Seketika si petani terperangah melihat
kepingan uang emas berjatuhan di depan hidungnya. Diambilnya beberapa ember
untuk menampung uang kaget itu. Setelah semuanya penuh, dibawanya ke gubug
mungilnya untuk disimpan disana. Kucuran uang terus mengalir sementara si
petani mengisi semua karungnya, seluruh tempayannya, bahkan mengisi penuh
rumahnya. Masih kurang! Dia menggali sebuah lubang besar untuk menimbun emasnya.
Belum cukup, dia membiarkan mata air itu terus mengalir hingga akhirnya petani
itu mati tertimbun bersama ketamakannya karena dia tak pernah bisa berkata "cukup".
Kapankah
kita bisa berkata cukup?
Hampir
semua pegawai merasa gajinya belum bisa dikatakan sepadan dengan kerja
kerasnya.
Pengusaha
hampir selalu merasa pendapatan perusahaannya masih dibawah target.
Istri
mengeluh suaminya kurang perhatian. Suami berpendapat istrinya kurang
pengertian.
Anak-anak
menganggap orang tuanya kurang murah hati.
Semua
merasa kurang dan kurang.
Kapankah
kita bisa berkata cukup?
Cukup
bukanlah soal berapa jumlahnya. Cukup adalah persoalan kepuasan hati.
Cukup
hanya bisa diucapkan oleh orang yang bisa mensyukuri.
Tak perlu takut berkata cukup.
Mengucapkan
kata cukup bukan berarti kita berhenti berusaha dan berkarya.
"Cukup"
jangan diartikan sebagai kondisi stagnasi, mandeg dan berpuas diri.
Mengucapkan
kata cukup membuat kita melihat apa yang telah kita terima, bukan apa yang
belum kita dapatkan.
Jangan
biarkan kerakusan manusia membuat kita sulit berkata cukup.
Belajarlah
mencukupkan diri dengan apa yang ada pada diri kita hari ini, maka kita akan
menjadi manusia yang berbahagia...