Krisis
pangan adalah masalah klasik bangsa ini, sebuah ironi bagi negara
agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi. Krisis pangan
saat ini terjadi dimana kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung
kepada impor, dan harganya naik tak terkendali. Namun harus
diperhatikan, bahwa krisis pangan yang terjadi di Indonesia bukanlah
sebab yang akan berdampak pada hal lain (kemiskinan,
pengangguran). Dalam jangka pendek dan menengah, masalah krisis pangan
sebenarnya terkait dengan produksi pangan, luasan lahan dan tata niaga
pangan. Dengan memperhatikan ketiga hal tersebut, maka petani menuntut
solusi jangka pendek kepada pemerintah.
Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional.
Terdapat tujuh prasyarat utama untuk menegakkan kedaulatan
pangan, antara lain adalah: (1) Pembaruan Agraria; (2) Adanya hak akses
rakyat terhadap pangan; (3) Penggunaan sumber daya alam secara
berkelanjutan; (4) Pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang
diperdagangkan; (5) Pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi; (6)
Melarang penggunaan pangan sebagai senjata; (7) Pemberian akses ke
petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian.
Kedaulatan pangan merupakan prasyarat dari ketahanan pangan
(food Security). Mustahil tercipta ketahanan pangan kalau suatu bangsa
dan rakyatnya tidak memiliki kedaulatan atas proses produksi dan
konsumsi pangannya. Oleh karena itu merupakan suatu keharusan bagi
setiap bangsa dan rakyat untuk dapat mempunyai hak dalam menentukan
makanan yang dipilihnya dan kebijakan pertanian yang dijalankannya,
kapasitas produksi makanan lokal di tingkat lokal dan perdagangan di tingkat wilayah.
Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah
memperoleh, aman dikonsumsi dan harga yang terjangkau. Hal ini diwujudkan dengan bekerjanya sub sistem ketersediaan,
sub sistemdistribusi dan sub sistem konsumsi. Yang bertujuan (1)
Meningkatnya ketersediaan pangan; (2)
Mengembangkan diversifikasi pangan; (3)
Mengembangkan kelembagaan pangan; (4)
Mengembangkan usaha pegelolaan pangan.
Indonesia memiliki potensi lahan pertanian demikian luas, negeri ini
tidak mampu memberi makan rakyat dari hasil bumi sendiri. Hasil evaluasi
indeks ketahanan pangan global yang dikeluarkan Economist Intelligence
Unit (EIU) yang dirilis dalam acara Dupont Media Forum di Singapura,
menegaskan hal itu.
Posisi ketahanan pangan Indonesia menurut lembaga itu hanya berada di
posisi kelima di antara tujuh negara ASEAN yang dievaluasi. Indeks
Indonesia bahkan berada di bawah Filipina yang merupakan pesaing
Indonesia dalam kelompok negara pengimpor beras terbesar di
dunia. Posisi ketahanan pangan Indonesia berada di bawah Malaysia,
Thailand, Vietnam, dan Filipina. Posisi Indonesia hanya sedikit lebih
baik daripada Myanmar dan Kamboja.
Hasil evaluasi EIU itu sesungguhnya sama sekali tidak mengejutkan.
Tidak mengejutkan karena sudah lama kita mengkhawatirkan kondisi
ketahanan pangan kita yang semakin hari semakin buruk. Hampir seluruh
kebutuhan pangan kita dipenuhi dengan impor. Kebutuhan beras, jagung,
kedelai, gandum, gula, garam, dan bahan pangan lain tidak mampu kita
penuhi sendiri.
Konsekuensinya tingkat ketergantungan kita terhadap pihak asing pun
semakin meningkat. Itu tecermin dari volume impor bahan-bahan pangan
kita yang terus meningkat setiap tahun. Jangan heran bila kita selalu
dihantui krisis pangan. Contoh terbaru ialah krisis kedelai yang
berlangsung baru – baru ini. Harga kedelai naik tidak terkendali dari
Rp5.000 menjadi Rp8.000 per kg. Akibatnya pengusaha tahu dan tempe pun
memilih mogok produksi.
Krisis kedelai memperlihatkan kepada kita bahwa terlalu
menggantungkan pemenuhan kebutuhan pokok pada produk impor merupakan
kebijakan yang sangat rentan. Sewaktu-waktu krisis yang sama dapat
terulang dengan tingkat bahaya yang jauh lebih besar dan luas. Kalau
sekarang kedelai, krisis yang sama dapat menimpa beras, jagung, gandum,
dan bahan pangan lain.
Semestinya krisis kedelai itu menjadi pelajaran mahal. Ancaman krisis
pangan yang membayangi dunia belakangan ini memperlihatkan betapa pasar
pangan global tidak bisa lagi dipercaya sebagai sumber stok.
Kita tidak boleh menyerahkan sepenuhnya pemenuhan pangan kita kepada
mekanisme pasar. Harus ada langkah ekstrem yang diambil pemerintah untuk
mencegah terjadinya krisis pangan yang lebih luas dan lebih masif.
Untuk itu, tiada pilihan kebijakan lain kecuali menciptakan stok pangan
yang dipenuhi dari produksi dalam negeri. Sudah saatnya kita
menghentikan ketergantungan pangan terhadap impor.
Fenomena ini adalah sebuah akibat dari kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi.
Privatisasi; Akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada
aspek impor dan harga seperti yang sering didengungkan oleh pemerintah
dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia
tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi,
distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan,
kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir
perusahaan raksasa.
Privatisasi sektor pangan—yang notabene merupakan kebutuhan pokok
rakyat—tentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang
menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat”.
Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga
distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan
Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi
kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi
ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor
pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel)—seperti yang sudah
terjadi saat ini.
Liberalisasi; krisis pangan juga disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0 persen seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa—beserta perusahaan-perusahaannya—malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur (1995 hingga kini). Hal ini jelas membunuh petani kita.
Deregulasi; beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan.
Liberalisasi; krisis pangan juga disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0 persen seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa—beserta perusahaan-perusahaannya—malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur (1995 hingga kini). Hal ini jelas membunuh petani kita.
Deregulasi; beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan.
Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung
kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi
perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi secara internasional,
kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2012 ini sebenarnya
bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (Kedelai pada
tahun 2008, beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak
goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada
beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih
tergantung pada pasar internasional: beras, kedelai, jagung, gula,
singkong dan minyak goreng.
Kedaulatan pangan harus dapat kita tegakkan. Karena itu, swasembada
pangan tidak boleh hanya diucapkan, tetapi harus mulai dipraktikkan dan
diwujudkan. Semuanya memang membutuhkan kerja keras, tetapi itu bukan
mustahil dicapai. Sesungguhnya kita pernah berhasil melakukannya.
Sumber : Jagotani dot com