada
istrinya; ‘’dalam keyakinanku, aku akan
tetap hidup, tumbuh dan selalu bersamamu, bersama kehidupan.’’ Istrinya
merasakan perih, butir air matanya membasahi tanah di tubuh suaminya. Tapi air
mata itu membuat benih-benih di tubuh suaminya semakin segar, dan semakin siap
untuk bertumbuh.
Kemudian, semua menjadi hening.
Hanya darah yang masih menetes dari setiap lubang pori-pori tempat benih
ditancapkan. Tetesan darah itu membasahi tanah, memberi protein bagi humus.
Menumbuhkan akar-akar halus yang menyatukan; tubuh petani tua itu, benih dan
tanah. Lalu, matahari menghangatkan rahim yang lama tersimpan dalam setiap
butiran benih. Tanaknya memecah kulit, dan melahirkan kuncup hijau, pertanda
kehidupan baru, dimulai.
Benih, petani tua, tanah, air dan
matahari. Semua menyatu dalam sebuah ruang. Pemberontakan itu begitu sempurna.
Hari pertama, benih-benih itu bertumbuh disetiap inci tubuh sang petani.
Kemudian, hari kedua, seratus benih baru lahir. Hari ketiga, seribu benih baru
kembali lahir. Hari keempat seratus ribu benih, hari kelima sejuta benih,
begitu seterusnya. Lalu benih-benih itu menjadi padi, jagung, kacang, cabai,
cengkeh, karet, coklat, kelapa, dan sebagainya, dan sebagainya.
Benih dan petani tua, menyatu dan
bertumbuh disetiap jengkal lahan yang hanya sepetak. Lalu mereka bergerak, tak
mengenal keterbatasan lahan. Mereka tumbuh di lahan tetangga, di jalan-jalan,
di ruko-ruko, di tembok-tembok rumah mewah di real estate, di kantor kelurahan,
kantor kecamatan, pos polisi.
‘’Aku adalah benih, benih adalah aku, aku dan benih adalah
kehidupan. Dengan tanah, air dan matahari, pemberontakan ini menjadi
sempurna,’’
suara petani tua itu menggelegar dalam lorong jiwanya. Membentur
dinding-dinding pembuluh nadinya dan membangunkan benih-benih. Lalu,
pemberontakan itu kembali membesar. Benih dan petani itu bergerak dengan cepat
menuju kantor-kantor pemerintahan, lapangan udara, sumur-sumur tambang.
Disudut-sudut kota, di rumah-rumah
ibadah, di sekolah-sekolah, di terminal, stasiun, di kantor-kantor,
pabrik-pabrik, di rumah-rumah, orang-orang semakin riuh. Dalam penantian mereka
gelisah, dan sebagian merasa; ‘’inilah
saatnya.’’
Takut akan lenyapnya kekuasaan dan
kematian yang tak diinginkan, sang jenderal membacakan pidato kenegaraan.
Dengan ini mengatakan; ‘’telah terjadi
makar dan upaya pemberontakan, sehingga negara dalam darurat militer.’’
Tapi semua sudah terlambat,
pangkalan militer kini sudah menjadi sawah-sawah, kebun, ladang dan hutan.
Benih juga telah tumbuh di panser-panser, di bayonet dan senjata-senjata.
Tembakan menjadi sia-sia, karena dari peluru yang berhasil ditembakkan, hanya
mempercepat benih-benih itu tumbuh dan merambat.
Benih dan petani tua terus bergerak,
bertambah dan bertumbuh. Lalu, dari kejauhan, di lembah-lembah, gunung-gunung,
padang-padang, kampung-kampung, sudut-sudut, terdengar suara-suara, saling
bergumam, bergemuruh, lalu berteriak; ‘’REVOLUSIII, REVOLUSIIII…!’’
(puisi Ajeng Kesuma, bgr, 241011)
(mengenang yang tertindas; menjadi
benih yang selalu tumbuh di jiwa para pemberontak)