POLITISASI PETANI DAN NELAYAN
(Yusran A. Yahya / Asesmen Sertifikasi)
Melalui amatannya Presiden Sby benar-benar khawatir jika politisasi terhadap petani dan nelayan terus ditempuh, maka akan mengganggu kinerja mereka dalam melaksanakan kegiatan sehari-harinya. Itulah salah satu pertimbangannya mengapa petani dan nelayan harus terbebas dari praktek-praktek politik praktis.
Sinyal "politisasi petani", sebetulnya sudah mengedepan sejak beberapa tahun silam, tepatnya ketika terekam adanya partai politik yang "menjual" petani sebagai pendukung utamanya. Walau pun sudah ada pengakuan dari petinggi partai politik yang bersangkutan bahwa tidak ada hubungan antara partai politik dengan organisasi petani yang dipimpinnya, namun tidak dapat dipungkiri jika di berbagai daerah kita bisa temukan ada nya pimpinan organisasi petani yang juga menjabat sebagai pimpinan partai politik. Apakah kejadian ini pantas disebut politisasi petani atau tidak, tentu hanya mereka yang merasakannya saja, yang paling berhak untuk menjawabnya.
Kisruhnya Munas sebuah organisasi petani yang cukup beken di negeri ini beberapa tahun lalu di Bali, jelas memperlihatkan adanya kepentingan politik yang menumpang di dalam organisasi petani itu. Munculnya dua kubu kepemimpinan sebagai buntut dari Munas di atas, semakin memperjelas betapa "ngotot"nya para petinggi partai politik tertentu yang ingin menjadikan petani sebagai kekuatan utama partai politiknya.
Para politisi kita rupa nya masih meyakini bahwa petani dan nelayan adalah kantong suara yang sangat potensil guna meraup suara yang menjanjikan. Pertimbangannya, tentu bukan hanya dikarenakan petani dan nelayan adalah jumlah terbesar penduduk negara kita, namun jika hal ini kita hubungkan dengan keberadaan "massa mengambang" pun, ternyata petani dan nelayan merupakan konsituens yang sangat lugu. Kondisi semacam ini jelas merupakan dambaan para politisi dalam mewujudkan cita-cita politiknya.
http://sinartani.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=330&Itemid=552