Eksistensi
dan kekuatan jatidiri suatu bangsa diawali serta dilandasi oleh
kemampuan negara dalam mencukupi kebutuhan dasar bangsa tersebut.
Kebutuhan dasar utama manusia dan bangsa dimanapun adalah pangan
mendahului kebutuhan dasar lainnya seperti sandang, papan dan pendidikan
yang seharusnya sistemnya pun mengacu kepada jatidiri bangsa itu
sendiri. Kepala Negara dari berbagai negara sudah menyuarakan pentingnya
masalah pangan ini dikaitkan dengan keberadaan bangsa itu sendiri
walaupun negara tersebut memiliki kekayaan ekonomi yang tinggi. Cuplikan
pidato Presiden pertama RI, Ir. Soekarno di Bogor saat peletakan batu pertama untuk Gedung Fakultet Pertanian Universitet Indonesia pada tanggal 27 April 1952 : “Ya,
pidato saya mengenai mati-hidup bangsa kita dikemudian hari, oleh
karena soal yang hendak saya bicarakan itu mengenai soal persediaan makanan rakyat”. Meskipun Brunei mampu membayar untuk impor beras, Sultan Brunei Hasanal Bolkiah pada tahun 2008 mengatakan "Menjadi tergantung pada dollar untuk mengisi perut tidak lagi relevan di tengah krisis pangan ini”.
Kemudian pada tahun 2001 Presiden Amerika Serikat George W. Bush dalam
pidatonya di hadapan petani pada kegiatan Future Farmer in US mengatakan
“Sangat
penting bagi bangsa kita untuk membangun menumbuhkan bahan makanan,
untuk dapat memberi makan bangsa kita. Dapatkah Anda bayangkan sebuah
negara yang tidak mampu menumbuhkan cukup makanan untuk memberi makan
rakyatnya? Ini akan menjadikannya bangsa yang tunduk pada tekanan
internasional”.
Bagaimana dengan perhatian kita, bangsa dan pemerintah Indonesia pada
masa kini dalam kaitan pemenuhan kebutuhan pangan atau ketahanan pangan
dan kemandirian pangan yang jauh lebih krusial dibandingkan dengan
kebutuhan dasar lainnya?
Definisi ketahanan pangan menurut FAO (2001) : “Ketahanan pangan adalah situasi ketika setiap orang sepanjang waktu mempunyai akses fisik, sosial dan ekonomi terhadap pangan yang bergizi, aman dan cukup untuk memenuhi kebutuhan gizinya sesuai dengan selera budaya (food preferences), untuk melaksanakan hidup yang sehat dan aktif”. Sedangkan menurut UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan : “Ketahanan pangan adalah
kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman,
merata, dan terjangkau”. Membandingkan antara pengertian dari FAO dengan
UU No.7 tahun 1996 perbedaan yang cukup mencolok adalah mengenai
disebutkannya dalam definisi FAO mengenai akses sepanjang waktu terhadap
pangan, memenuhi kebutuhan gizi dan kesesuaian dengan selera budaya atau kebiasaan yang tidak ada dalam UU No. 7 tahun 1996.
Implikasi
dari UU No. 7 tahun 1996 dengan pengertian ketahanan pangan seperti
tersebut di atas tentunya adalah berbagai macam program yang digulirkan
oleh pemerintah yang nyata-nyata sampai sekarang belum bisa menjawab dan
menjadi solusi permasalahan yang ada walaupun pasti sudah cukup
menguras keuangan negara baik untuk biaya penelitian, pengembangan, sosialisasi dan penerapannya bahkan biaya politiknya.
Sebagai contoh program pemerintah untuk dikupas efektivitas dan manfaat
jangka panjangnya adalah dari Kementerian Riset dan Teknologi yang
tercantum pada Draft Program Agenda Riset Nasional (ARN) 2010 – 2014 dan
program-programnya ini juga banyak yang serupa dengan Departemen atau
Kementerian lain yang memiliki keterkaitan dengan masalah pangan. Salah
satu program yang cukup gencar disosialisasikan adalah diversifikasi
pangan. Karena program ini pastinya menginduk kepada UU No. 7 tahun 1996
tentunya tetap terjadi keselarasan, namun bila mengacu
pada pengertian yang dimaksud FAO maka keselarasannya masih bisa
dipertanyakan karena pada pengertian yang diberikan FAO memberikan
arahan pada kesesuaian dengan selera budaya dalam mengkonsumsi bahan
pangan. Artinya pemahaman dari FAO mengenai kebutuhan akan pangan lebih
menghargai dan memberikan tempat pada budaya dan jatidiri dari suatu
bangsa atau komunitas. Walaupun ada sementara pihak yang menyebutkan
bahwa pangan pokok asli bangsa Indonesia pada masa dahulu kala
sebenarnya adalah umbi-umbian bukan biji-bijian, tetapi menurut catatan
sejarah juga bangsa Indonesia diperkirakan sudah menanam padi sejak 1648
Sebelum Masehi. Kalau membicarakan masa sejarah Indonesia yang belum
tercatat atau pra sejarah tentu bukan hanya untuk pangan saja, untuk
pakaian pun mungkin umumnya di seluruh wilayah Indonesia masih
mengenakan cawat saja tetapi saat ini kenyataannya tidak semua suku
bangsa Indonesia mengakui bahwa menggunakan celana cawat saja adalah
merupakan budaya berpakaian daerahnya. Selera budaya memiliki
keterkaitan dengan jatidiri suatu bangsa, demikian juga dalam menanam
padi terkandung nilai-nilai sosial dan budaya disamping nilai ekonomi.
Program diversifikasi pangan ini dikhawatirkan hanya akan menjadi
pemborosan keuangan negara yang tidak efektif hasilnya melalui berbagai
proyek penelitian, pengembangan, sosialisasi dan penerapannya seperti
juga program sebelumnya untuk menyeragamkan pangan yang tidak
mempertimbangkan aspek budaya masing-masing daerah. Kalaupun terjadi
perubahan pola makan pada sebagian masyarakat dengan mengurangi konsumsi
beras ke konsumsi bahan pangan lainnya, namun tetap saja bahan pangan
tersebut harus diproduksi dengan cara ditanam dan memiliki kemungkinan
pada suatu saat nanti akan terbatas juga hasil produksinya bila tidak
dilakukan upaya-upaya yang tepat seperti halnya dalam memproduksi beras
sehingga masalah yang sama akan terulang kembali. Seharusnya yang lebih
ditekankan bukan menghilangkan ketergantungan kepada padi atau beras
sebagai pangan dengan melakukan program diversifikasi pangan tetapi
lebih pada menghilangkan ketergantungan terhadap produksi pangan pihak
luar dengan melakukan upaya yang tepat, jelas sasarannya, terstruktur
dan terarah dalam meningkatkan produksi pangan dalam negeri yang menjadi
konsumsi umum masyarakat di masing-masing daerah sesuai dengan
budayanya. Ketahanan pangan akan rapuh tanpa tercapainya kemandirian
pangan atau kondisi
terpenuhinya pangan tanpa adanya ketergantungan dari pihak luar dan
mempunyai daya tahan tinggi terhadap perkembangan dan gejolak ekonomi
dunia.
Program
lain yang sering muncul dalam seminar-seminar mengenai pangan maupun
mengenai perubahan iklim adalah pengembangan varietas yang adaptif
terhadap iklim atau pun terhadap kondisi agroekosistem. Program inipun
tentu saja diyakini akan memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk
penelitian dan pengembangannya. Keberhasilan budidaya tanaman pangan dan
tanaman lainnya memang tidak bisa terlepas dari pengaruh iklim baik
iklim makro yang ditentukan oleh kondisi bumi secara keseluruhan dan
alam semesta maupun iklim mikro yang ditentukan oleh kondisi alam
lingkungan sekitarnya. Seyogyanya yang perlu mendapatkan perhatian lebih
serius adalah bukan merubah kemampuan adaptif dari tanaman yang
dibudidayakan tetapi lebih menekankan pada program yang mempertahankan
atau menjaga agar tidak terjadi perubahan iklim mikro yang drastis
akibat perubahan atau kerusakan lingkungan. Contoh sederhananya adalah
tanaman-tanaman dalam hutan yang tidak diganggu kondisi lingkungannya
akan tetap dapat mempertahankan ‘hidup dan pertumbuhannya’ secara baik
tanpa perlu dilakukan penggantian tanaman yang tumbuh didalamnya dengan
tanaman yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim.
Masih
banyak program-program yang terkait dengan ketahanan pangan ini dari
berbagai Departemen dan Kementerian namun umumnya program-program
tersebut tidak menyentuh pada akar permasalahan yaitu manusia dengan
budaya serta kesejahteraan dan lingkungan alam sekitarnya. Membahas
pangan tentu samasekali tidak bisa dilepaskan dari Desa dan komunitas
pelaku penghasil pangan yaitu para petani yang merupakan bagian terbesar
dari masyarakat pedesaan. Beberapa dekade yang lalu, masyarakat desa
identik dengan kehidupan yang religius (mencapai kemanfaatan dan
keselamatan hidup didunia serta keselamatan dan kebahagiaan setelah
kehidupan didunia), menjunjung musyawarah dan gotong royong yang
merupakan sendi-sendi budaya luhur pembentuk eksistensi jatidiri bangsa
ini. Namun akibat berbagai macam program yang digulirkan baik dibidang
pertanian itu sendiri seperti ‘Revolusi Hijau’ maupun program-program
lainnya yang non-pertanian, budaya kapitalis, materialistis,
konsumeristis, liberalis dan lainnya yang bersumber dari bangsa lain
melibas eksistensi jatidiri bangsa. Sendi-sendi budaya luhur bangsa ini
tercerabut dari kehidupan masyarakat desa dan hal-hal seperti ini kurang
mendapat perhatian dan tempat melalui program-program pembangunan dari
pemerintah.
Sudah
cukup banyak kerusakan yang terjadi di desa-desa baik pada alam
lingkungan maupun pada manusia dan budayanya. Masyarakat desa sudah
mulai banyak bergantung kepada bantuan raskin (beras miskin) padahal
masih cukup banyak lahan pertanian yang tidak produktif atau terlantar
karena mereka tidak memiliki motivasi untuk mengelola pertanian,
pencemaran lingkungan, dan kerusakan-kerusakan lainnya. Ini semua adalah
buah dari pelaksanaan program-program pembangunan yang telah
menghabiskan biaya sangat besar tetapi tidak mempertimbangkan dan
memperhatikan pentingnya peran desa dan jatidiri bangsa. Pembangunan
desa dan masyarakatnya dengan memperhatikan akar budaya masing-masing
daerah kenyataannya masih termarjinalkan.
Peristiwa
rawan pangan bila terjadi di negara-negara dengan kondisi sumber daya
alam hayati yang miskin dan iklim yang tidak mendukung seperti dibanyak
negara Afrika atau di negara yang sering mendapatkan bencana alam
seperti Bangladesh dan lainnya sangatlah bisa difahami, namun kalau
rawan pangan sampai melanda Indonesia akan menjadi sangat sulit
dimengerti. Kemudian bila pengelolaan produksi pangan bergeser dari
sistem kerakyatan menjadi sistem kapitalis dan liberalis dalam era
perdagangan bebas karena kurangnya perhatian terhadap desa dan
masyarakat petaninya yang mengakibatkan penguasaan sektor pangan oleh
investasi asing, dapat dibayangkan bukan hanya sekedar rawan pangan yang
mungkin terjadi tetapi bangsa Indonesia hanya akan mendapatkan bagian
pangan sisa dengan membeli kepada bangsa asing walaupun sebenarnya
diproduksi di bumi pertiwi sendiri seperti yang sudah terjadi pada
minyak bumi.
“Rakyat
padang pasir bisa hidup-masa kita tidak bisa hidup! Rakyat Mongolia
(padang pasir juga) bisa hidup masa kita tidak bisa membangun satu
masyarakat adil-makmur gemah ripah loh jinawi, tata tentram
kertaraharja, di mana si Dullah cukup sandang, cukup pangan, si Sarinem
cukup sandang, cukup pangan? Kalau kita tidak bisa menyelenggarakan
sandang-pangan di tanah air kita yang kaya ini, maka sebenarnya kita
Beograd yang tolol, kita Beograd yang maha tolol”, Bung Karno dalam pidato Konperensi Kolombo Plan di Yogyakarta tahun 1953…………