Jakarta – Pemerintah tengah menyiapkan skema asuransi bagi petani
sebagai perlindungan atas kegagalan panen atau puso. Program ini
disiapkan untuk mengganti skema pembayaran tunai atau 100 persen
ditanggung pemerintah saat lahan pertanian puso.
“Yang kami perjuangkan adalah model asuransi, maksudnya semua produk petani diasuransikan, kalau terjadi puso atau gagal panen mereka berhak mengklaim dari perusahaan asuransinya,” kata Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan di Kantor Menko Perekonomian, Jakarta, Rabu (15/8).
Pada skema penggantian lahan puso dengan uang tunai, pemerintah akan
mengganti rugi Rp 3,7 juta per hektar kepada petani yang mengalami gagal
panen. Di mana ganti rugi itu mencakup Rp 2,6 juta sebagai dana untuk pengolahan lahan pemeliharaan tanaman, dan Rp 1,1 juta sebagai pengganti pembelian pupuk.
Namun demikian, Rusman menyatakan masih ada kendala dalam skema
asuransi terkait siapa yang membayar premi asuransi. Termasuk apakah
petani ikut menanggung beban premi tersebut atau tidak.
“Persoalaannya sekarang preminya itu siapa yang bayar, dan kami
sedang membikin skema yang tidak 100 persen dibayar petani juga tidak
100 persen dibayar pemerintah sebagai bantuan tapi bertahap mungkin
petani awalnya 20 persen terus pemerintah 80 persen,” papar Rusman.
Menurutnya, sistem asuransi tersebut merupakan langkah paling tepat
meskipun masih ada kendala. Dia menilai sistem asuransi mencegah
penipuan atau moral hazard yang dilakukan oknum petani. “Kalau asuransi
moral hazard-nya tidak terlalu besar, kalau pakai dana darurat, puso kan
dipuso-pusoin juga bisa,” cetusnya.
Rusman pun mengharapkan asuransi gagal panen untuk petani ini bisa
menjadi cara permanen. Rencananya, lanjut dia, perusahaan asuransi yang
berperan dalam program ini adalah BUMN. Sistem asuransi gagal panen ini
akan di uji coba pada kuartal III atau IV mendatang.
Namun, pemerintah sebelumnya akan meminta persetujuan DPR terkait
adanya aturan bahwa APBN tidak boleh digunakan untuk membayar premi
asuransi. “Nah persoalannya yang ada di perintah adalah mungkin kita
harus menjelaskan ke DPR tentang ada aturan APBN yang boleh membayarkan
asuransi untuk kaum lemah, karena aturan APBN itu tidak boleh, masak
APBN buat bayar premi,” ungkap Rusman.