Assalamu alaikum WR.WB, pertama-tama kami crew Diorama Penyuluhan Pertanian, mengucapkan selamat Hari Raya Idul Adha, semoga kita diberi ketabahan dan ketaqwaan seperti Nabi Ibrahim, Limpahan keta'atan seperti Nabi Ismail, dan dikaruniai kesabaran dan keihlasan seperti Siti Hajar, serta sebaik-baik contoh dan tauladan yaitu Rasulullah SAW.
Lebaran haji atau “idul kurban” telah dirayakan oleh umat Islam pagi tadi. Bagi mereka yang mampu, akan mempersiapkan sejumlah dana untuk memilih dan membeli kemudian menyembelih hewan kurban. Sesuai dengan ajaran Rasullullah, hewan yang akan dijadikan “kurban” harus memenuhi kriteria yang sehat dan cukup umur.
Lebaran haji atau “idul kurban” telah dirayakan oleh umat Islam pagi tadi. Bagi mereka yang mampu, akan mempersiapkan sejumlah dana untuk memilih dan membeli kemudian menyembelih hewan kurban. Sesuai dengan ajaran Rasullullah, hewan yang akan dijadikan “kurban” harus memenuhi kriteria yang sehat dan cukup umur.
Maknanya,
hewan tersebut akan menghasilkan daging dengan kualitas dan kuantitas yang baik.
Kondisi ini akan diperoleh dari hasil perlakuan yang diberikan terhadap hewan
tersebut sebelum dan pada saat penyembelihan serta proses perecahan daging
(pengulitan dan deboning). Persoalannya, jika kita melihat perlakuan masyarakat
terhadap hewan kurban selama ini, boleh jadi masyarakat kita tidak memberikan
perlakuan yang benar. Dengan kata lain “tidak berperi kehewanan” atau
mengabaikan “kesejahteraan ternak” (animal welfare).
Akibatnya
daging yang dihasilkan sangat tidak berkualitas. Lihat saja, sejak hewan
tersebut dijajakan di pinggir jalan, dijemur oleh teriknya sinar matahari atau
dibiarkan kehujanan, tanpa pakan dan minum yang cukup. Dampak dari perlakuan
ini, hewan tersebut akan mengalami stress berat, yang berakibat susutnya berat
badan (dapat lebih dari 10% berat badannya) dan menurunnya kualitas daging yang
akan dihasilkannya.
Kemudian
pada saat proses pemotongannya pun terjadi perlakuan yang sangat
memprihatinkan, ternak ditarik kesana-kemari… kemudian di rubuhkan oleh sekian
banyak orang. Belum lagi petugas pemotongnya (jagal) yang umum belum memiliki
pengalaman cukup (amatiran). Seringkali pisau yang digunakannya pun tumpul,
sehingga mereka harus memotong nadi pada kerongkongan hewan tersebut
berkali-kali atau berulang-ulang.
Sebagaimana
kita ketahui bersama bahwa dalam ajaran agama Islam, memotong ternak harus
diusahakan jangan sampai menyakitinya. Artinya ternak itu, harus diistirahatkan
yang cukup dan menyembelih dengan menggunakan pisau yang sangat tajam (cukup
sekali pisau ditekan ke leher, urat nadi dan kerongkongannya terputus). Tidak
hanya sampai disini, perlakuan yang memprihatinkan berikutnya adalah pada saat
proses pengulitan dan perecahan (deboning), dimana daging dipotong-potong tanpa
aturan bahkan sampai bercampur tanah. Sehingga hasilnya akan bisa ditebak bahwa
daging tersebut kualitasnya akan sangat tidak baik.
Berdasar
kepada berbagai pengalaman ini, apakah kita menyadari bahwa “niat- baik” umat
Islam yang melaksanakan ibadah qurban, ternyata diperlakukan seperti hal tersebut.
Dan apakah kita akan terus membiarkannya? Menurut hemat penulis, kebiasaan ini
harus segera diluruskan dan diperbaiki dengan beberapa langkah. Antara lain;
melalui penataan pemasaran hewan qurban, pemotongan dan proses perecahannya.
Pemerintah
dalam hal ini dinas yang menangani sub sektor peternakan (Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan) dan Dinas Perdagangan harus segera memberikan pengarahan agar
pemasaran hewan qurban diberikan persyaratan teknis yang berdasar kepada
kesejahteraan ternak (animal welfare). Persyaratan ini sebaiknya dalam
bentuk surat keputusan yang berkekuatan hukum, sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku mengenai kesejahteraan hewan.
Alangkah
baiknya, sistem perdagangannya dilakukan secara terkoordinir berkumpul pada
suatu kawasan tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah kota (seperti misalnya
perdagangan mobil bekas). Manfaatnya akan dirasakan oleh para konsumen, antara
lain mereka akan mendapatkan hewan-hewan yang bekualitas dan harga yang
bersaing. Selain itu, bagi pemerintah (Dinas Peternakan) akan sangat memudahkan
pengontrolan terhadap penyakit dan kesehatan ternak, sebagai bukti pelayananan
kepada masyarakat. Lokasi-lokasi yang ditunjuk, dapat bertempat di RPH-RPH
(Rumah Potong Hewan) maupun di lapangan-lapangan tertentu yang telah memiliki
sarana, prasarana dan fasilitas pendukungnya.
Dalam
proses pemotongannya pun, kiranya pemerintah dapat menetapkan RPH-RPH yang ada
serta para pemotong (jagal) yang bersertifikasi. Dengan fasilitas sarana dan
prasarana yang dimiliki RPH tersebut, tentu daging yang dihasilkan akan sesuai
dengan persyaratan ASUH (aman, sehat, utuh dan halal). Bisa dibayangkan jika
saja hal ini dapat dilakukan produk daging hasil hari raya qurban
jumlahnya akan meningkat tajam. Karena akan mampu mengurangi tingkat penyusutan
berat badan hewan. Artinya, jumlah yang akan dibagikan kepada yang berhak
menerima akan bertambah banyak. Sepertinya “niat-baik” umat Islam yang
melakukan ibadah qurban akan menghasilkan kualitas daging sapi yang berstandar
dan berdampak terhadap syiar Islam yang lebih meluas.