Bumi Lasinrang Kabupaten Pinrang,
selain dikenal sebagai sentra produksi padi/beras di Sulsel, juga terkenal dengan
produksi buah salaknya. Komoditas salak yang banyak dibudidayakan di daerah ini
adalah jenis gula-gula.
Petani di Desa Katomporang,
Kecamatan Duampanua, Pinrang, menamai salak gula-gula dengan sebutan “salak
muspida”. Bahkan karena produksi salak menjadi salah satu ikon
pertanian/perkebunan di daerah ini, bila ada hajatan buah salah jadi sajian.
Hanya saja, kejayaan petani salak di
daerah ini perlahan-lahan meredup. Itu terjadi akibat banyaknya tanaman salak
yang rusak akibat seringnya banjir akibat luapan Sungai Saddang. Tak
hanya itu saja, kendala lain yang dihadapi petani salak adalah memasarkan
produksi.
Selama ini, selain di lempar di
pasar-pasar tradisional, buah salak juga dijajakan di pinggir-pinggir jalan.
Ternyata dengan sistem penjualan seperti itu, tidak bisa mengcover semua
produksi petani. Akibatnya sebagain produksi rusak.
“Harus dilakukan pembudidayaan
tanaman salak. Saat ini pembudidayaan yang ada masih sebatas upaya petani saja,
belum ada sentuhan dari pemerintah,” ungkap Kepala Desa Katomporang, Rustam
Serrang, Minggu, 11 November lalu.
Desa yang berjarak sekira 20 km
sebalah utara ibu kota Kabupaten Pinrang ini, berpenduduk sekitar 3015 jiwa
(715 KK). Desa ini memiliki areal pertanahan seluas 1.150 hektare, di antaranya
1.000 hektare sawah. Sisanya lahan perkebunan salak.
Dengan budi daya salak muspida ini,
selain mempertahankan dari kepunahan, tidak menutup kemungkinan dari areal
kurang lebih 100 hektare saat ini, bisa menjadi 200 hektare.
Khusus perkebunan salak, lanjut
kades Katomporang, dibutuhkan pembudidayaan salak muspida, sedikitnya 40
hektare. Namun, dengan keterbatasan bibit sehingga sebagian lahan perkebunan
dialihkan menjadi areal tanaman padi.
“Harga yang tidak menentu serta
terbatasnya pembibitan menjadi salah satu hambatan. Belum lagi kalau musim
panen sebagian produksi rusak karena terbatasnya pemasaran,” tambah seorang
petani salak, Muslimin, 45 tahun.
Muslimin mengakui, produksi salaknya
memang mengalami peningkatan, namun banyak yang rusak akibat tidak terserap
pasar.
Guna menyelamatkan petani salak,
kata Muslimin seperti yang dikutip dari FAJAR online, seharusnya
pemerintah melakukan pembinaan. Termasuk membantu mencarikan investor untuk
mengelola produksi petani.
“Kalau petani Pulau Jawa, bisa
mengembangkan kelebihan buah salaknya menjadi kripik salak. Kenapa Pinrang
tidak?” katanya.
Sejalan dengan Muslimin, Yasseng, 50
tahun, mengaku memiliki luas kebun salak 25 are dengan 500 pohon. Tanaman
salaknya, ada sekitar 125 pohon yang membutuhkan pembudidayaan dengan mengembangkan
bibit salak pilihan. Alasannya, memanam pohon salak, dianggap lebih
memudahkan bagi petani meski jarak waktu tanam dengan padi lebih lama. Tapi
sekali penen, kata dia, hasil buah salak ini bisa melebih hasil penjualan padi.
“Petani hanya membutuhkan investor
terutama investor dalam pembudidayaan bibit salak muspida. Karena setelah
berhasil sudah dipastikan hasil buah salak yang setiap tahunnya melimpah banyak
terbuang percuma, ” harapnya.
Pemilik kebun salak lainnya, Hj
Darawati, yang mengaku memiliki 650 pohon salak dan di antaranta 200 pohon
salak muspida, tidak tahu mau dikemanakan buah salaknya yang kini melimpah. Ia
menyebut, dulunya tahun ia bisa menjual salaknya sekarang (plastik pupuk ukuran
50 kg) terjual Rp180.000. “Tapi sekarang, dijual Rp 100 ribu pembeli paling
tawar Rp80 ribu saja,” ungkapnya, seraya mengatakan, petani salak di
Katomporang tidak akan kesulitan seandainya ada investor yang membuka usaha
kripik salak karena bahan bakunya sudah tidak diragukan lagi.
Tentang harapan petani salak di Desa
Katomporong, khususnya di Kabupaten Pinrang, menurut pihak Pengembangan
Produksi Hortikultura Benih/bibit (PPHBB) Dinas Pertanian dan Peternakan
Pinrang, upaya budi daya salak tetap menjadi prioritas. Tentu diutamakan bagi
daerah pengembangan sentra salak seperti di Kecamatan Duampanua, Patampanua,
dan Tiroang. Ini sudah dibuktikan dari pengembangan 148.137 pohon salak
diharapkan tanaman ini akan memproduksi naik menjadi 296.994 pohon/rumpun.
“Tidak ada alasan pembudidayaan
salak di daerah ini tidak dikembangkan terus. Hanya saja, pengembangannya
memang dilakukan secara bertahap dimulai dari wilayah sentra persalakan,” kata
Kasi PPHBB Dinas Pertanian dan Peternakan Pinrang, Ramli Tonda SP,M.Si, Senin,
12 November.
Di Pinrang, kata dia, ada tiga
kecamatan yang menjadi sentra pengembangan salak yakni, Duapanua (termasuk Desa
Katomporang) dari 139.348 pohon menjadi 112.241 pohon, Kecamatan Tiroang dari
4.135 pohon menjadi 6.260 pohon, dan disusul Kecamatan Patampanua 2.650 pohon
naik menjadi 6.260 pohon
Kiriman dari Gafar (Bugis Pos). Fajar Online